Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul lima sore, orang-orang sudah mulai dihitung jari yang masih sibuk bekerja di kampus. Beberapa orang pegawai dan pramukantor terlihat masih sibuk membereskan pekerjaan mereka masing-masing. Seorang mahasiswi tampak sedang duduk di salah satu gazebo yang ada di dalam lingkungan kampus. Perempuan itu berambut lurus hingga bahu, lengkap dengan warna pirang oranye yang membuatnya semakin berbeda dengan mahasiswi lainnya. Mahasiswi itu masih sibuk mengutak-atik laptopnya—sepertinya ia sedang mengerjakan tugas. Perangkat telinga masih terpasang dan membuatnya semakin tidak ingin diganggu.
"Dek, belum mau pulang?" Tanya salah seorang pramukantor saat menghampiri mahasiswi tersebut. Tidak ada respons. Pramukantor itu menggerakkan tangan kanannya di depan wajah mahasiswi tersebut. Barulah ia tersadar dan mencabut salah satu perangkat telinganya, "iya, ada apa, Bu?"
"Belum mau pulang? Sudah sore, Dek." Tanya pramukantor itu sekali lagi.
Mahasiswi tersebut melihat sejenak jam tangannya, "Hmm... Mungkin sebentar lagi. Paling setengah enam saya pulang, Bu."
"Oh. Baiklah." Pramukantor itu pun beranjak meninggalkan mahasiswi tersebut.
Mahasiswi tersebut kembali memasang perangkat telinganya dan kembali fokus dengan ketikannya yang sepertinya tak berujung itu. Untuk apa juga saya cepat pulang. Hanya ada Ibu di rumah, gumamnya dalam hati.
Sore ini mahasiswi tersebut mengenakan pakaian berwarna biru tua dengan rok panjang berbahan kain dan warna senada. Lengkap dengan tas ransel berwarna cokelat, sepatu converse kesukaannya yang mulai kelas satu SMA belum diganti-gantinya sampai sekarang. Salah satu buku mata kuliah hukum tergeletak di depannya, sementara gelas berisi kopi sejak tadi sudah tandas.
Telepon genggamnya berdering, "Iya, Bu? Assalamualaikum," jawabnya.
"Nak, kenapa belum pulang?"
"Masih ada tugas, Bu. Sebentar lagi."
"Cepat pulang ya."
"Iya, Bu." Lalu sambungan teleponnya pun terputus.
Mahasiswi tersebut kembali melanjutkan ketikannya. Sebentar lagi selesai, ucapnya dalam hati. Sore ini, Makassar masih sama dengan kemarin. Jalanan penuh dengan kendaraan, suara klakson, dan gerutu para pekerja yang baru pulang dari kantor menuntutnya harus lebih produktif dari kemarin. Mungkin karena keramaian, kekacauan, atau kepadatan lalu lintas membuat mahasiswi tersebut belum mau beranjak pulang.
Namun, setelah menghabiskan waktu selama satu jam lebih. Akhirnya mahasiswi tersebut menghentikan ketikannya.
"Sedikit lagi, Kak Arki. Saya ingin kau membaca ini. Jika saja—" Mahasiswi tersebut menutup mulutnya rapat-rapat dan memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya. Setelah selesai mengetik, ia pun menutup laptop dan berkemas untuk pulang.
Sudah pukul setengah enam sore. Jika memutar musik maka satu kampus akan mendengarnya, suara jangkrik sudah mulai terdengar. Keadaan yang sangat disukai seseorang. Entah, mahasiswi tersebut lebih menyukai kesepian daripada keramaian yang sudah jelas ada kebahagiaan. Tetapi, ia menganggap bahwa kebahagiaan bukan hanya soal keramaian, tetapi kesepian juga akan menumbuhkan kebahagiaan. Karena baginya, kesepian membuatnya lebih mencintai dirinya sendiri.
Karena mahasiswi tersebut menganggap bahwa cinta hanya akan ada dalam satu kali kesempatan saja. Bukan kedua atau ketiga kali, seperti yang dipercayai oleh orang-orang.
Tak butuh waktu lama menunggu, angkot segera saja datang.
Selama dalam perjalanan, karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Maka suasana lalu lintas pun sudah sangat ramai. Perempuan penggemar puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ini pun memilih untuk menyumbat kedua telinganya dengan earphone dan memutar musik. Angkot yang dinaikinya perlahan-lahan menembus kemacetan, pikirannya entah berada di mana.
YOU ARE READING
Kesempatan Kedua: Mengapa Cinta Harus Dipercaya Lagi?
RomanceCinta seharusnya mengubah yang buruk menjadi baik dan hal yang baik menjadi lebih baik lagi. Cinta seharusnya menjadi alasan seseorang untuk terus hidup dalam kebahagiaan. Cinta seharusnya menjadi tujuan dari segala perjalanan hidup manusia, tujuan...