Aku mandi pagi-pagi sekali hari ini. Tentu saja karena ada jadwal kuliah pagi. Kalau tidak, aku mana tahan dengan guyuran air yang sedingin es ini. Brrrr.
Cuaca di luar pun sama dinginnya dengan air kamar mandi. Melalui ventilasi kamar, angin-angin yang menusuk kulit itu memasuki ruangan kamarku.
Segera aku mengenakan baju yang sebelumnya sudah kupersiapkan. Kemeja bercorak bunga dipadu dengan rok hitam. Tak lupa kerudung segi empat berwarna senada sebagai pelengkapnya. Aku memang bukan anak yang fashionable. Lebih suka yang sederhana dan yang penting nyaman dipakai.
Pakaian-pakaian kekinian memang bukan seleraku. Bentuknya yang kadang abstrak dan tak beraturan malah membuatku jengkel saat menyetrikanya.
***
Aku sarapan setumpuk roti tawar berisi selai cokelat, setelah itu mengambil segelas minuman susu bercampur sereal yang sebelumnya sudah kuseduh air hangat. Katanya, minuman ini cocok dijadikan sebagai menu sarapan karena bergizi tinggi. Hmm kita lihat saja, apakah benar begitu.
Seberes mengisi perut, aku bersiap-siap ke kampus. Jadwal kuliah pagi ini adalah jam 06.30 pagi. Begitulah, dosenku terlalu rajin sehingga Ia meminta jam kuliah sepagi itu. Biar masih fresh, katanya.
Karena aku tak punya kendaraan, maka aku berjalan saja menuju gedung perkuliahan. Jam 6 teng aku sudah memulai berjalan. Tidak begitu jauh sebenarnya jarak antara kos dan kampusku. Hanya saja, terkadang kaki ini mulai lelah diajak berjalan.
Dinginnya tiupan angin membuat langkah kakiku sedikit melambat. Namun, sejuk dan segarnya udara bisa menenangkanku. Kapan lagi bisa menikmati udara seperti ini. Dalam satu atau dua jam lagi keadaan pasti akan berubah. Kepulan asap kendaraan bermotorlah yang akan mengambil alih semuanya.
Aku memilih gang kecil sebagai jalan memotong agar lebih cepat sampai ke gerbang kampus. Melewati deretan rumah-rumah warga yang beberapa masih tertutup rapat.
Begitu sampai di halaman kampus, suasana masih terbilang sepi. Walau memang sudah ada mahasiswa yang hilir mudik. Mereka sama sepertiku, para pejalan kaki. Punggungnya menggendong tas ransel berisi buku-buku penunjang perkuliahan. Seperti kura-kura, pikirku.
Dulu, aku pikir kuliah itu lebih simpel di banding sekolah. Tidak membawa buku tulis mau pun buku paketnya. Hanya menjinjing tas kecil saja seperti yang ditampilkan oleh pemain sinetron. Nyatanya kuliah tidak sesimpel itu.
***
Aku tiba di kelas sebagai orang pertama. Selalu seperti itu. Aku heran, padahal aku ini berjalan kaki dan teman-temanku kebanyakan mengendarai motor atau mobil. Mengapa selalu saja aku yang tiba lebih dulu?
Kau tahu? Berdiam seorang diri di kelas seperti sekarang ini menyebalkan. Aku menghabiskan waktu dengan membolak-balik buku saja. Membacanya sekilas untuk mengingat materi minggu lalu. Beberapa menit kemudian barulah teman-teman berdatangan, disusul oleh Pak Dosen setelahnya. Proses mengajar pun dimulai.
Oya, meski pun sudah semester akhir yang lagi sibuk menyusun TA, tetapi aku masih mengikuti beberapa mata kuliah tambahan. Sebenarnya, ini merupakan mata kuliah pilihan. Aku pikir tak ada salahnya mengambil mata kuliah ini, selain menambah ilmu, juga mengisi kekosongan saat menunggu proposalku selesai dikoreksi Bu Maya.
Ada sekitar 40 orang yang ada di kelas ini, tetapi yang kukenal hanya beberapa orang saja. Maklum, isinya campuran dari berbagai kelas yang ada di jurusanku, sedangkan jumlah mahasiswa dalam satu angkatanku ada sekitar 200 orang. Aku tak mengenal mereka satu per satu, cuma sekadar tahu mukanya saja.
***
Dua jam berlalu dan perkuliahan hari ini berakhir. Aku sedang merapikan isi tasku saat dua orang teman menghampiriku.
"Qi, maaf yak soal kemarin itu," ucap Tsania.
"Iya, Qi. Aku yang ngajak Tsania pulang soalnya aku sakit perut. Beneran deh, ga bohong," lanjut Windy yang ada di sebelahnya.
"Hmmm," gumamku.
"Yaah, kok gitu doang jawabannya. Ngambek nih, Qi?" tanya Tsania.
"Engga kok, aku cuma kesal aja karena kalian ga ngabarin aku. Udah gitu nih ya, belanjaanku tertukar sama punya orang. Mana ga bisa di kembalikan lagi ke tokonya. Hufft."
"Lah kok bisa sih? Kamu sih gak dicek lagi."
Windy lalu menggeser kursi di sebelah kananku dan mendudukinya.
"Kemarin itu aku mau ngenalin temanku sama kamu loh, Qi. Tapi ya gimana, aku keburu sakit perut. Biasalah, karena lagi halangan."
Aku menoleh padanya."Teman mana maksudnya, Win?"
"Anak kelas sebelah, tapi kamu pasti gak kenal deh. Dia minta tolong bantuin periksa proposal penelitiannya. Mau ya?"
"Kok dia bisa tahu aku? Siapa sih namanya?" tanyaku penasaran.
"Nanti deh sekalian aja ketemu orangnya, hehe."
Aku melirik Tsania, itu seperti isyarat antara kami kalau sedang bingung. Teman mana maksud Windy ini?
***
"Jadi, mana orangnya, Win? Kok belum datang?"
"Bentar lagi, dia masih markir motor."
5 menit kemudian.
"Maaf gue telat," ucap seorang lelaki bertubuh tinggi yang berdiri di samping meja kami.
Kehadirannya yang tiba-tiba sontak membuat kami bertiga serempak menoleh ke arahnya. Aku bisa menebak kalau orang ini yang meminta untuk memeriksa proposalnya. Tapi, sepertinya dia tidak asing bagiku.
"Nah, Tsan, Qi, kalian kenal kan sama ni orang? Haha," kata Windy.
"Yaampun masa sama teman sejurusan aja kalian gak kenal sih. Ini Dimo Anggara loh," terang Windy yang kemudian menyuruh lelaki bernama Dimo itu duduk.
Aku berpandangan dengan Tsania.

KAMU SEDANG MEMBACA
Saqilla & Alva
RomansaKamu, layaknya sebuah buku. Aku harus membaca lembar demi lembar kepribadianmu untuk mengetahui perasaanmu yang sebenarnya. Sikapmu yang berubah-ubah membuatku bingung. Apa kau sedang peduli padaku? Apa kau sedang mengkhawatirkanku? -Saqilla Jik...