Seorang wanita menangis tersedu-sedu di samping gundukan tanah merah yang telah mengubur jasad ayahnya. Potongan kenangan yang mereka lalui bersama, kembali terputar di benak mendorongnya semakin dalam pada jurang kenestapaan.
"Tari ... ayo kita pulang," ucap seorang pria untuk kesekian kalinya, dan sekarang memberanikan diri menggenggam tangan Tari yang langsung menghempaskannya.
"Apa maksud dari genggamanmu itu, Riza? Sebagai tanda bahwa kamu puas membuatku menjadi manusia sebatang kara, atau puas karena berhasil mengikatku dengan menjadikanku istrimu, hah?" cecar Tari menatap penuh amarah pada pria yang telah menjadi suaminya sejak kemarin.
Riza terdiam, dan Tari kembali menatap kuburan ayahnya. Sejenak suasana hening mengingat tak ada siapapun di sana selain mereka berdua. Para warga yang mengantarkan jenazah pun sudah pulang sejak beberapa saat lalu.
Dunia Tari runtuh membuatnya begitu hancur. Sampai saat ini, dia masih tidak menyangka bahwa kemarin pagi menjadi pertemuan terakhir dia dengan sang ayah dalam kondisinya yang baik-baik saja.
Andaikan bisa, Tari ingin kembali pada hari kemarin dan tak akan membiarkan waktu meski satu jam sekali pun, agar dia tidak tiba pada malam hari yang menjadi saat kepergian sang ayah untuk selamanya.
Tari memejamkan mata tatkala pandangannya berkunang-kunang dengan telinga yang berdengung. Secara samar, dia mendengar suara Riza yang terus memanggil, semakin lama semakin mengecil hingga akhirnya hilang tergantikan oleh sunyi dan kegelapan.
Riza dengan sigap menangkap tubuh Tari yang terkulai tak sadarkan diri. Pria itu menggendongnya kemudian bangkit dan bergegas kembali ke rumah wanita yang merupakan istrinya ini.
***
Riza menatap wajah pucat istrinya yang sedang berbaring di atas ranjang. Kilasan kejadian yang membuatnya menikahi Tari dan berujung dicap sebagai pembunuh oleh istrinya sendiri, kembali terputar dalam benak.
Andaikan bukan karena sebuah amanat, maka Riza tidak akan pernah mau terjebak dalam kondisi ini.
'Saya terima nikah dan kawinnya, Rini Anitariani binti Farhan Setiawan dengan mas kawin tersebut, tunai!'
Suaranya yang mengucapkan qobul, menjawab ijab yang dikatakan oleh Farhan pada detik-detik terakhir kehidupannya turut terngiang membuat Riza memejamkan mata.
***
Selembar foto berukuran 2x3 jatuh dari buku seorang perempuan yang disadari oleh Ghani, sang ayah yang kini mengambil benda tersebut.
Ghani memperhatikan foto itu yang memperlihatkan seorang pemuda dengan pakaian formal, tersenyum ke kamera dengan tangan bersidekap di depan dada.
"Adiba," panggilnya sembari mendongak.
Adiba yang sudah betada di depan kamar, seketika berbalik dengan sebelah tangan memeluk buku diary-nya. "Iya, Yah?"
"Ini ... milikmu?" tanya Ghani sembari memperlihatkan foto tersebut pada putrinya.
Adiba membulatkan matanya terkejut. Dia menunduk melihat buku diary di tangannya, lalu bergerak cepat merebut foto itu dari tangan Ghani.
Kepanikan Adiba membuat Ghani kini terkekeh. Dia bertanya, "Apakah dia Riza?"
Adiba menatap Ghani penuh tanya. "Ayah mengenalnya?"
Ghani mengangguk. "Kami pernah bertemu dan ternyata dia anak dari teman Ayah. Ayah tahu kalau dia teman kuliahmu karena ternyata dia mengenali Ayah, dan bertanya tentangmu."
Adiba mengangguk-angguk. Dia tidak heran jika Riza mengenali Ghani, karena dia pernah melihatnya diantar ke kampus oleh sang ayah.
"Sejak kapan kau menyukainya, hm?" Ghani memegang pundak Adiba, dia tersenyum tipis dengan perasaan bercampur aduk. "Jujur saja pada Ayah, Nak. Ini berat, tapi mungkin sudah saatnya Ayah mengizinkanmu menikah."
"Aku sudah menyukainya sejak kami masih kuliah, Ayah." Adiba menjawab jujur dengan kepala tertunduk.
