8. Modus

29 3 8
                                    

Di bawah teriknya sang mentari, aku berjalan menuju taman yang di maksud Dimo seorang diri. Taman tersebut masih terletak di dalam kampus, hanya saja letaknya cukup jauh dari fakultas kami. Aku tak tahu apa maksud Dimo memintaku mengantar proposalnya, seharusnyakan dia yang mengambilnya padaku.

Peluh membasahi pelipis juga kerudungku. Cuaca hari ini benar-benar panas. Sesampainya di taman, aku mengedarkan pandangan ke seluruh bagian taman untuk menemukan sosok itu. Kursi-kursi yang di rancang khusus untuk para mahasiswa duduk santai sambil mengerjakan tugas ditempati oleh beberapa kelompok orang. Namun, tak ada dia di sana. Aku melihat ke kiri dan ke kanan, tepat di bawah pohon trembesi di ujung taman ada seseorang yang melambaikan tangannya padaku. Itukah dia?

Kuhampiri lambaian tangan itu. Benar saja, Dimo sedang duduk di bawah pohon yang menyerupai payung tersebut. Aku segera mengeluarkan proposal yang sudah kukoreksi dan memberikan pada Dimo.

"Ini, Dim. Udah aku periksa dan maaf ya banyak coretannya," kataku sembari permisi untuk pergi dari sana.

"Loh, lo mau ke mana? Gue ngajak ketemuan di sini kan ada sebabnya,"
Aku menghentikan gerakan kaki yang baru beberapa langkah.

"Maksudnya?"

"Iya, gue mau lo jelasin dulu kesalahan proposal gue yang mana aja. Mana gue ngerti kalo cuma lo kasih gitu doang kan,"

"Hmm, tapi jangan di sini. Aku ga enak di lihat orang. Ke kursi di sana aja gimana?" ajakku.

"Yaampun di sini aja kali. Kita kan bahas proposal bukan pacaran, lagian di sini tuh adem tau." Dimo menekankan suara saat mengucap kata "pacaran".

Memang sih, duduk di bawah pohon trembesi ini sangat adem dan sejuk. Tajuknya yang lebar menyerupai payung atau kanopi inilah yang menjadi peneduh bagi kami. Tapi, bukan itu masalahnya. Ini karena hanya ada aku dan dia, duduk berdua di tempat seperti ini. Ingin rasanya ku menolak ajakannya. Namun, lagi-lagi aku tak enak hati mengucapkannya.

Akhirnya kuturuti kemauannya untuk menjelaskan beberapa hal kesalahan yang ada di kertas itu. Aku berusaha menjelaskan se-detail mungkin agar ia cepat mengerti dan tak bertele-tele. Tentu saja ini kulakukan supaya aku cepat pergi dari tempat ini.

Awalnya ia memperhatikan apa-apa yang kukatakan dengan serius dan sungguh-sungguh. Mulai dari penulisan cover yang salah, latar belakang permasalahan yang kurang 'ngena', sampai kesalahan tanda baca pun aku jelaskan padanya.

Namun, lama-kelamaan Ia tidak fokus. Terutama saat aku membahas cara pembuatan tabel formulasi penelitian yang akan dia lakukan itu. Ia sepertinya memperhatikan wajahku sedari tadi. Ah tidak, aku tidak boleh kepedean. Tapi caranya menatapku sangat menakutkan, tatapan mata tajamnya mengingatkanku pada seseorang. Hawa dingin tiba-tiba saja menghampiriku. Aku tidak nyaman bila keadaannya begini.

"Ehm, Dim. Udah ngerti kan? Aku balik ya," ujarku sambil memasukkan alat tulisku ke dalam tas.

"Tunggu."

"Kenapa, Dim?"

"Sa..qi..lla." Dimo mengeja namaku secara perlahan, membuatku semakin yakin aku pernah mendengar suara dan orang seperti dia.

"Saqilla, kenapa lo mirip banget sama mantan gue. Tapi, hmm senyum lo lebih manis dari dia," lanjutnya sambil terus menatapku. "Kalian punya nama yang mirip juga, Sabrina dan Saqilla. Jadi bagaimana kalau lo menggantikan dia?" ucapnya di sertai senyuman yang aneh.

Aku tak menanggapi lagi ucapannya. Segera saja aku pergi menjauh. Dimo sepertinya sedang galau akibat putus cinta lalu depresi. Depresi? Entahlah. Aku takut dia macam-macam karena menganggapku seperti mantannya.

Lebih baik aku berjalan secepat mungkin, menghindar dari Dimo yang masih berada di bawah pohon trembesi.

"SAQILLA! Besok gue minta lo periksain lagi proposal gue."

Aku mendengar suaranya yang sedikit berteriak itu. Apa? Dia mau aku memeriksa proposalnya lagi? Aku harus bisa menolaknya kali ini. Jangan-jangan itu hanyalah modus Dimo saja, agar dapat memperhatikanku seperti tadi.

Aku takut sekali kalau Dimo mengejarku dari belakang. Sesekali aku menolehkan kepala ke belakang, lalu kembali berjalan cepat.

Sialnya, mau secepat apa pun aku berjalan, tetap akan kalah dengan kecepatan kendaraan beroda dua itu. Ya, Dimo menyusulku. Itu ditandai dengan terdengarnya suara motor Dimo yang semakin dekat di sisiku.

Aku berusaha tak menghiraukan keberadaanya dan terus melanjutkan langkah.

"Saqilla, sorry soal ucapan gue tadi. Gue cuma masih kepikiran sama mantan gue," ucap Dimo masih sambil mengendarai motor, menyeimbangkan dengan langkah kakiku.

"Gue gak bermaksud membuat lo takut."

Aku bingung harus berkata apa. Dimo ini aneh sekali. Beberapa menit lalu dia menatapku dengan tatapan tajamnya, lalu memintaku menjadi pacarnya, kemudian berteriak minta di periksain lagi proposalnya dan sekarang? Ia meminta maaf dengan nada yang lebih ramah ketimbang tadi.

Ya Allah, mengapa saat aku berteman dengan lelaki malah membingungkan begini sifatnya. Apa dia memang suka berubah sikap secepat ini? Apa dia senang menggoda teman ceweknya? Kalau iya, mengapa harus aku sekarang yang jadi sasarannya.

Saqilla & Alva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang