"Ah tidak, kamu istirahat aja, ya," ucap Riza yang kemudian bangkit dan berlalu pergi meninggalkan Tari yang tak lagi mencegahnya.
Riza duduk di tengah rumah, tepatnya di depan kamar Tari. Pria itu bersandar ke dinding sembari mengedarkan pandangan memperhatikan seisi rumah.
Sederhana. Kesan yang Riza dapatkan saat melihat bahwa tak ada sofa, kulkas atau barang mewah apapun. Justru tampaknya TV jadul di sampingnya itu menjadi satu-satunya barang berharga yang ada di sini.
Keadaan ini sangat berbading terbalik dengan apartemennya yang serba tersedia. Jangankan sofa, AC pun ada.
Riza menutup mulutnya yang menguap pertanda kantuk. Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian berbaring di sana dengan berbantalkan sebelah tangannya.
Tanpa menunggu lama, Riza akhirnya terlelap dan pergi ke alam mimpi.
Semalaman Riza bergadang mengurus jenazah Farhan yang baru pagi ini dimakamkan, ditambah lagi harus menghadapi para tamu yang berdatangan hingga dia merasa begitu lelah dan mengantuk.
***
Puas melamun, Tari kini turun dari ranjangnya yang sudah cukup tua itu, kemudian keluar dari kamar membuatnya bisa melihat Riza.
Tari berlalu, tapi tiba-tiba ponsel di samping Riza berdering membuatnya berbalik arah mendekati sumber suara.
"Papa," lirihnya menyebutkan nama yang tertulis di layar.
Tepat saat itu, Riza terbangun karena suara ponselnya membuat dia menyadari keberadaan Tari, lalu mendongak hingga keduanya beradu pandang.
"Tari," sebutnya membuat Tari tersadar.
Tari yang salah tingkah karena merasa tertangkap basah, segera pergi meninggalkan Riza yang mengerutkan kening kemudian mengambil ponselnya.
"Papa," ucapnya saat melihat layar.
Riza beringsut bangkit dengan kepala yang terasa pusing karena dia seolah terbangun secara paksa, lima belas menit setelah terlelap.
"Iya halo, Pa?" sapa Riza dengan suara serak setelah menerima panggilan.
"Za, kamu baru bangun?" tanya Lukman yang merupakan papanya di seberang sana.
"Ehm iya, kenapa Pa?"
"Hari ini kamu kenapa gak pulang?"
Riza berdeham menetralkan suaranya. Seketika dia tersadar bahwa sekarang adalah hari Sabtu, di mana biasanya dia yang selama ini tinggal di apartemen, pulang dan menginap di sana.
"Za?"
"Ehm iya, hari ini aku lagi capek dan agak males ke mana-mana, jadi milih tiduran aja," ucap Riza menggambarkan sebagian keadaannya.
"Besok kamu harus pulang, Za."
Riza mengerutkan kening mendengar suara Lukman yang penuh penekanan. "Memangnya ada apa sih, Pa, sampai kedengarannya itu "wajib" banget aku pulang?"
Padahal biasanya saat dia tak bisa pulang ketika akhir pekan, entah itu masalah pekerja atau hanya sekadar ingin istirahat, orang tuanya tidak pernah memaksakan, tapi sekarang?
"Nanti kamu tahu sendiri, Za. Pokoknya besok Mama tunggu kamu pulang. Jam sepuluh pagi harus udah ada di sini."
"Mama?" panggil Riza ketika menyadari bahwa yang berbicara adalah Rima.
"Iya ini Mama. Papa kamu ini tipe orang yang iya-iya aja, jadi Mama yang harus maksa kamu," jelas Rima.
Riza menghela napas. Jika sudah berhadapan dengan Rima yang memang keras kepala, maka dia tidak akan pernah menang. "Iya Ma. Aku tutup teleponnya dulu, ya."
"Iya, jangan lupa pulang."
Riza mematikan telepon.
Riza mengerti bahwa berkumpul minimalnya sekali dalam setiap pekan adalah sebuah keharusan dalam keluarganya, walau sejak diangkat menjadi CEO mereka lebih mengerti dan tidak memaksa dia untuk pulang.
Dalam lima hari kerja, setidaknya satu hari di antaranya dia pernah bertemu dengan Lukman meskipun singkat, karena pria itu pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Lalu, kenapa besok dia begitu dituntut untuk pulang?
Sementara di dapur sana, tampak Tari yang tengah bersandar ke tembok mengingat nama yang tertera di ponsel suaminya tadi.
Sejak saat itu, rasa tak pantas untuk bersanding dengan Riza semakin besar. Meskipun sederhana, tapi dia yakin bahwa Riza bukankah orang biasa sepertinya.
"Aku merasa bahwa tak seharusnya kita bersama," lirih Tari.
***
Hari Minggu telah tiba. Sekitar pukul delapan, tampak Tari yang sibuk menyapu halaman rumah. Lalu di saat yang bersamaan, Riza keluar dari rumah membawa kunci mobilnya.
"Tari," panggil Riza pada istrinya yang refleks menoleh. Dia berkata, "Saya pamit ya. Nggak akan lama kok, mungkin nanti siang atau sore pun saya udah pulang."
Tari tak menjawab dan kini meneruskan kegiatannya. Riza menghela napas, tersenyum tipis berlalu memasuki mobilnya yang terparkir di halaman rumah Tari.
Waktu memang masih jauh dari pukul sepuluh, tapi Riza berniat untuk lebih dahulu mampir ke apartemennya agar bisa mandi dan mengganti pakaian agar terlihat segar, hingga orang tuanya tidak akan tahu apa yang telah terjadi.
Riza memutar balik mobil kemudian berlalu dari halaman rumah Tari yang memiliki akses jalan luas, hingga kendaraan roda empatnya itu bisa berjalan dengan lancar.
Tari menghentikan kegiatannya, dia menatap mobil Riza seolah baru menyadari keberadaan kendaraan itu yang membuatnya merasa semakin tak layak.
Ditunggu vote komennya biar makin cemungut update xixi. 👻
Ambil yang baik, buang yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikah
RomanceHidup berdua dengan sang ayah? Itu adalah sebuah keharusan bagi Tari yang sudah ditinggalkan sang ibu sejak kecil. Tidak masalah, karena dia mempunyai Farhan yang begitu menyayanginya. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, tapi kehidupan Tari baik-b...