2# Khanza

2.6K 214 55
                                    

Cinta itu ibarat butiran pasir, semakin tergenggam erat, ia akan lepas, menghambur, lalu pergi terbawa angin
*********Cinta Dalam Luka********

Embus semilir angin pagi ini menyeruak melalui kisi-kisi jendela rumah tua. Udara segar yang membelai bakda subuh ini tidak bereaksi apa-apa bagi Khanza. Pengap. Sama dengan suasana hatinya saat ini.

Gadis itu terpekur di atas ranjang kamarnya. Isakan tangis kembali menguar dari bibir Khanza. Bathinnya sakit. Nyeri sampai menembus dada. Allah, kalau boleh menggugat, kenapa Kau hadirkan dia, kalau pada akhirnya tak bisa bersama. Bathin Khanza

Mencoba ikhlas, tapi rasanya muskil dalam waktu singkat. Khanza butuh waktu. Apalagi jika teringat nama Zaidan, perih itu kembali meracuni jiwanya. Khanza gadis polos, baru mengenal kata-kata cinta, tapi sudah harus merasakan sakitnya.

Kedatangan Zaid kemarin benar-benar mencipta nestapa di hati Khanza. Bukan membawa bahagia layaknya yang dia janjikan, tetapi menoreh luka mendalam. Oh Ya Allah, kenapa harus ada cinta jika akhirnya terperosok dalam kubangan luka.

"Maafkan Mas, sungguh, demi Allah, ini bukan keinginan Mas."

Ucapan Zaid terngiang kembali di benak Khanza. Kenapa harus berjanji yang manis-manis kalau pada akhirnya hanya pahit yang tersuguh?

Pagi yang biasanya disambut Khanza dengan senyum penuh suka cita, tetapi tidak hari ini. Gadis berperawakan mungil itu masih setia meraung. Merasa hidup ini sangat tidak adil baginya. Tetapi menggugat pun tidak ada gunanya. Harusnya dari awal Khanza sadar diri, bahwa dia dan Zaidan ibarat langit dan bumi. Perbedaan mereka sangat mencolok. Ibarat punuk merindukan bulan. Bermodal cinta dan keyakinan saja tidak akan cukup.

Khanza mengusap wajah dengan kasar. Menarik napas dalam. Dia harus bangkit. Tidak baik kalau terus menangisi hal yang sia-sia. Zaidan sudah memiliki pilihannya, itu artinya Khanza harus bisa lapang menerima. Berarti Allah tidak menakdirkan mereka berjodoh.

"Khanza, sedang apa Nak, kenapa belum keluar kamar?"

Suara teguran nenek Aminah menyadarkan Khanza. Bergegas dia bangkit dari tempat tidur dan menghampiri sang nenek. Sebelum itu tidak lupa Khanza menyeka wajahnya berulang kali menggunakan tissue agar tidak ketahuan nenek kalau dia sedang bersedih.

"Iya, Nek, Khanza agak pusing tadi, makanya terlambat keluar." alibi Khanza. Tidak tega rasanya jika harus berterus terang pada enek Aminah bahwa semalam Zaid telah memutuskan hubungan mereka.

"Benar kamu tidak apa-apa, Nak?"

"Iya, Nek, sekarang Nenek sarapan dulu ya, tadi Khanza udah masak, setelah itu Nenek minum obat."

Khanza menggiring langkah bersama Nenek Aminah menuju meja makan. Di sana sudah terhidang semangkuk sayur bening bayam, tongkol balado dan juga bakwan jagung.
Menciduk nasi untuk sang nenek, tapi Khanza enggan menyentong nasi ke piringnya. Nafsu makannya hari ini menguap bersama dengan luka yang Zaid torehkan semalam.

"Lho, kamu ndak makan, Zha?" tegur nenek Aminah. Khanza menggeleng sepintas.

"Enggak Nek, belum laper, nanti saja."

"Sarapan itu penting Khanza, jangan sampai nanti badan kamu lemes lho."

"Iya, Nek, nanti Khanza nyusul. Sekarang Nenek aja dulu yang sarapan."

Usai menemani nenek Aminah sarapan dan minum obat, Khanza pamit seperti biasanya, pukul delapan pagi dia sudah harus ada di restauran tempatnya bekerja. Menjadi waitres di sana selama ini demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan nenek Aminah.

"Nek, Khanza pamit mau berangkat kerja dulu ya, Nenek hati-hati di rumah, jangan lupa makan siang sama minum obatnya. Semua udah Khanza siapin di meja kamar Nenek." ceriwis dan banyak pesan saat akan melangkah pergi.

Cinta Dalam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang