4. Awal Mula

3.4K 154 5
                                    

"Semuanya berawal saat aku dalam perjalanan pulang dan seseorang tiba-tiba lari di hadapanku hingga secara tak sengaja dia tertabrak."

Raganya memang ada di rumah, tapi jiwa Riza tengah kembali pada kejadian tersebut yang secara tak sengaja, membuatnya menjadi jalan kepergian seseorang dari dunia ini.

"Aku dengan bantuan saksi membawanya ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia memintaku untuk menelepon anak sematawayngnya untuk datang, dan aku diminta untuk menikah dengannya."

"Lalu kamu mau?" tanya Rima dengan mata melotot tidak percaya.

Pernikahan bukan main-main, dan Riza sendiri punya alasan kuat kenapa dia setuju. Namun dia masih ragu untuk menceritakan hal tersebut pada keluarganya.

"Za!" Rima setengah berteriak memanggil Riza yang menurutnya banyak drama.

Lukman yang ada di samping Rima, langsung mengusap lengannya sebagai isyarat untuk dia tetap sabar.

"Meskipun tak sengaja, tapi fakta mengatakan bahwa aku telah menghilangkan nyawa seorang ayah dengan satu anak yang tak punya siapa pun lagi di dunia ini."

"Kamu gila, Riza!"

Riza menunduk, dalam heningnya dia kembali mempertimbangkan tentang niat untuk mengatakan kaitan masa lalu antara Farhan dengan keluarganya.

"Za, sebenarnya kamu tak bersalah apalagi dia sendiri yang entah sengaja atau tidak, menabrakan diri ke mobilmu, kan? Baiklah mungkin kamu merasa bersalah, dan dengan memberikan uang setiap bulan pada anaknya pun sudah cukup untuk tanggung jawab, tak perlu sampai menikahinya," ucap Lukman yang sedari tadi menyimak dengan raut wajah terlihat kesal.

"Ceraikan dia, Za," ucap Rima sebelum Riza sempat menjawab perkataan Lukman.

Riza melipat bibirnya. "Aku mengerti maksud Papa, tapi aku tak bisa melawan diriku sendiri, saat pikiranku terus mengatakan bahwa aku adalah pembunuh.

"Terlepas dari ketidaksengajaan, kenyataan tetap mengatakan bahwa aku telah merenggut dunia seorang anak, dan satu-satunya yang bisa mengurangi beban di hatiku adalah dengan melaksanakan permintaan terakhirnya.

"Dan, meskipun pernikahanku terjadi karena sebuah amanah, tapi itu tak akan mengubah tekadku yang ingin menjadikannya sebagai momen sekali seumur hidupku. Jadi ... aku tak bisa menceraikannya, Ma."

"Za, jujur pada kami, apa yang membuatmu bersedia menikahinya?" tanya Lukman yang merasa janggal dengan cerita Riza.

Riza terdiam, dia menghela napas. Mungkin ini adalah saat untuk dia berterus terang kepada orang tuanya.

"Apa kalian masih ingat Pak Farhan yang dulu bekerja di sini?"

"Jangan bilang kalau kamu menikahi anaknya, Za?" tanya Rima penuh kecurigaan.

Riza terdiam, karena memang itu kenyataannya.

"Ceraikan dia, Za," pinta Rima sekali lagi dengan penuh penekanan.

"Tidak akan, Ma."

Rima bangkit dari duduknya. "Kalau memang itu adalah keputusanmu, mulai hari ini jangan pernah lagi menunjukkan wajahmu ke hadapanku, Za. Jangan pernah memanggilku mama lagi karena kau bukan lagi anakku!" Rima bergegas pergi meninggalkan Riza yang menatapnya dengan mata membulat terkejut.

Mata Riza terasa memanas. Hati kecilnya merasa sangat ingin menangis pada kenyataan yang tidak pernah dia duga.

Terjadi keheningan yang cukup lama, hingga akhirnya terdengar helaan napas Lukman yang kini bertanya, "Za, kamu ingat betul, 'kan, apa yang membuat Farhan dikeluarkan dari sini? Lalu, kenapa kamu mau menikahinya?"

