5. Titik Ragu juga Keyakinan

3.2K 148 6
                                    

Matahari begitu terik menyinari bumi, ketika seorang pria berjalan di bawahnya dengan keringat bercucuran sejak setengah jam lalu. Dia adalah Riza yang sedang dalam perjalanan menuju rumah Tari.

Riza sengaja tidak menyewa ojek atau menaiki angkutan umum karena uang yang dia punya saat ini, rasanya begitu sedikit dan "sempit" untuk digunakan apalagi ketika melihat persediaan makanan di rumah Tari yang hanya tersedia telur.

Riza yang sudah benar-benar lelah, berjongkok untuk mengatur napasnya. Setelah kembali tegak, dia mengusap pelipis yang basah oleh keringat. Dia memicingkan mata ketika melihat sebuah warung di depan sana.

Setelah berpikir, Riza pun memutuskan untuk singgah ke sana dan membeli air mineral karena tenggorokannya benar-benar kering.

***

Setelah berkali-kali berhenti, dan yang terakhir adalah di sebuah masjid untuk melaksanakan salat zuhur, akhirnya Riza tiba di rumah Tari.

Riza yang sudah merindukan istirahat, langsung berbaring dengan berbantalkan tangan di bangku kayu buatan Farhan di halaman rumah. Pria itu menatap langit-langit.

'Saya datang untuk melamar kamu, Za.'

Tiba-Tiba, perkataan Ghani terngiang di telinganya.

Riza memang ingin hidup bersama Adiba, tapi dia tidak pernah berharap karena sadar bahwa dirinya sendiri pun tidak "bergerak". Namun siapa sangka, ternyata, gadis itu pun telah jatuh hati padanya.

'Gimana kalau seandainya pilihanku sia-sia? Aku kehilangan Adiba hanya untuk perempuan yang bahkan menolak keberadaanku,' batin Riza.

Riza menghela napas. Dia heran pada dirinya yang akhir-akhir ini sering sekali berdebat dengan diri sendiri, seperti sekarang contohnya.

Riza ingin mempertahankan pernikahannya, tapi di sisi lain, dia merasa bahwa hubungan mereka adalah ketidakpastian yang jelas tak layak mendapatkan pengorbanan besar, diusir dari rumah dan merelakan Adiba.

"Terima kasih sudah menjaga amanatku."

Riza seketika menoleh ke samping. Dia beringsut duduk dengan mata melebar terkejut saat melihat seorang pria paruh baya yang kini tersenyum padanya.

"Pa-Pak Farhan."

Farhan melangkah mendekati Riza yang masih terpaku. Pria paruh baya itu menepuk bahunya dengan sorot teduh.

"Aku titipkan putri sematawayangku padamu. Aku menganggapmu sebagai "kunci" dari apa yang terjadi pada masa lalu dan sekarang. Aku bertemu dirimu di detik-detik terakhir hidupku dan itu bukanlah ketidaksengajaan. Kamulah satu-satunya harapanku, Riza."

Farhan mundur, dan perlahan sekelilingnya berubah menjadi gelap. Riza memejamkan mata ketika sebuah cahaya bersinar begitu terang.

Riza kembali membuka matanya dengan situasi yang seperti semula. Dia melihat sekeliling termasuk dirinya sendiri yang masih dalam keadaan berbaring di bangku.

Riza beringsut bangkit, terdiam mengingat apa yang terjadi sebelum ini.

"Pak Farhan," ucap Riza yang masih bingung sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Farhan, hingga akhirnya dia pun tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi.

Riza mengusap wajah kemudian menghela napas saat kembali teringat perkataan Farhan yang seolah menjawab keraguannya. Dia kini menoleh ke samping dan melihat pintu rumah yang masih tertutup.

Perlahan, Riza bangkit dan mengetuk pintu. Dia yang tak kunjung mendengar sahutan, menurunkan knop hingga akhirnya sadar bahwa pintu dikunci.

"Apa mungkin Tari ke makam Pak Farhan, ya?" monolog Riza yang kini berbalik.

Guna membuktikan penasarannya, Riza langsung pergi ke makam Farhan meski dia tahu bahwa langit sudah berubah mendung, pertanda bahwa hujan akan segera turun.

***

Sebuah tangan tampak mengusap nisan bertuliskan nama sang ayah, Farhan. Dia menatap sendu pada makam yang baru dibuat sejak dua hari lalu.

"Tari?"

Merasa namanya panggil, wanita berjilbab coklat itu menoleh ke belakang membuatnya bisa melihat Riza. Pria itu tersenyum tipis lalu duduk di samping sang istri.

"Kamu dari mana?" Riza menoleh pada Tari yang menatapnya sekilas sebelum kembali fokus pada makam Farhan.

Tari pikir bahwa pertanyaan Riza tak perlu dijawab, karena sejak tadi dia tidak pergi ke mana pun dan tetap di sini.

"Saya mencarimu sejak tadi," ucap Riza lagi membuat Tari kembali menoleh. 

"Untuk apa mencariku?" tanya Tari.

"Ya ... ya karena saya bingung, rumah dikunci dan saya tak tahu harus ke mana," ucap Riza membuat Tari menghela napas.

Ketika itu, sebuah tetesan air mendarat di tangan Riza yang kini mendongak. Langit semakin gelap dengan feeling yang mengatakan bahwa hujan deras akan turun sebentar lagi.

"Tari, hujan," ucap Riza membuat Tari mendongak.

Intensitas hujan yang semula hanya tetesan, kini bertambah menjadi gerimis. Namun, Tari tetap terlihat tenang dan kini mengelus nisan tersebut untuk terakhir kali sebelum berdiri

Tari berlalu meninggalkan Riza yang mengekor di belakangnya.

Baru beberapa langkah mereka berjalan, hujan bertambah deras membuat Riza yang tanpa pikir panjang, langsung membuka kemeja yang membalut kausnya lalu mempercepat langkah menyusul Tari.

"Pakai ini," ucap Riza sembari menyimpan kemeja tersebut di kepala Tari.

Sejenak, Tari tertegun dengan aksi Riza yang merelakan kemejanya agar dia terlindung dia dari hujan, sementara dia sendiri menerobos tangis langit hanya dengan kaus tangan pendek.

Tari menggeleng, dia melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru karena hujan semakin deras.

***

Riza duduk di bangku sembari memeluk diri sendiri sembari menunggu Tari yang kini membuka kunci. Wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah, tapi dia mendadak terdiam dan menoleh pada sang suami yang bukannya menyusul, justru malam melamun.

Tari memperhatikan Riza yang sudah basah kuyup. Dia berdeham membuat pria itu tersadar kemudian menyusul masuk.

"Ganti bajumu," ucap Tari pada Riza sembsri melepaskan kemeja pria itu dari kepalanya.

Riza menoleh dan seketika itu tersadar, bahwa selama menikah dia belum membawa banyak barang ke sini. Lalu sekarang, bagaimana dia bisa berganti baju?


Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang