Suara MC (Master of Ceremony) yang sedang menyebut nama kepala sekolah untuk memberi sambutan mengiringi langkah terburu-buru Kai. Matanya menatap suasana sekitar gedung yang sudah ramai dipenuhi siswa kelas XII. Ia coba mencari keberadaan Idam, Ahmad, dan Azka. Suara telepon pun berdering dalam tas selendang yang dipakai Kai.
"Sini, kita di barisan ke tiga jajaran sebelah kiri" kata Idam.
Kai berjalan cepat menuju sana. Ia lirik satu per satu siswa perempuan, ternyata tak ada satu pun yang memakai baju kebaya seperti dirinya. Kai juga menjadi pusat perhatian saat itu karena ia datang terlambat dan satu-satunya siswi yang memakai kebaya jadul. Sedangkan siswi lain, mereka memakai gaun modern dan tidak sejadul milik Kai.
"Akhirnya loe dateng juga" ucap Idam.
"Kenapa sih mereka pada ngeliatin gue?" tanya Kai.
"Loe telat sih datengnya" Azka menyalahkan Kai. Lalu tiba-tiba ia tertawa juga melihat penampilan Kai.
"Loe lagi kenapa ketawa-ketiwi?"
"Ngakak Kai. Loe seriusan pakai kebaya itu?"
"Ya ini buktinya gue pakai. Emang lucu ya?"
Dua dari ketiga sahabatnya itu tertawa akan penampilan Kai. Namun tidak dengan Ahmad. Ia hanya menatap sinis tingkah Idam dan Azka.
Ahmad merupakan sosok yang paling tidak banyak bicara dalam gengnya Kai. Namun ia tidak bisa dianggap remeh, karena Ahmad merupakan anak yang paling pintar di antara Kai, Azka, dan Idam. Bahkan, Ahmad pernah memenangkan lomba menulis esai tingkat kota.
Sedangkan Idam, ia termasuk ke dalam sahabat Kai yang paling jantan dibanding Ahmad dan Azka. Ayahnya yang seorang tentara mendidik agar dirinya selalu tegak dalam berjalan, tegas dalam bersikap, dan lantang dalam berbicara.
Dan terakhir Azka. Ia memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Kai. Karena ibunya memiliki usaha salon, maka ia kerap membantu ibunya melayani pelanggan. Sejak kecil, jiwa feminim sudah terihat dalam diri Azka. Walau demikian, Azka adalah sahabat yang paling ramah dan bisa mengerti perasaan Kai sebagai seorang perempuan.
Waktu yang kurang dari tiga tahun bersama mereka akan segera sirna. Kai senang sekaligus sedih. Pasalnya, orang-orang yang paling mengerti Kai hanyalah mereka bertiga. Sedangkan teman kelas yang lain, mereka hanya bisa menertawakan dan membully Kai yang selama di SMA terlihat dingin, misterius, dan asosial.
***
Sambutan demi sambutan sudah dituturkan dan didengarkan dengan khidmat oleh seluruh siswa. Sekarang giliran pengumumam lulusan terbaik dari sekolah tersebut. Dan bagi Kai, selalu tak ada yang istimewa dari pengumuman seperti itu. Ia sangat yakin mereka yang akan menjadi siswa unggulan, hanya mereka yang kutu buku dan paling-paling dekat dengan guru.
"Siswa peraih nilai UN terbesar di raih oleh Aliya Senandika" ucap Bu Reni selaku manajer kesiswaan.
Tepuk tangan dari semua orang yang menghadiri gedung riuh menyambut Aliya si peraih UN terbesar maju ke atas panggung.
"Dan selanjutnya adalah siswa peraih gelar juara umum di sekolah kita. Yaitu, Bilal"
Tepuk tangan semakin membuat bising telinga Kai dan siswa lainnya.
"Mantap emang si Bilal. Udah cakep, pinter, sholeh lagi" ucap Idam.
"Loe emang kenal banget dia?" tanya Azka.
"Dia tetangga satu komplek gue. Katanya, dia orang yang paling rajin ke mesjid"
"Paling pencitraan doang" celetuk Ahmad dengan ekspresi datarnya.
"Loe suudzon mulu Mad" gubris Idam.
Kai hanya mendengar obrolan mereka tanpa ikut menanyakan siapa Bilal itu?Akan tetapi, nama Bilal tidaklah asing di pendengarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku UKHTI
General FictionKaila Senada. Seorang gadis yang tumbuh di lingkungan pesantren, namun prilakunya bebas. Sedikit tomboi dan teramat cuek. Ia tak pernah menimba ilmu agama sejak kecil karena tumbuh tanpa bimbingan seorang ibu. Hidup berdua bersama ayah yang begitu...