Riza menoleh pada Lukman, sekilas bayangan masa lalu muncul dalam benak pria itu. "Pada kejadian itu, aku memang belum dewasa. Tapi aku ingat saat dia memohon-mohon pada kalian untuk tidak dikeluarkan dari sini karena istrinya sedang sakit dan butuh biaya untuk itu, dan sekarang aku tahu ternyata dia telah tiada. Lalu, tanggung jawabku bukan hanya tentang kejadian itu, tapi juga masa lalu yang juga secara tak sengaja, kita telah membuat seorang anak kehilangan ibynya, dan suami kehilangan istrinya."

"Tapi Za, itu adalah konsekuensi dari apa yang telah dia lakukan."

Riza menggeleng. "Pak Farhan sama sekali tidak bersalah."

"Dari mana kau tahu?"

"Di detik-detik terakhir hidupnya, aku masih ingat dia terus mengatakan bahwa dia tidak bersalah dan aku percaya itu."

"Jadi, kau ingin tetap mempertahankan pernikahanmu itu?" Lukman mengangkat sebelah alisnya.

Riza mengangguk.

Lukman kembali menghela napas menghadapi putranya yang keras kepala. Jika sudah seperti ini, maka dia tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan tanpa melepaskan.

"Setiap pilihan memiliki risiko, termasuk pilihanmu sekarang, Za."

Riza terdiam, dia masih berpikir bahwa perkataan Lukman berkaitan dengan kehidupannya bersama Tari nanti.

"Berikan aku dompet dan kunci mobilmu," ucap Lukman.

Riza mengerutkan kening, tapi dia seolah terhipnotis hingga tetap melakukan permintaan Lukman dengan mengeluarkan kunci mobil juga dompetnya yang kemudian dia simpan di atas meja.

Lukman langsung mengambil keduanya. Dia menyimpan kunci mobil ke dalam saku, dan kini membuka dompet tersebut. Dia mengambil beberapa kartu di dalamnya, termasuk kartu ATM.

Riza bingung dengan itu, dan dia semakin heran saat tiba-tiba Lukman mengembalikan dompetnya yang hanya tersisa uang dengan KTP.

"Aku hitung di dalam dompetmu ada uang dua ratus ribu dan juga KTP. Ambil itu sebagai bekal, karena mulai sekarang, sebagaimana kamu mengambil keputusan tanpa sepentahuan kami, sekarang kamu harus benar-benar hidup mandiri tanpa ada bantuan dari kami untuk kehidupan rumah tanggamu."

"Mulai besok kamu tidak perlu datang ke kantor karena aku sudah mengeluarkanmu tanpa pesangon. Aku juga menyita ijazahmu, dan aku mencabut hakmu untuk menggunakan mobilmu. Mulailah semuanya dari nol." Lalu tanpa pamit, Lukman bangkit dan berlalu meninggalkan Riza untuk menyusul istrinya.

Lalu sekarang, bagaimana nasib kehidupannya dengan Tari?

***

"Ayah dari mana?" tanya seorang perempuan yang sedang duduk santai di sofa menikmati akhir pekannya sebelum besok harus kembali bekerja.

Ghani yang baru saja masuk, menoleh pada sumber suara. Melihat Adiba seketika mengingatkannya akan penolakan Riza. Dia tersenyum menutupi kepahitan lalu mendekati putrinya.

"Kamu sedang apa?" tanya Ghani sembari mengusap kepala Adiba, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku sedang menonton televisi," jawab Adiba sembari menoleh pada televisi yang sedang menanyakan drama kesukaannya.

Ghani melipat bibir ketika kembali terngiang akan suara Riza yang mengatakan penolakannya. Kini, secara tiba-tiba dis mengecup kepala Adiba.

"Baiklah nikmati harimu, ya. Ayah ingin istirahat sejenak." Ghani mengusap kepala Adiba kemudian berbalik.

Adiba seketika menoleh ke belakang, dia memperhatikan punggung Ghani yang kini masuk ke dalam kamar, sebelum akhirnya tertutup pintu.

'Entah kenapa aku merasa Ayah sedang menutupi sesuatu, tapi ... apa? Selama ini, dia selaku bercerita padaku jika terjadi masalah. Hm tidak, sepertinya ini hanya perasaan saja,' batin Adiba yang kini menggeleng dan kembali menghadap ke depan.

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang