Part 8

5.1K 562 34
                                    


Noah Naya

###

Part 8

###


"Apa kau tidur nyenyak?" sambut Noah begitu Naya membuka matanya dan masih bergelung di balik selimut. Pria itu sudah rapi dengan rambut basah dan kaos berwarna biru tua serta celana putih pendek.

Naya tersenyum. Menangkupkan tangannya di sisi wajah Noah dan bergumam, "Kau sangat tampan, Noah."

Noah tahu wajah sangat tampannya memang selalu mendapatkan pujian dari para wanita yang berusaha mendekatinya. Namun, pujian yang diucapkan Naya memberinya kebanggan tersendiri.

"Dan kau juga sangat cantik." Noah menghadiahi satu kecupan ringan di bibir. Menekan dalam-dalam keinginannya untuk menjadikan kecupan singkat itu menjadi sebuah lumatan dan ia tak akan bisa menahan diri untuk tidak menelanjangi Naya. Namun, mereka harus segera pulang. Secepatnya keluar dari rumah ini. "Bangunlah, kita harus segera pulang."

Kantuk Naya seketika menguap, digantikan tanda tanya. Namun, ia belum sempat mengungkapkan pertanyaan tersebut karena Noah mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar mandi lalu menyuruhnya segera membersihkan diri setelah menyodorkan dress bermotif bunga putih.

Naya tak tahu kenapa Noah begitu terburu ingin pergi dari rumah ini. Seakan pria itu enggan menghabiskan waktu sedetik lebih lama dengan kedua mertuanya. Saat ia bertanya alasannya, suaminya hanya menjawab bahwa ada pertemuan penting di pagi hari.

"Noah?"

"Heum,"

"Aku lapar," gerutu Naya sambil memegang perutnya. Semalam ia hanya sempat menyantap beberapa potong kue ketika tidak menemukan Noah dan bercakap sejenak dengan Ralia. Dan Noah menolak tawaran untuk sarapan pagi di rumah mertuanya. Ah, tentang percakapannya dengan Ralia tadi malam, Naya teringat. Pertanyaan yang sejak semalam menggantung di kepalanya hampir sampai di ujung lidahnya. "No ..."

"Tunggu sebentar." Noah mengurangi kecepatan mobil dan mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri. Beruntung keduanya sudah sampai di kawasan pusat kota, jadi tak sulit mencari restoran mewah yang menyediakan sarapan pagi.

"Kita bisa makan di warung atau pedagang ..."

"Kesehatanmu belum pulih benar, Naya. Kau tak bisa sembarangan memakan makanan seperti itu."

Naya mengerutkan kening. "Seperti itu?"

Noah menatap ekspresi tak terbaca Naya. Kehidupan mereka telah berubah, tapi Naya tetap tak bisa meninggalkan kehidupan wanita itu yang sederhana. "Aku tak memiliki maksud apa-apa."

Naya menggeleng. "Kau ..." Naya menyipitkan mata penuh selidik. "Bolehkah aku mengatakan bahwa kau telah berubah, Noah?"

Sedetik Noah tercengang, tapi ia segera menguasai ekspresinya. "Kehidupan kita sudah berubah, Naya." Noah menekan kata kita demi menghilangkan perasaan tak nyaman ketika kata itu hanya ditujukan untuknya. "Lagi pula, kau perlu tambahan banyak gizi setelah kecelakaan itu. Makan banyak akan membuat tubuhmu cepat pulih."

Naya mengangguk setelah beberapa saat menyerap kata-kata Noah dengan baik. Berusaha tersenyum dengan suasana yang mendadak canggung. "Baiklah. Kita turun?"

Noah membalik tubuh dan membuka pintu sambil bernapas lega di belakang Naya. Mungkin ia memang telah berubah, tapi ia selalu yakin bahwa cintanya pada Naya tak pernah berubah. Sedikit pun.

"Apa hubunganmu dan keluargamu memang sedingin itu?" Naya berusaha mencari topik pembicaraan sambil menunggu pesanan mereka diantar. Topik yang membuatnya bertanya-tanya sejak mereka meninggalkan rumah keluarga Noah.

Noah NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang