7# Kamu Harus Memilih

3.2K 233 59
                                    


Cinta yang haqiqi diikat dengan pernikahan. Dan, hubungan yang diberkahi adalah ikatan halal suami-istri.

(Cinta Dalam Luka)

"Mas, kali ini aku ingin bicara serius sama kamu." Mutia memandang tegas ke arah Zaid yang sedang menyeruput minumannya. Zaid langsung meletakkan cangkir di atas meja berbentuk mini bar di dapur bersih.

"Bicara saja, dari tadi sudah kusuruh, kan?"

"Aku mau Mas Zaid tegas."

Gantian, Zaid yang memandang Mutia dengan tatapan intimidasi. "Maksudnya bagaimana?"

Mutia embuskan napas panjang.
"Mas, sejak kecil aku udah ditinggal mama. Aku tahu gimana rasanya sakit kehilangan. Beranjak dewasa, papa pergi selamanya. Papa selalu mengajarkan aku buat jadi pribadi yang kuat. Tidak boleh lemah dan gampang menyerah--"

"Jangan bertele-tele, langsung saja mau kamu apa?" Zaid memotong kalimat Mutia saat istrinya belum selesai bicara. Lelaki itu terdengar membuang napas kasar.

"Kamu harus memilih!" Tegas Mutia penuh penekanan. Kali ini dia kesampingkan pertemannya dengan Khanza. Mutia harus tegas, agar Zaid juga tegas akan sikapnya. "Kalau kamu masih ingin bersama Khanza, lebih baik kita pisah. Aku akan pergi ke pengacara sekarang dan urus perceraian kita!" Sambung Mutia tanpa menatap ke arah suaminya.

Zaid terperanjat dengan ketegasan Mutia. Padahal sejak awal menjadi suami-istri, gadis itu terlihat biasa saja, malah lebih banyak mengalah. Kenapa sekarang tiba-tiba berubah.

"Jangan main-main kamu! Kamu mau bikin Mama syok, terus kena serangan jantung?" sarkas Zaidan.

Mutia meremas kepalanya yang tertutupi pasmina.
"Aku capek Mas! Kita suami-istri, aku ini istri kamu. Tapi yang ada di pikiran kamu terus saja perempuan lain! Bahkan sebagai istri aku belum mendapatkan hak-ku. Kamu nggak adil, Mas!" Racauan Mutia diiringi suara serak saat mulai terisak. Keluar sudah semua buncah kecewa yang selama ini terpendam dalam hati. Zaid menjadi bungkam seketika. "Kamu jahat, Mas! Kamu perlakuan aku sesuka hati, semau kamu. Kalau tidak cinta, kenapa mau menikah?!" Mutia setengah berteriak. Habis sudah kesabaran menghadapi sikap dingin Zaidan.

"Muti---"

"Sssstt! Diam. Biar aku yang bicara dulu," potong Mutia saat Zaid ingin melontarkan kata. "Kamu harus pilih Mas, tidak bisa seperti ini, kamu hidup sama aku, tapi yang yang ada di otak kamu cuma nama perempuan lain. Aku sudah cukup bersabar, aku juga juga sudah lelah sama sikap dingin kamu!" Mutia kalut. Tangisnya makin pecah.

"Mutia, maaf."

"Maaf?! Cuma itu yang bisa kamu ucapkan. Aku lelah, Mas."

Sejak kecil Mutia selaku diajarkan almarhum ayahnya untuk mempertahankan apa yang dimiliki. Sikap tegas sebenarnya sudah terbentuk dalam diri Mutia, hanya saja karena menimbang perasaan mama mertua yang terlalu disayangi makanya dia masih menahan, berharap Zaid akan luluh. Nyatanya perkiraan-nya salah, sampai detik ini cuma nama Khanza yang selalu disebut Zaidan.

"Aku mungkin nggak akan sekecewa ini, andai saja aku..." Mutia menjeda kata-kata, menarik atensi Zaidan. Lelaki menggulir mata menatap intens ke arah Mutia.

"Andai aku nggak cinta sama kamu, Mas." Kalimat Mutia terlontar samar. Berikutnya hanya isakan yang terdengar.

Merasakan cinta bertepuk sebelah tangan tenyata sakitnya bukan main. Setiap saat harus menghadapi sikap dingin Zaidan. Tidak ada kehangatan dalam rumah tangga mereka. Untuk apa berusaha bertahan kalau perasaan ini yang punya hanya Mutia. Sedangkan Zaidan sama sekali tidak peduli.

Cinta Dalam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang