3. Melamar Riza

3.8K 170 6
                                    

Kening Riza berkerut penuh tanya saat melihat sebuah mobil asing terpakir di depan rumahnya. Dia yang kini sudah berada di halaman, memperhatikan kendaraan tersebut.

Riza kini menggeleng, menepis pertanyaan tentang pemilik mobil tersebut kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan langkah santai sembari mengucapkan salam.

Pandangan Riza kini tertuju pada pria paruh baya tak asing di matanya. Sedetik kemudian, jantungnya berdebar kencang saat menyadari bahwa dia adalah ayah Adiba, gadis yang dia cintai pada masa lalunya bahkan sampai saat ini.

"Riza, akhirnya kamu datang, Nak," ucap Lukman mengalihkan perhatian Riza.

Riza dengan perasaan tak karuan, mendekati orang tuanya juga ayah Adiba kemudian mencium tangan mereka secara bergantian.

"Sini duduk, Za," ucap Rima sembari menepuk tempat di sampingnya. Riza mengangguk kemudian duduk di sana.

"Za, kamu masih ingat siapa dia?" tanya Lukman menunjuk pada Ghani membuat perhatian Riza tertuju padanya.

"Tentu saja," ucap Riza sembari menoleh pada Ghani. "Apa kabar, Om?"

"Om baik," ucap Ghani.

Riza mengangguk-angguk. "Bagaimana kabar Adiba, Om?"

Ketika menyebut nama Adiba, entah kenapa perasaan Riza mendadak tidak karuan. Ditambah lagi hatinya mengatakan bahwa kedatangan Ghani bukan semata-mata bersilaturahim.

"Adiba baik, Za."

Riza mengangguk. "Syukurlah kalau begitu."

Rasanya, Riza ingin sekali bertanya tujuan Ghani datang ke sini, tapi dia merasa bingung akan susunan kalimatnya ditambah lagi takut terdengar tidak sopan.

Suasana hening. Ghani kini memperbaiki posisi duduknya lalu berkata, "Begini Riza, saya tahu bahwa kamu dan Adiba sudah mengenal lama. Mungkin ... ini terlalu mendadak dan pastinya mengejutkanmu, tapi atas dasar kepercayaan, ditambah dengan saya sudah mengenal orang tuamu, terkhusus papamu sejak lama, saya bermaksud untuk memintamu menjadi suami Adiba, yang juga sudah sejak lama memiliki perasaan padamu. Singkatnya, saya melamarmu, Riza," ungkap Ghani.

Seketika itu, bayangan sosok Adiba yang merupakan gadis ramah juga hangat, terputar dalam benak Riza.

Meskipun telah tersimpan lama, tapi perasaannya untuk Adiba tidak pernah berubah. Dia sendiri tidak menduga, bahwa cinta dalam diamnya ternyata berbalas.

Namun ... kenapa harus saat ini?

"Mungkin apa yang saya lakukan ini tak lazim, tapi tidak ada salahnya, 'kan? Apalagi menurut saya, kamu juga Adiba sudah sama-sama dewasa dan mungkin sudah siap untuk menikah. Tapi kalau kamu perlu waktu untuk menjawab, silakan. Saya tidak keberatan untuk itu," ucap Ghani lagi ketika melihat Riza yang hanya diam, memikirkan feeling-nya yang tidak meleset.

Logika dan perasaan Riza kini berdebat hebat, masing-masing dari mereka mengatakan dua hal yang saling bertolak belakang membuat pria itu kebingungan.

"Za, apa kamu memang perlu waktu?" tanya Rima pada Riza yang membuatnya tersadar dari lamunan.

Riza menunduk dengan tangan mengepal gugup sekaligus mencari keyakinan, atas keputusan yang dia ambil dalam waktu singkat. Pria itu menelan saliva lalu mengangguk. "Saya bisa menjawabnya sekarang, Om."

Jantung Riza berdebar begitu kencang, terlebih sekarang dia merupakan pusat perhatian semua orang.

"Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih banyak atas kepercayaan Om. Saya sangat-sangat menghargai usaha Om yang tidak umum dan saya yakin, pasti banyak pertimbangan sebelum akhirnya Om memutuskan untuk melamar saya.

