6. •Kunjungan•

109 19 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah kaki Deven menapaki koridor rumah sakit dengan tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah kaki Deven menapaki koridor rumah sakit dengan tenang. Tidak banyak yang berubah dari rumah sakit ini setelah satu bulan ia tidak menginjakkan kaki. Seingatnya, waktu itu ada seorang pasien kakek-kakek yang sering kali berteriak saat malam. Kini, di balik kamar yang Deven tahu adalah ruangan kakek itu tidak ada suara apa pun, Deven menyimpulkan bahwa kakek itu telah pulang dan sembuh. Sunggingan senyum tampil di kedua sudut ibirnya tanpa alasan khusus, ia hanya merasa lega kakek itu telah sembuh yang entah dari penyakit apa, yang Deven tahu, kakek itu adalah pasien yang sangat rewel.

Langkah kaki Deven terus berjalan sampai matanya bertemu pandang dengan salah satu suster yang kebagian shift malam.

"Kamu kok baru kelihatan?" Mata suster itu melebar begitu melihat Deven dari jarak dekat. Ada sedikit tatapan cemas di pandangannya. Suster itu memegang lengan Deven untuk memeriksa keadaannya, ia baru sadar bahwa ada beberapa memar di wajah Deven.

"Hehehe iya, Sus, biasalah kelas tiga banyak banget urusannya. Oh iya, Sus, gimana keadaan Mama?" Deven berusaha melepaskan tangan suster di depannya hati-hati tanpa menyinggung perasaan cemasnya. Deven hanya merasa tidak enak hati dicemaskan seperti ini.

Perempuan yang disapa Suster Manda itu hanya memberikan senyum lembut keibuan untuk Deven. Usianya memang belum dikatakan tua, namun tidak lama lagi ia dikabarkan akan menikah. Itulah alasan mengapa ia sudah pantas menyandang gelar 'memiliki senyum keibuan' karena usianya yang sudah bisa dikatakan matang.

"Mamamu baik, kamu yang malah tiba-tiba ngilang nggak bisa dihubungi," ujar Suster Manda berusaha untuk tidak terlihat menyalahkan.

Deven mengangguk. Ada perasaan bersalah di dalam benaknya karena tiba-tiba tidak mengunjungi ibunya lagi. "Ya udah deh, Deven mau ke sana dulu."

Suster Manda mengangguk. "Kamu nggak sakit kan?" tanya Suster Manda sebelum Deven benar-benar pergi, ia kembali menarik lengan Deven. Rasa penasaran dan khawatirnya telah membuncah sejak melihat memar-memar itu.

Deven tersenyum kecil. "Nggak, Sus, ini problem rumah tangga." Deven berusaha tertawa renyah.

"Maksud kamu, Bee mukul kamu?" tanya Suster Manda yang kebingungan dengan arah pembicaraan Deven, sementara Deven memilih untuk tidak lagi menanggapi perihal dari mana ia mendapat memar itu.

"Bukan, Sus, udah ah Deven mau ke ruangan Mama dulu." Deven berlalu meniggalkan Suster Manda dengan pikiran-pikirannya. Suster Manda pun ikut berlalu begitu Devin telah pergi.

Meskipun sudah dikatakan kenal dekat dengan Suster Manda karena seringnya Deven ke rumah sakit, bukan berarti Deven akan menceritakan semua hal tentang pribadinya.

Ada kalanya Deven membutuhkan bantuan Suster Manda untuk berdiskusi tentang perempuan agar Deven juga mampu memahami Bee dari sudut pandang perempuan, ada kalanya juga Deven membutuhkan saran dari Suster Manda untuk menanyakan bagaimana caranya berusaha mempertahankan sebuah hubungan. Namun, kedekatan itu belum membuat Deven berani untuk membuka siapa dirinya.

Deven membuka salah satu ruangan yang agak jauh dari ruangan-ruangan pasien kebanyakan. Ia membuka pintunya dengan hati-hati dan perlahan, takut jika seseorang yang sedang terbaring lemah di sana akan terganggu tidurnya. Deven tersenyum kecut dengan pikirannya barusan, ia justru senang jika seseorang di ruangan itu bisa membuka matanya kembali.

