"Nadia, coba lihat buku ini. Sampulnya bagus, seperti sebuah lukisan seorang seniman ternama dunia."
"Iya, betul. Seperti lukisan. Saya baru lihat sampul buku seperti ini."
"Menurutmu, seberapa penting sampul untuk sebuah buku?"
"Menurutku, sampul sangat penting untuk sebuah buku. Karena, jika sampulnya bagus dan eye catching bisa menarik perhatian saat pertama kali melihat. Menarik perhatian kita untuk membacanya."
"Lalu, bagaimana dengan pendapat bahwa jangan melihat buku dari sampulnya?"
***
Nadia bangun dengan tubuh berkeringat. Ia melirik ke jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Kak Arki? Kaukah itu? Pikirnya dalam hati. Nadia lantas merebahkan kembali tubuhnya di atas tempat tidur, mencoba untuk tidur lagi. Namun, saat matanya menatap langit-langit kamar. Kejadian-kejadian bersama Arki Manjurungi seketika terlintas dalam benaknya.
"Kak Arki, bagaimana kabarmu di sana?" Tanya Nadia, berbisik.
Tak lama, Nadia tertidur kembali.
"Nadia? Nadia? Nak?" Ibunya Nadia mengetuk pintu kamar anaknya.
Nadia terbangun dan membuka matanya pelan-pelan, tangannya mengucek-ngucek mata dan meregangkan badannya. "Iya, Bu."
"Bangun, Nak. Sudah subuh," ucap ibunya.
"Iya, Bu."
Ibunya Nadia pun meninggalkan pintu kamar anaknya. Nadia yang masih dalam keadaan mengantuk, melirik ke seluruh bagian kamarnya. Ia masih belum rela untuk kehilangan rekaan adegan-adegan bersama Arki Manjurungi. Lalu ia pun bangkit dari tempat tidurnya, kedua matanya seketika melirik sebuah kertas post it berwarna kuning yang tertempel di bagian depan tas ranselnya, kau adalah kata dan kita adalah puisi.
Nadia segera mencabut kertas post it tersebut dan membacanya. Siapa lagi yang menulis ini? Ia pun meremas kertas tersebut dan membuangnya.
"Nadia, temanmu datang. Katanya dia mau jemput, Nak," ucap Ibunya Nadia saat sedang membersihkan halaman rumah.
Nadia yang masih sibuk berpakaian, heran. Siapa lagi ini yang mau jemput?
"Siapa, Bu?" Tanyanya dari dalam kamar.
"Katanya, teman," jawab Ibunya singkat.
Nadia pun menyingkap gorden kamarnya dan melihat siapa yang menjemputnya. Ia langsung terkejut saat melihat laki-laki yang menjemputnya tersebut, kenapa dia ke sini? Untuk apa lagi? Duh! Nadia seketika ingin menghindar, tetapi semua sudah terlambat saat Ibunya datang dan masuk menghampiri Nadia ke dalam kamar.
"Bikin apa sih, Nak?"
Nadia terkejut saat Ibunya tiba-tiba masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu, "Ibu... Bikin kaget. Ini lagi pakaian, Bu."
"Itu teman kamu sudah menunggu dari tadi," ujar Ibunya.
Pandangan Nadia tertuju pada salah satu tangan Ibunya yang menggenggam sebuah bungkusan, "itu apa, Bu?"
Ibunya tersenyum, "Oh. Ini bubur ayam, dikasi sama temanmu. Katanya untuk sarapan."
Dasar cowok pencari perhatian.
"Cepat Nadia! Temanmu sudah lama menunggu," ujar Ibunya sebelum beranjak menuju dapur.
Bagaimana caranya saya bisa menghindar? Nadia mencari cara.
Sementara itu, laki-laki yang menjemput Nadia duduk di ruang tamu dan memandang foto-foto yang terpasang di dinding rumah.
"Aaarrrgggghhhhh..." Nadia teriak dari dalam kamar.
YOU ARE READING
Kesempatan Kedua: Mengapa Cinta Harus Dipercaya Lagi?
RomanceCinta seharusnya mengubah yang buruk menjadi baik dan hal yang baik menjadi lebih baik lagi. Cinta seharusnya menjadi alasan seseorang untuk terus hidup dalam kebahagiaan. Cinta seharusnya menjadi tujuan dari segala perjalanan hidup manusia, tujuan...