Ketika itu, ponsel Adiba yang ada di tangannya tiba-tiba berdering karena sebuah telepon membuat perhatian mereka teralihkan. Gadis itu kini mendongak menatap sang ayah. "Ayah, aku permisi buat angkat telepon dulu, ya?"
Ghani melipat bibir kemudian mengangguk. "Silakan."
Sepeninggal Adiba, Ghani berbalik pergi ke ruang kerjanya. Dia mengotak-atik ponsel kemudian menelepon nomor salah satu temannya.
***
Tari tersadar, dia mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk. Sejenak, otaknya kosong tanpa memikirkan apapun sembari mengedarkan pandangan.
Tatapan Tari berhenti pada Riza yang tampak tertidur dalam posisi duduk di lantai dan bersandar ke tembok. Dari wajahnya, dia bisa melihat kelelahan yang tercetak jelas di sana. Dari wajahnya pula, dia kembali mengingat apa yang telah terjadi.
Tari beringsut bangkit, dia bersandar ke tembok sembari memeluk lutut. Kejadian kemarin merupakan titik perubahan terbesar di dalam hidupnya, di mana dia kehilangan dan kedatangan dua orang berbeda di waktu yang sama.
Bulir bening mengalir di pipi Tari yang kini menghela napas. Tepat pada saat itu, Riza terbangun dan memperbaiki posisi duduk sembari menatap sang istri.
Setelah nyawanya terkumpul, Riza berdiri kemudian berpindah tempat duduk di depan Tari, membuatnya tersadar dari lamunan.
"Gimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja?" tanya Riza dengan suara yang begitu lembut, seolah hubungan mereka memamg baik-baik saja.
"Aku tak akan pernah bisa baik-baik saja sejak kamu merenggut ayahku."
"Saya tak sengaja, Tari. Itu kecelakaan." Jika bisa jujur, sampai sekarang Riza masih trauma dengan kejadian yang menciptakan sejarah baru dalam hidupnya itu.
"Haruskah aku peduli?" tanya Tari tanpa menatap Riza.
Riza menunduk sembari melipat bibir. Dia mengangguk kecil lalu menghela napas. "Baiklah, saya lega kalau kamu sudah sadar. Sekarang kamu lanjut istirahat aja, ya. Saya tunggu di luar, jadi kalau ada apa-apa kamu bisa langsung manggil saya."
Riza bangkit dan berbalik pergi meninggalkan Tari.
"Bisakah kamu menceraikan aku sekarang?" tanya Tari dengan suara yang terdengar putus asa.
Riza yang sudah berada di mulut kamar, seketika terdiam. Dia berbalik menghadap Tari yang menatapnya dengan linangan air mata.
"Kamu sudah memenuhi permintaan terakhir ayah untuk menikahiku dan sekarang dia sudah tiada, jadi apa lagi? Aku tak akan sanggup hidup bersama dengan orang yang membuatku kehilangan duniaku sendiri. Melihat wajahmu saja sudah membuatku tersiksa, jadi aku mohon, talak aku." Tari menyatukan telapak tangannya di depan dada dengan sorot mata memelas.
Riza mendekati Tari dan kembali duduk di hadapannya. Dia menurunkan tangan wanita itu dengan perlahan lalu berkata, "Tari, saya tahu pernikahan kita bermula karena kejadian yang begitu pahit untukmu. Tapi maaf, saya menolak permintaanmu, Tari. Saya berprinsip untuk menikah sekali seumur hidup. Terlepas dengan siapapun saya menikah dan bagaimana kehidupan ke depannya, selama masih bisa dipertahankan, maka saya akan berjuang untuk itu."
"Dirimu egois. Pernah kamu berpikir bagaimana rasanya menjadi aku? Setelah kehilangan ayah, aku masih harus menikah dengan dirimu yang entah siapa." Tari bahkan masih tidak mengerti kenapa Farhan menginginkan dia menikah dengan pria ini.
"Sebenarnya ... kita tidak seasing itu, Tari," ucap Riza terdengar ragu.
"Apa maksudmu?"
***
Haiii
Selamat datang di work pertamaku di wattpad, semoga betah ❤️Ambil yang baik buang yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikah
RomanceHidup berdua dengan sang ayah? Itu adalah sebuah keharusan bagi Tari yang sudah ditinggalkan sang ibu sejak kecil. Tidak masalah, karena dia mempunyai Farhan yang begitu menyayanginya. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, tapi kehidupan Tari baik-b...