Hening. Itulah yang pertama kali Deven rasakan. Sama seperti sebulan terakhir saat ia mengunjungi tempat ini lalu memutuskan untuk menghilang dengan artian tidak bisa dihubungi sementara. Deven menyesali tindakannya itu, tetapi di lain sisi ia sendiri butuh sesuatu untuk menguatkan dirinya dan hatinya.

"Maaa ...." Suara Deven serak memenuhi ruangan yang sedikit remang. Tanganya menyusup ke telapak tangan milik perempuan paruh baya yang sedang memejamkan matanya dengan tenang di atas ranjang.

Tangan yang masih terasa hangat seolah perempuan yang terbaring ini telah melakukan sesuatu seperti orang kebanyakan.

Mata Deven meneliti wajah perempuan yang dipanggil mama itu dengan harap-harap cemas. Ia ingin setidaknya satu kali bisa melihat atau merasakan tangan mamanya bergerak.

"Mama marah ya ama Deven makanya diem aja?" Suara Deven terkecat. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa kebingungan, ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dan menurutnya keadaan seperti ini membuatnya frustasi. Ia merasa dekat dengan sebuah kehilangan.

"Deven janji deh nggak bakal bikin masalah di sekolah kalau Mama mau buka mata Mama. Deven janji, ini bakal pelanggaran terakhir yang Deven lakukan kalau Mama mau buka matanya." Deven mengusap tangan perempuan itu penuh kasih, rasa hangat tangannya membuatnya rindu. Rindu peluknya yang selalu erat. Tangan yang kian lama kian memucat. Rasanya Deven tidak tega dan ingin memeluk mamanya seerat mungkin.

"Deven di-skors pihak sekolah gara-gara bikin salah satu anak dari orang tua penyumbang dana terbesar di sekolah koma, Deven nggak tahu sih koma beneran atau sekolah yang memang melebih-lebihkan." Deven menunduk, menempelkan keningnya di punggung tangan mamanya. Air matanya menetes tanpa isak. Meskipun napasnya tersenggal, ia berusaha untuk tetap setenang mungkin. Ia sedang berusaha mengendalikan emosionalnya.

"Tapi Deven merasa kalau Deven enggak salah. Soalnya dia kurang ajar ke cewek, Ma. Dia kurang ajar ke Bee dan Deven nggak suka. Maafin Deven ya, Ma."

Deven menahan kegiatannya untuk tetap menempelkan keningnya di punggung tangan mamanya. Ia menikmati suasana hening di ruangan mamanya. Hanya bunyi mesin yang mengontrol detak jantung mamanya satu-satunya sesuatu yang bersuara. Deven suka saat-saat seperti ini, tidak apa-apa hanya sekedar terbaring di atas tangan mamanya, setidaknya ia masih bisa merasakan nadi di tangan mamanya.

💙

💙

💙

Deven melepaskan genggamannya dari tangan mama, ia mengelap sisa air matanya yang masih menetes. Hampir satu jam ia berada di ruangan dan sekarang ia harus buru-buru pergi mengingat ia memiliki janji bersama Bee. Laki-laki itu kemudian tersenyum sambil kembali mengusap tangan mamanya.

"Ma, Deven pergi dulu. Hari ini Deven mau ngerayain hari jadi kami yang kelima." Deven menghela napas. "Mama nggak mau ketemu ama Bee lagi? Biasanya Mama sering banget nanyain dia, apa lagi kalau Deven lagi berantem ama dia." Deven melihat wajah mamanya, tetap tidak ada pergerakan apa-apa, juga tidak ada jawaban apa pun.

"Deven pamit ya, Ma. Nanti Deven ke sini lagi. Mama cepet bangun." Deven beranjak lalu mengecup kening mamanya kemudian keluar ruangan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ruang Tanpa Sudut •|REVISI|•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang