"Kamu punya kaus sama celana panjang nggak? Kalau ada saya pinjem, tenang aja nanti saya cuci sendiri," ucap Riza yang sebenarnya nekad. Di sini dia tak melihat mesin cuci, sedangkan selama ini dia mengirim pakaian kotor ke laundry.
"Adanya gamis dan rok, mau?" tanya Tari, yang enggan meminjamkan kaus dan celana panjang miliknya. Dia merasa tak nyaman membagi itu kepada Riza.
"Tari, please." Aura memelas terpancar dari mata Riza. Sungguh, setidaknya saat ini dia membutuhkan keseriusan Tari.
'Apa aku kasih pinjem baju Ayah aja, ya? Tapi gimana cara ambilnya sedangkan sanpai sekarang aku gak berani masuk?' Logika dan hati Tari berdebat, tapi pada akhirnya dia berbalik pergi meninggalkan Riza.
Tari kini mematung di depan kamar Farhan. Setelah meyakinkan diri, tangannya menurunkan gagang pintu dan berjalan cepat ke dalam sana.
Sulit untuk Tari berusaha fokus pada tujuannya, saat dia berada di tempat yang berkaitan erat dengan sang ayah. Serpihan kesedihan itu terus mendobrak untuk dilampiaskan.
Setelah selesai, Tari bergegas meninggalkan kamar. Dia menutup pintu dan lagi-lagi termenung di depan sana dengan mata yang terasa panas. Pandangannya mulai memburam karena bulir bening yang menggunuk di pelupuk.
Tari mengusap air mata kemudian menghela napas berusaha menenangkan diri. Nyatanya, sekuat apapun berlari dari kesedihan, dia hanyalah manusia rapuh. Mustahil untuknya berbohong dari perasaannya sendiri yang begitu hancur, saat indra penciumannya menangkap aroma khas Farhan di dalam sana.
Tari menunduk melihat pakaian Farhan di tangannya. Keegoisannya yang enggan memberikan ini pada Riza mengingat dirinya belum ikhlas atas kepergian sang ayah, kembali beradu dengan sisi kemanusiaan yang memberontak, mengatakan bahwa dia tak punya pilihan lain.
Tari pun berlalu pergi dari sana menghadap Riza dengan raut wajah datar. Dia yang sudah di depan pria itu, menyodorkan benda di tangannya. "Pakai ini."
Riza dengan tangan gemetar karena kedinginan, mengambil pakaian Farhan. Dia menatap Tari dengan tulus sembari tersenyum. "Baiklah, terima kasih, Tari."
Riza berlalu meninggalkan Tari menuju kamar mandi. Tiga sekon kemudian, wanita bermata bulat itu menyusulnya untuk memasak air hangat.
***
Jam dinding menunjukkan pukul delapan, dan langit telah gelap bertaburkan bintang ketika di kamar sebuah rumah yang sederhana, tampak Tari tengah memeluk lutut di atas ranjang. Pandangannya tampak kosong tertuju ke hadapan, dengan pikiran yang mengembara, memikirkan tentang hal yang benar-benar di luar kendali.
Wanita itu tampak menghela napas. Dia memperbaiki posisi duduk sembari mengendarkan pandangan, membuatnya menyadari bahwa suasana begitu sunyi dan sepi, yang berhasil mengundang sebuah pertanyaan: ke mana Riza?
Entah atas dasar apa, Tari memaksakan diri untuk bangkit kemudian membuka tirai pembatas, hingga netranya bisa melihat sosok yang dicari tengah terlelap di atas sajadah miliknya.
Cukup sekali pandang untuk Tari menyadari wajah Riza yang pucat. Memorinya mundur pada saat Riza memberikan kemeja untuknya, sedangkan pria itu rela diterpa kencangnya angin dan derasnya hujan.
Tari mendekat kemudian bersila di depan Riza. Dia dengan ragu menyimpan punggung tangan di dahi suaminya yang ternyata bersuhu tinggi, pria ini demam.
Tari menarik tangannya dengan kebingungan meliputi. Bagaimana cara meminta pria ini pindah? Karena, sebesar apapun amarahnya, dia tetap tak bisa menulikan telinga dari nurani yang meminta untuk melakukan sesuatu pada Riza.
Namun belum niatnya terwujud, fokus Tari terdistrak pada penampilan Riza yang mengenakan pakaian dan sarung milik Farhan. Dia merasa melihat sosok yang telah tiada itu dalam diri suaminya.
Lama termenung memikirkan Farhan yang mustahil untuk kembali dia temui di dunia ini, membuat Tari secara tak sadar menjatuhkan setetes air mata yang mengenai tangan Riza, hingga pria itu mengernyit kemudian membuka mata.
"Tari, kamu kenapa?" tanya Riza dengan suara paraunya yang terdengar panik. Dia beringsut bangkit begitu saja membuat kepalanya pusing.
Tari mengerjap tersadar. Dia menatap Riza yang tengah menunduk menghilangkan pening. Wanita itu melipat bibir, sedikit salah tingkah ketika dia yang biasanya bersikap ketus, harus berubah perhatian.
"Istirahat di kamar, di sini dingin," ucap Tari datar.
"Nggak papa, saya di sini aja." Riza tersenyum tipis. Meskipun menolak, tapi tak dapat dipungkiri bahwa hatinya senang mendapatkan titahan Tari.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Aku tetep manusia, aku punya rasa iba. Sekarang, pindah ke kamarku."
"Nggak usah, Tari."
"Ini perintah. Pilih tidur di kamarku atau ayah?" Tari menekan setiap kata dalam pertanyaannya. Dia tak tahu kenapa bisa seperti ini, padahal sebelumnya dia begitu muak melihat Riza.
Enggan memperpanjang perdebatan, Riza pun mengangguk. "Ya sudah, saya izin tidur di kamarmu, ya. Malam ini aja, karena kebetulan saya lagi nggak enak badan."
"Lapar nggak?" tanya Tari tanpa membalas ucapan Riza.
Riza menggelemg. "Enggak."
Tari menghela napas, sedangkan Riza bangkit. Layaknya siput, dia berjalan begitu lambat menuju kamar yang hanya berjarak satu meter dari ruang tamu karena pusing yang semakin menjadi.
Tari bangkit, tangannya terulur untuk membantu Riza. Namun, belum dua detik berlalu, dia langsung mengurungkan niat dan membiarkan pria itu masuk ke dalam kamar dengan sendirinya.
Namun demikian, pandangan Tari tak lepas dari Riza. Bukan untuk memastikan suaminya baik-baik saja, melainkan karena candu. Candu melihat Farhan berada pada diri pria itu.
Tari menggeleng menghilangkan pemikiran tersebut. Setelah melihat Riza berbaring, dia berbalik untuk melipat sejadah kemudian duduk di sana.
Renungannya yang sempat terjeda, kini kembali dilanjutkan oleh Tari hingga lima belas menit ke depan, sebelum telinganya mendengar sebuah suara.
"Ma ... Ma ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikah
RomanceHidup berdua dengan sang ayah? Itu adalah sebuah keharusan bagi Tari yang sudah ditinggalkan sang ibu sejak kecil. Tidak masalah, karena dia mempunyai Farhan yang begitu menyayanginya. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, tapi kehidupan Tari baik-b...