Part 12

3.4K 537 66
                                    

Inseverable

Noah dan Naya

###

Part 12

###

Sepulang kerja, Noah disambut pelayan yang menyerahkan cincin Naya yang ditemukan ketika membersihkan kamar mereka. Tercenung cukup lama memandang cincin tersebut.

"Apa istriku sudah makan?" tanya Noah kemudian sambil menyelipkan cincin milik Naya di jari kelingkingnya. Saat wanita itu mengajukan perceraian, dan bahkan setelah kecelakaan, cincin itu masih melingkar di jari manis Naya. Memberinya sedikit kepercayaan diri untuk merebut Naya kembali ketika wanita itu berlari ke arah Banyu. Cinta mereka tentu tak akan semudah itu untuk Naya lupakan.

Pelayan tersebut menggeleng setelah sejenak meragu. Takut jika jawabannya membuang sang Tuan murka. Namun, ia menghela napas lega ketika Noah berlalu begitu saja melewatinya.

Naya masih meringkuk di ranjang dengan nampan di nakas yang berisi entah makan siang atau malam yang tak tersentuh sama sekali. Melempas jas dan tasnya ke sofa, Noah bergegas memutari ranjang dan berdiri di samping Naya. Menarik lengan Naya dengan lembut sekaligus kuat agar wanita itu duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Wanita itu tak menolak membuat Noah bisa bebas mengamati dengan sedih kelopak mata Naya yang bengkak karena terlalu banyak menangis dan bibir yang pucat karena tak membiarkan setetes pun air masuk ke mulut.

"Kau harus makan, Naya." Noah mengambil segelas air putih di nakas.

Dengan sikap dinginnya, Naya membuang wajah dari tatapan Noah. Mendorong nampan di nakas hingga semua isinya berhamburan di lantai.

Noah menghela napas dengan kesabarannya. Emosi yang dibalas dengan emosi tak akan memperbaiki hubungan retakan-retakan yang semakin mengarah ke kehancuran. "Kau harus makan atau kau akan membunuh anakmu untuk kedua kalinya."

Naya terpaku sedetik, lalu mendongak mencari kebenaran di wajah Noah. "Aku tidak mungkin hamil. Tidak akan secepat itu, Noah. "

"Selama ini, kita menjalani program kehamilan khusus setelah keguguranmu. Aku tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun. Kali ini aku yakin kemungkinan berhasil sangat besar, jadi jangan bertindak gegabah dan membahayakan anakku untuk kedua kalinya. Aku akan memastikan anakku tercukupi kebutuhan gizinya. Meskipun harus memaksa atau menggunakan cara yang keras padamu."

"Kenapa?" Seakan belum cukup, air mata Naya kembali bercucuran. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Noah?"

"Apakah kau masih mempertanyakan pertanyaan yang sudah sangat kaupahami jawabannya?"

"Kau mengkhianatiku, kau membuangku, lalu kenapa kau membawaku kembali ke sisimu dan menyiksaku? Memaksaku untuk mengandung anak lagi? Apa kaupikir ini akan menyelesaikan masalah kita?"

"Lalu, kaupikir kata maaf akan mengembalikan semua seperti semula? Apakah kata maaf cukup untuk membuatmu memandangku seperti saat kita begitu saling tergila-gila antara satu dengan yang lainnya?"

Naya menggeleng. Sakit hatinya tak akan sembuh hanya dengan kata maaf dari Noah. Hatinya sudah terlanjur hancur dan ia sudah memilih meninggalkan Noah satu-satunya jalan demi kewarasan otak dan luka di hati yang sudah semakin melepuh.

Noah diam sejenak. Menatap air mata yang meleleh di pipi Naya. "Dan mengkhianatimu? Kau berpikir aku mengkhianatimu dan kau langsung menandatangani surat perceraian, melenggang pergi tanpa tahu kerusakan yang kau limpahkan padaku. Apakah hanya sebatas ini cinta yang kaumiliki untukku, Naya? Kau bahkan tak mengkonfirmasi kebenarannya padaku."

"Apa yang harus kupertahankan jika cintamu saja sudah tak bisa kumiliki, Noah?" Suara Naya lemah dan berlumur keputus-asaan. Tubuhnya meluruh ke punggung ranjang.

Noah NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang