Bee masih melanjutkan aksi menangis di pelukan Deven. Bayangan Deven yang akan meninggalkannya tidak bisa lepas dari benak Bee. Ia takut setengah mati, bagaimana jika suatu saat nanti Deven benar-benar akan meninggalkannya? Tidak, Bee tidak mau. Bee ingin Deven selalu dan akan terus berada di sisinya. Ia ingin sekali egois jika menyangkut urusan Deven. Ia ingin Deven-nya selalu bersamanya.
"Sakit ya" Deven menyentuh luka kecil di pergelangan kaki Bee.
Bee sedikit mengaduh lalu menarik kakinya, ia menggeleng pelan. Luka di pergelangan kakinya tidak seberapa dibanding rasa takut akan kehilangan Deven.
"Maaf ya." Entah sudah keberapa kalinya Deven mengucapkan maaf berulang-ulang. Seolah hanya sebuah kata tidak cukup, ia tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan hati yang terluka.
Beberapa menit terlewati dan Bee baru saja menyelesaikan tangisnya, meski begitu perasaan tidak nyaman di hatinya masih tertinggal. Lagi-lagi perasaan kehilangan. Bee mencoba mengusir perasaan takut itu karena pada saat ini, Deven masih berada di sisinya bahkan memeluknya.
Deven meraih kedua tangan Bee untuk dikalungkan ke kedua sisi bahunya. Deven menggendong Bee di belakang. Bukannya pergi ke motor, Deven malah membawa Bee kembali ke lapangan.
"Mau kemana?" tanya Bee serak. Sisa-sisa air mata masih terlihat.
"Gitar ama lilinnya ketinggalan." Deven hanya memberikan cengiran kuda. Bagi keduanya gitar dan lilin adalah barang yang sangat berharga di kehidupan mereka.
Deven mendudukkan Bee tak jauh dari gitar dan lilin berada. Masih terlihat beberapa teman-teman mereka di lapangan futsal, tampaknya mereka masih betah. Zavier yang melihat keberadaan Deven hanya menyapa menggunakan matanya dan Deven hanya membalas sapaan itu dengan menaik turunkan alisnya sebanyak dua kali.
"Deven boleh merokok nggak?" tanya Deven sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan koreknya. Bee hanya mengangguk. Ia paham, sebagai laki-laki rokok adalah salah satu cara untuk menenangkan hati mereka.
Deven beranjak, tetapi satu tangannya ditahan oleh Bee. "Di sini aja."
Deven mengangkat satu alisnya, sedikit bingung. "Di sini? Enggak ah, mana boleh merokok deket-deket Bee. Nggak baik."
Bee senyum kecil. "Nggak mau ditinggal Deven."
Laki-laki itu kembali duduk, ia mengangguk lalu menyimpan kembali rokoknya. "Nggak jadi deh," ujar Deven.
Bee menyetujui kata-kata di instagram yang ia baca beberapa hari lalu. Jangan bicara soal sopan santun jika kau masih tidak melihat kemana arah asap rokokmu.
Deven mengambil lilin yang ia beli lalu menyalakan api di atasnya. Untuk sebagian orang mungkin lilin hanyalah benda yang tidak terlalu dibutuhkan. Tetapi untuk Bee dan Deven, lilin adalah salah satu benda yang berharga terutama lilin putih. Mereka bukannya ingin menyekutukan sesuatu yang mereka percaya seperti Tuhan. Mereka hanya merasa bahwa lilin putih selalu menemani hubungan mereka.
Hal itu mungkin bisa digambarkan seperti, apakah kalian tidak memiliki hal-hal unik ketika berpacaran? Mungkin seperti laki-laki dan perempuan yang harus memakan martabak jika bertemu. Atau sepasang kekasih yang harus berkeliling kota menaiki motor seminggu sekali jika bertemu.
Deven dan Bee akan menyalakan lilin putih dan membiarkan lelehannya menemani mereka berdua, sementara itu asap dari lilin putih akan tersapu oleh angin bersama harapan-harapan yang tak sempat mereka ucapkan.
Kadang mereka merasa-selain Tuhan-hanya kepada lilin mereka bisa merasa tenang. Bahkan ketika mereka menunjukkan sisi lemah sekali pun. Lilin putih tidak akan menghakimi, ia hanya akan melelehkan dirinya seperti mereka yang melelehkan air matanya. Lilin putih bahkan akan memberikan sedikit kehangatan dengan api kecil yang ia miliki.