"Saya dan Adiba memang berteman dekat sejak kuliah. Tapi setelah lulus, kami sibuk dengan kegiatan masing-masing dan bahkan sampai sekarang, kami tidak pernah bertemu atau berkomunikasi lagi meski hanya lewat sosial media. Jujur saja, saya sangat tidak menyangka bahwa ternyata Adiba mencintai saya. Tapi mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, saya ... tidak bisa menerima lamaran ini."

Riza tersenyum tipis sembari menundukkan pandangan. Separuh jiwanya terasa lepas dari raga saat dia melepaskan salah satu keinginan terbesarnya, yakni hidup bersama dengan Adiba.

Raut kekecewaan terlihat dari wajah Ghani. Beruntung dia tidak memberitahukan rencananya pada Adiba, jika iya, maka dia tak bisa membayangkan sesakit apa hati putrinya.

"Baiklah tidak apa-apa, itu keputusanmu. Tapi ... kalau tidak keberatan, bolehkah kamu memberitahu saya apa alasannya?"

"Karena saya sudah menikah." Hati Riza terasa mencelos mengucapkan kejujuran ini.

"Apa?!" pekik Rima terkejut mewakili semua orang.

Riza mengangguk. "Mohon maaf, saya tidak bisa mengkhianati istri saya. Saya harap Adiba bisa menemukan pria yang lebih baik dari saya."

"Kapan kamu menikah, Riza?" tanya Lukman mengalihkan perhatian Ghani dari Riza.

Kabar ini terasa sensitif untuk Ghani yang mulai berpikir bahwa Lukman mempermainkannya. Saat mereka membicarakan soal ini di telepon, pria itu menyetujui keinginannya tanpa mengatakan apapun soal status Riza.

"Terima kasih doa baiknya, dan terima kasih juga sudah membuat saya tidak akan bisa melupakan hari ini." Ghani menatap Lukman yang terlihat panik.

"Karena tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi." Ghani mengangguk kecil, dan dengan wajah datar berbalik pergi meninggalkan mereka tanpa bersalaman.

Lukman terus menatap punggung Ghani dengan segenap perasaan tak enak di hatinya. Dia menggeleng lalu menoleh pada Riza yang melihat ke pintu.

"Apakah yang kau katakan itu hanya sebagai alasan untuk menolak Adiba, Za?"

"Selama ini Mama melihatnya sebagai perempuan yang pintar, baik juga sopan, lalu kenapa kau menolaknya, Za?" tanya Rima menggebu.

Saat kuliah dulu, berkali-kali Adiba dan Riza beserta teman satu kelas mereka, datang ke rumah satu sama lain untuk mengerjakan tugas kelompok. Lalu, dari sanalah Rima mengetahui seperti apa sosok Adiba.

"Aku serius, Pa. Aku sudah menikah."

Sebuah tamparan seketika mendarat di pipi Riza membuat Lukman yang meyaksikannya membulatkan mata terkejut.

"Apa salah kami sampai kamu harus berbuat bodoh seperti ini?!" teriak Rima sembari beridri.

Riza melepaskan tangannya dari pipi yang terkena tamparan Rima, kemudian menatap wanita itu dengan sorot memohon. "Tolong beri aku kesempatan menjelaskan ini, Ma."

Sudah pernah terlintas dalam benak Riza ketika dia harus menjelaskan pernikahannya dengan Tari kepada mereka, tapi dia tak menyangka bahwa semuanya terjadi secepat ini.

Lukman berdiri dan mendekati Rima. Dia memegang kedua lengan wanita itu, lalu dengan tenang dia berkata, "Rima, ayo kita duduk."

Rima tak melawan saat Lukman membawanya ke sofa di samping Riza, laku mereka duduk di sana.

Sekilas, Lukman memang terlihat tenang, tapi Riza tahu bahwa ayahnya pun sedang marah. Namun jelas dia lebih terlatih mengedepankan logika hingga bisa tetap tenang menyikapi semua ini.

"Ayo Za, jelaskan semuanya," titah Lukman.

Terpaksa MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang