#5

14 2 0
                                    

Boy POV 

"iya nanti gue ke sana"

Hari Ini begitu melelahkan. Setelah menuggu Larissa seharian, aku sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah pak dhe. Setelah hampir tengah malam aku pergi ke rumah teman lamaku, Arman. Arman adalah orang yang berarti untukku. Dia adalah orang yang harus dijaga bak berlian yang berharga dan bagiku Arman adalah berlian. Aku dan Arman sudah menjadi teman sejak masih kecil. Dia anak pemilik perusahaan teknologi ternama di Bandung. kesibukan orang tuanya yang tak pernah menyisihkan waktu untuk Arman membuat Arman memiliki kepribadian seperti kotak musik, yang ceria, menenangkan namun sebenarnya kesepian. Selama Arman terlihat baik-baik saja, orang tuanya juga akan menganggap tidak terjadi masalah. Namun yang menarik dari keluarga Arman adalah ayah Arman tidak akan membiarkan Arman lecet sedikitpun. Arman pernah bilang bahwa orang tuanya seperti zombie, saat dia bilang seperti itu aku langsung marah dengannya tetapi setelah Arman menjelaskan,  aku jadi paham anak-anak seperti Arman memang dipaksa tumbuh menjadi anak yang kuat sejak kecil.

                                                                          ***

Perjalanan dari rumah Larissa ke rumah Arman terasa seperti duri yang menusuk pikiranku perlahan. Pikiranku terus menuju dimana sebenarnya keberadaan Larissa hingga aku beberpa kali tidak fokus di jalan ke rumah Arman. Klakson mobil di belakangku kembali berbunyi. Entah ini sudah klakson keberapa dari mobil dan motor yang berada di belakangku. Bahkan tadi sempat ada yang mengeluarkan kata-kata kasar karena aku tiba-tiba ke tengah jalan ketika motor itu hendak menyalipku. Pikiranku terlalu riuh sehingga aku tak lagi merasakan riuhnya kota yang hampir menjelang tengah malam. Perjalanan yang biasa ku tempuh dengan waktu 10 menit sekarang menjadi terasa semakin lama.

Sesampainya di rumah Arman bukan malah ngerasa seneng tapi jadi malah semakin capek gara-gara tragedi klakson tadi, tapi aku berusaha menutupi semua itu dari Arman yang seringnya gagal.

"Dateng-dateng dah lesu aja nih bos, kenapa lau? Larissa lagi?" Tanya Arman

Si kampret kenapa sih dia selalu tau apa yang gue pikirin. Cenayang apa gimana nih orang. Gak jelas emang.

"Boss lo diem berarti benerkan kata gue?"

"dih, kagak lah. Dan satu lagi yang boleh panggil dia dengan Larissa cuman gue titik."

"yaelah jan tegang boss lemesin aja, baru sampek juga. Ya udah game yok biar tenang"

"Capek nih gue"

Arman tak lagi menghiraukan omonganku. Dia tetap menarik aku ke lapangan bulu tangkis miliknya. Yas yang dimaksud game oleh Arman memang bermain bulu tangkis. Sejak kecil Arman tidak punya teman bermain, padahal dia amat sangat menggilai bulu tangkis yang bisanya dimainkan minimal 2 orang. Padahal saat itu anak-anak seusia kami lagi menggilai bermain game online tapi dia berbeda. Saat itu karena aku lihat Arman bermain bulu tangkis dengan tembok, aku menghampirinya dan memintanya mengajariku main bulu tangkis. Itulah awal pertemuan kita dan hari-hari setelahnya aku selalu ke rumahnya untuk menemani dia bermain bulu tangkis.

"Gila ya udah lama banget gue nggak main, udah nggak jago nih gue" kata Arman yang sedang mengatur nafasnya karena di baru saja mengalahkanku di set pertama.

"Dih mana ada. Lo nggak jago aja bisa ngalain gue gimana kalau lo jago"

"Tipis bos. Gara-gara lo pindah ke luar negeri gue jadi nggak ada temen main nih"

"Lah temen kuliah lo?"

"Mana mau mereka main ginian. Mereka mah dateng ke rumah cuman buat main PS"

Diujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang