Mobil Bram berhenti di halaman luas rumah besar Ayyara. Gadis itu turun dan Bram pun juga ikut turun. Matanya memperhatikan bangunan rumah Ayyara. Rumah Ayyara yang besar itu dominan seperti rumah klasik yang indah.
“Kok sepi? Pada sibuk kerja ya orang tua lo, Ay? Kalo begitu sampe di sini aja ya? Gua balik dulu, bye.” Bram sudah siap masuk ke mobilnya, namun lengannya yang gadis itu tahan membuat pria itu berhenti.
“Oh iya, ponsel lo,” kekeh Bram. Pria itu mengambilnya di saku celananya, lalu memberikannya pada Ayyara. Gadis itu dengan cepat menerimanya. “Yaudah ya gue balik,” ucap Bram pamit.
Lengannya yang kembali ditahan membuat Bram mengangkat alisnya satu dengan wajah heran.
“Mau bilang makasih?” tebak Bram saat melihat Ayyara menggerakkan bibirnya tanpa adanya suara Ayyara yang keluar. Gadis itu mengangguk membuat Bram tersenyum.
“Rara... kenapa pacarnya nggak diajak masuk?” tanya wanita paruh baya yang masih terlihat muda ini saat pria tampan di hadapan anak satu-satunya itu mengacak gemas rambut Ayyara.
Ayyara tercengang mendengar tuduhan Bundanya mengenai pacar. Sedangkan Bram hanya tersenyum kecil lalu menyalam Bunda gadis itu. “Bram, Tante.”
“Panggil aja Bunda Melva, biar akrab. Maafin Rara ya, Bram. Semenjak kejadian lalu dia jadi nggak mau ngajak pacarnya masuk ke rumah kalo misalnya Bunda atau Ayah nggak lagi berada di rumah,” jelas Melva.
Ayyara mendelik kesal dan Bram yang melihat itu terkekeh geli. Dia kembali menatap Melva, lalu mengangguk paham. “Lagian Bram nggak mau masuk, Bunda, kalo di dalam nggak ada siapa pun,” jelas Bram. Ayyara melihat kedua insan itu yang langsung dekat memilih pergi dengan rasa kesal yang semakin melekat di dalam hatinya. “Nggak pernah ya Bunda ngajarin ke kamu nggak sopan kayak sekarang, Ra. Balik!”
Gadis itu yang sudah sampai di depan pintu utama berbalik badan, dia menghela nafas berat, lalu kembali mendekati sang Bunda dan Bram. “Gadis pintar.”
Pria itu tersenyum kemenangan menatap Ayyara yang saat ini tengah menatapnya membunuh.
“Ayo, Bram... masuk.”
Pada akhirnya kedua insan itu menyusul Melva yang sudah masuk terlebih dulu ke dalam rumah. Bram duduk di sofa, sedangkan Ayyara mengganti pakaiannya terlebih dulu di kamar kesayangannya. “Rara.”
Ayyara berbalik badan. Matanya menatap sang Bunda dengan tatapan menunggu yang terkesan jengah mengenai yang terjadi.
“Jangan bertahan di kamar, balik ke sini temenin Bram, karena nanti kita bakal makan bersama. Awas kamu nggak balik lagi!”
Gadis itu mengangguk malas dan melangkah pergi dengan kaki yang dia hentak-hentakkan kesal.
Udah saatnya kamu berhenti membisu, Ra, batin Melva menatap kepergian anaknya dengan tatapan tajam, lalu menatap Bram. Bunda liat... sepertinya Bram anaknya berbeda dan nggak tau kenapa, Bunda punya kepercayaan kuat buat Bram, batin Melva tersenyum.
“Bram? Mau minum apa?”
“Bram nunggu Ay aja, Bun.”
“Ay?” beo Melva terkekeh. “Udah berapa lama kalian pacarannya?”
“Bram sama Ay nggak pacaran... panggilan itu emang Bram buat sendiri biar beda dari yang lain.”
Melva tertawa kecil.
“Seriusan nggak pacaran? Tadi Bunda liatnya kayak pacaran. Cocok soalnya,” ungkap Melva jujur dan terdengar antusias.
“Doain aja, Bun. Ay anaknya cuek banget, Bram aja lagi deketin dia. Nggak peduli kalo dia bisu. Abis dia beda sama cewek-cewek lain, mudah buat tertarik, terus juga... buat gemes melulu,” kekeh Bram.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATTENTION! (VAKUM)
Novela JuvenilAyyara Jefferson (20 th). Walau wajahnya menggemaskan, satu yang membuat mereka terkejut. Gadis itu tidak pernah tersenyum sedikitpun dan membuka suaranya sedikitpun dari awal masuk ke kampus barunya. Hal tersebut membuat gadis itu disangka bisu. Sa...