Bagian 4

40 4 0
                                    

"Dasar kutu buku busuk! Penghuni gua! Aneh! Tidak punya teman, kasihan. Haha." Ejek salah seorang mahasiswa di dalam ruang kelas. Sontak, mahasiswa lainnya pun tertawa.

***

"Akan kuhentikan tahun-tahun

diamku demi mengatakan kau

cantik. Setelah itu, aku bunuh diri.

Atau memintamu jadi seekor

gagak yang mematuk mataku. Aku

ingin melihat perih terakhir adalah

merah paruhmu.


Halaman dan rumahmu selalu

penuh langit jatuh. Permukaannya

menyentuh dan menjadi kalung

bagi leher kota. Laut merebutmu.

Matamu berteman baik dengan

ikan dan terancam mata pancing.


Langit adalah langit, namun sedikit

lebih basah. keduanya cemburu

kepada matamu."


Nadia membaca sebuah puisi dari buku yang lupa diambil Raka saat berdiskusi dengannya dua hari yang lalu. Ia tidak datang ke kampus karena tidak enak badan. Malam ini, Nadia sementara istirahat sambil membuka-buka buku dan berharap hatinya pun bertindak seperti itu. Jam di atas nakas menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh lima menit. Suara detak jam terdengar selain degup jantung Nadia sendiri. Ia membuka buku puisi tersebut secara acak dan tepat pada halaman kedua puluh empat, Laut Berparuh Merah adalah judul puisi yang segera saja dibaca Nadia sebelum terlelap tidur.

Baju tanpa lengan berwarna putih menyelimuti tubuh Nadia malam ini dan bando karet merah jambu terpasang di kepalanya agar rambutnya tidak acak-acakan.

Nadia melanjutkan bacaannya masih dengan suara berbisik,

"Waktu menjadi siang yang padam

berminggu-minggu. Menggenang

seperti kenangan yang

ditinggalkan jalan pulang.


Bencana melandai, menjadi tongkat

yang menggandeng tanganku ke

pantai. Dengan gemetar rindu,

kusentuh alismu. Sesuatu yang asin

dan asing menjawabku. Butiran-

butiran garam yang terbuat dari

masa lalu kita. aku tak bisa

merasakan angin lagi sebagai lagu.

Ia menyebut terlalu banyak nama.


Bekas lukaku hidup seperti air

terperangkap di telinga usai mandi.

Seperti gigi bungsu susah payah

tumbuh dan merobek gusi.


Kesempatan Kedua: Mengapa Cinta Harus Dipercaya Lagi?Where stories live. Discover now