Selagi membiarkan lilin itu bekerja semestinya, Deven meraih gitar. Gitar pun juga menjadi salah satu barang yang berharga di dalam hubungan mereka. Deven memiliki suara yang bagus dan itu membuatnya akan terus menyanyikan lagu apa pun sesuai permintaan perempuannya atau sesui dengan keadaan yang mereka rasakan.
"Mau lagu apa?" tanya Deven.
Bee bergumam, arah pandangan matanya ke sebuah lilin yang mulai melelehkan dirinya. Betapa tulusnya sebuah lilin menemani mereka tanpa mengeluh. Entah sudah berapa ratus lilin mereka habiskan selama keduanya menjalin hubungan.
"Menunggu Pagi," jawab Bee.
"Peterpan?"
Bee mengangguk dan Deven pun mulai memetik gitarnya.
"Apa yang terjadi dengan hatiku, ku masih di sini menunggu pagi. Seakan letih tak menggangguku, ku masih terjaga menunggu pagi." Deven mulai bernyanyi diiringi suara petikan gitarnya.
Selama Deven bernyanyi, Bee memejamkan mata sembari meresapi lirik dari lagu itu. Beberapa harapan juga ia ucapkan dalam hati.
"Nggak ada lagi hal yang kita harapin kecuali rasa percaya dan menjaga yang masih ada. Nggak peduli semua orang nggak setuju ama hubungan gue dan Deven terlebih orang tua gue, tapi gue bakal tetap berusaha. Mungkin ini emang masih bisa dibilang terlalu dini untuk membicarakan hal-hal yang bakalan terjadi di masa depan, tapi gue bener-bener berharap bahwa Deven satu-satunya yang pertama dan terakhir yang bisa milikin gue dan gue milik dia. Perjuangan kita nggak hanya sebatas orang tua, tapi menumbuhkan rasa saling percaya dan melindungi di setiap harinya, atau bahkan rasa bosan yang sekuat mungkin kita hindari. Cinta nggak sebercanda itu untuk diajak main-main."
"Ya Tuhan, gue ama Deven nggak pernah mandang bulu kita dari keluarga mana dan sebagai apa. Nggak! Yang ada, gue adalah Bee dan dia adalah Deven tanpa embel-embel apapun. Hubungan kita murni saling mencintai, rasa saling menjaga yang terus tumbuh di setiap harinya dan rasa saling percaya untuk tetap mengokohkan sebuah hubungan. Apapun bakal kami terjang jika perlu, bahkan halangan apapun akan kami tebas. Gue berjanji sama diri sendiri dan gue berharap Deven juga ngelakuin hal yang sama. Kalau Deven aja bisa menjaga gue dengan nyawanya kenapa gue nggak bisa jaga kepercayaannya sepenuhnya? Dan terakhir, Ya Tuhan. Jadikan Deven menjadi orang yang benar benar di samping gue dalam kondisi apapun dan dalam keadaan apapun."
Hari semakin malam, lilin putih itu pun telah mengecil. Mereka para lilin putih lagi-lagi merelakan dirinya menghilang hanya untuk menemani Deven dan Bee. Laki-laki menyelesaikan lagunya dan seiring itu Bee membuka mata. Dilihatnya laki-laki yang 5 tahun terakhir menemani dan mencintainya. Tatapan Deven sama sekali tidak berubah, seolah memuja dan ingin terus menjadi alasan bahwa dirinyalah Bee selalu ada.
"Memang melelahkan Bee, tapi Bee masih punya Deven," tuturnya lembut dan detik kemudian Deven menciun kening Bee seolah menyalurkan hasrat betapa besarnya rasa kasih yang dia berikan ke Bee. Bee kembali menutup mata sambil memberi pelukan ke Deven.
Bee bergumam dalam hati, "Dan bau ini yang selalu dan masih menjadi candu gue. Baunya Deven."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Tanpa Sudut •|REVISI|•
JugendliteraturBab 18-23 belum direvisi, baca 1-17 dulu ya, haha. "Kau dekat, namun tak bisa kusentuh." "Jangan menangis, aku tak seleluasa itu untuk memelukmu." ✍ 2 Feb 2020 -