Kamu, layaknya sebuah buku.
Aku harus membaca lembar demi lembar kepribadianmu untuk mengetahui perasaanmu yang sebenarnya. Sikapmu yang berubah-ubah membuatku bingung.
Apa kau sedang peduli padaku?
Apa kau sedang mengkhawatirkanku? -Saqilla
Jik...
Konsentrasiku menjadi buyar. Aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Deg, jantungku semakin berdebar tak karuan saat lelaki itu berdiri dan berjalan ke arahku. Hawa dingin sudah menjalari jari jemari tanganku. Oh tidak, mau apa dia mendekatiku?
Lelaki bermasker kemudian menarik kursi yang ada di sebelahku. Ia duduk di sana, seperti tadi, tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Ehm, ma-maaf ada perlu apa ya? Mengapa tiba-tiba pindah ke sini?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Akhirnya kita bertemu." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya. Dia berbicara di balik masker dengan suara yang terdengar datar.
Hah? Akhirnya kita bertemu? Memangnya siapa yang menantikan pertemuan ini?
***
"Tsan, hari ini ke kampus gak? Aku mau cerita nih 😧."
"Ada apaan? Iya ini masih di jalan, Qi."
"Ntar aja aku ceritanya. Aku nunggu di kantin ya."
"Siip."
***
Aku baru saja mengirim pesan WhatsApp pada Tsania. Perempuan berhidung mancung yang selalu mengenakan pashmina ke mana pun Ia pergi. Ia adalah teman curhatku. Lebih tepatnya satu-satunya teman curhat. Tsania selalu bersedia menjadi pendengar atas segala ceritaku.
Aku menunggu Tsania di kantin kampus. Memilih duduk di pojokan adalah kebiasaanku. Dari tempat aku duduk ini, terlihat beberapa mahasiswa yang baru saja membeli makanan. Mereka menuju mejanya masing-masing.
Di kejauhan, seseorang yang kukenal melambaikan tangan ke arahku. Itu Tsania, dengan gamis berwarna maroon dan dilengkapi pashmina motif. Ujung pashmina yang dikenakannya tersapu angin. Ia berjalan semakin mendekat dan tersenyum padaku.
"Assalamualaikum, Qilla," ucapnya sembari duduk di hadapanku.
"Waalaikumsalam, Tsan, mau bimbingan nih? Banyak amat bawaan," tanyaku.
"Iya nih, udah janjian sama dosbing habis zuhur nanti bimbingan hehe. Oiya kamu mau cerita apaan sih? Aku penasaran tauu."
"Hmm jadi gini Tsan, tadi pagi aku kan ke perpus tuh pagi-pagi, mumpung sepi biar leluasa aja aku nyari skripsi punya senior, terus..hmm." Aku berhenti sejenak.
"Terus apaan?"
"Terus ada cowok aneh gitu pokoknya pake masker dia kayak ngikutin aku terus deh, serem."
"Ah kamu mah tiap ada cowo di bilang serem haha, mungkin itu penggemar kamu kali," ujar Tsania sembari tertawa.
"Tapi ini tuh beneran serem, Tsan," ucapku dengan wajah cemas.
"Eh, eh tapi Qi, apa jangan-jangan dia itu Dimo?" sambung Tsania.
"Dimo siapa sih, Tsan? Aku mana kenal semua nama cowok di kampus."
"Dimo Anggara, Qi. Anak-anak pernah bilang dia emang suka merhatiin kamu dari dulu, tapi orangnya emang tertutup gitu sih dan jarang ngumpul juga sama yang lain," jelasnya.
Aku sedikit kaget mendengarnya. "Ada orang yang sering merhatiin aku? Semacam mengamati gerak-gerik aku gitu?"
"Aku juga gak tahu sih, Qi. Aku belum pernah ketemu dia soalnya. Kamu hati-hati aja, jangan terlalu polos, hehe."
"Iya, Tsan, iya. Yaudah deh kita mesen makan aja dulu yuk, ntar keburu zuhur."
Percakapan mengenai lelaki misterius itu aku sudahi saja dengan mengajak Tsania memesan makanan. Padahal hatiku masih tak karuan semenjak bertemu orang aneh tadi.
Aku meminta daftar menu pada pegawai kantin. Lalu kami berdua sibuk memilih akan memesan makanan dan minuman apa. Sumpah, semuanya tuh enak-enak banget. Entah itu makanan berat, cemilan, mau pun kue-kue, dan minumannya. Tapi ya harganya lumayan juga kalau kita makan di sini tiap hari. Bisa membuat kantong bolong. Hehe.
"Teh, aku pesen nasi ayam kecap sama es teh manis satu ya. Kamu pesen apa, Qi?" tanya Tsania padaku.
"Duh apa ya, aku bingung hehe. Hmm aku pesen ini aja deh, air mineral sama soto bandung gak pake nasi ya, Teh. Oiya sambelnya yang banyak ya," pintaku pada pegawai kantin.
Memang, aku itu tak pernah lepas dari yang namanya sambel-sambelan. Gimana ya, kalau makan tidak ada sambel itu rasanya ada yang kurang.
Setelah menunggu kira-kira 10 menit, barulah pesanan kami datang. Sepiring nasi ayam kecap plus es teh manis untuk Tsania dan semangkuk soto bandung plus air mineral untukku.
"Selamat makan!" ucap kami bersamaan.
Setelah mengucapkan doa, aku baru mulai makan. Aku mengambil potongan jeruk nipis dan memerasnya ke dalam mangkuk soto. Lalu menuangkan sedikit kecap dan dua sendok sambel.
Oh ya, aku termasuk tim yang makan soto itu diaduk. Eh tapi emang ada ya orang yang makan soto ga diaduk? Semua yang ada dalam mangkok kucampur jadi satu, supaya rasa manis, asam, dan pedasnya merata.
Semangkuk soto bandung yang berisikan potongan daging sapi dan irisan sayur lobak ini terasa nikmat. Apalagi ada bahan pelengkapnya seperti taburan kacang kedelai goreng, bawang goreng, seledri, sambel, juga emping. Ini mengenyangkan bagiku, meskipun tidak dimakan bersama nasi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sluuuurp. Aku kembali menyeruput kuah soto. Kuah bening dengan rasa gurih menyegarkan ini setidaknya mampu menghilangkan rasa cemasku akibat kejadian pagi tadi.
***
Selesai makan dan salat zuhur berjamaah di musala kampus, aku dan Tsania berpisah arah. Ia menuju ke ruang dosen untuk bimbingan, sedangkan aku akan menuju perpustakaan universitas. Ya, semoga saja di sana aku tak bertemu lelaki misterius itu. Aku ingin fokus mengerjakan revisian.