Seo Changbin mengintip jendela ruangan latihan dan terpaku ketika melihat seseorang duduk di atas matras dengan punggung bergetar, menangis tersedu-sedu.
Hati Changbin tersentuh. Dia berjalan ke arah pintu dan tanpa berpikir panjang segera membukanya.
"Sore."
Yang Jeongin. Pemuda dari kelab seni yang merangkap di cabang vokal dan dance itu tersentak kaget, lantas bergerak memunggungi Changbin dan melenyapkan segala kesedihannya.
Meskipun rasanya sia-sia saja.
"Ah, keringat ini membuat mataku perih." Jeongin mengimbuhi tawa renyah yang dipaksa.
Sementara Changbin terkekeh dan ikut duduk di matras. Radius satu meter saja.
"Suara tangismu terdengar sampai keluar."
"Astaga, benarkah?" Jeongin refleks menatap Changbin, menunjukan kedua matanya yang membengkak, merah dan berair.
Changbin menahan tawanya. "Tidak. Ruangan ini kedap suara."
Sadar ditipu, Jeongin menggerutu kesal dan memilih beranjak.
"Apa yang membuatmu sedih?"
Changbin memperhatikannya berjalan ke cermin dan mendengus kasar.
"Kau tidak mungkin pulang dengan keadaan begitu, bukan?"
Setahu Changbin, Jeongin itu orang yang periang. Tidak heran melihatnya diam-diam roboh seperti ini.
"Kebahagiaan tak pernah berlangsung lama."
"Tidak apa-apa. Kita hidup bukan untuk kebahagiaan yang mutlak. Apa yang menarik dari hidup? Tentu saja, roda nasib yang berputar. Kesedihan itu biasa. Menangis itu wajar. Mengeluh itu normal."
[]