Bagian 1

19 3 2
                                    

"Lo nonton TV atau ditonton TV sih?" tanya Oliv yang tiba-tiba datang dan melihat TV menyala, tetapi gue malah asik memainkan ponsel.

"Nunggu pesan Sean."

"Ckck...Terus ngapain TV dinyalain, mending matiin aja biar hemat listrik!" perintah Oliv yang memang tahu kebiasaan gue begini, tetapi baru kali ini menyeruakan keluahannya.

"Biar gak sepi."

"Hah?"

"Biar lo tahu gue ada di sini dan dateng deh."

Gue menunjukan senyuman palsu alias pura-pura kepadanya. Dan dia hanya diam kemudian mengalihkan pandang ke arah layar TV dan kembali berkomentar.

"Nontonnya Sinetron Indosiar terus lagi," komentar Oliv yang bermaksud menyindir gue, tetapi gue sudah kebal dengan sindiriannya.

"Biarin. Yang penting ada amanat hidupnya daripada cuma cinta-cintaan mulu."

" Emang apa amanat hidupnya? Perasaan ceritanya gitu-gitu mulu."

"Ada banyak malah, tapi ada 3 amanat yang mau gue terapkan dari Sinetron Indosiar."

"Apa aja?" tanya Oliv penasaran.

"Pertama, orang baik dan lemah itu mudah dimanfaatin alias bodoh jadi gak usah sok baik kalo lo itu lemah. Kedua, cewek itu lebih banyak pake perasaan daripada logika dalam sebuah hubungan jadi gue engga mau kayak gitu alias jadi cewek bodoh. Ketiga, hati dan perasaan orang itu mudah berubah jadi lo itu gak usah terlalu percaya dan berharap pada orang lain sampai lo terluka kayak orang bodoh."

"Perasaan lo ngomong bodoh terus deh. Kalo gue mikirnya masa cuma pelakor, selingkuh, mati gara-gara penyakit atau kecelakaan kayak gitulah. Hehe.."

"Dasar hehe..." Gue kembali fokus bermain ponsel dan mendengarkan Oliv bercerita panjang kali lebar sampai dari banyaknya cerita yang Oliv katakan ada satu cerita yang membuat gue tertarik dan melupakan rasa galau ini.

"Gue akhirnya nembak dia."

Oliv dengan kepercayaan dirinya mengatakan pengalaman cinta pertamanya pada gue. Dan gue cukup terkejut karena dia akhirnya memutuskan demikian.

"Terus?"

"Gue ditolak, dong."

Gue memandang Oliv dengan tidak percaya. Dia menembak cowok dan ditolak, tetapi dia masih bisa bersikap baik-baik saja dan bahkan terlihat bahagia. Dia bahkan bisa haha-hihi seolah hal itu bukanlah sesuatu yang menyakitkan dan pantas dia sedihkan.

"Gak kecewa atau malu gitu?" tanya gue hati-hati.

"Ya, awalnya sih gitu. Tapi lama-lama gue juga pikir ngapain gue sedih toh dia juga gak sedih. Lagian gue nembak dia karena ingin kepastian supaya enggak ada kebaperan. Hehe..."

Gue ikut tersenyum juga melihatnya bahagia bahkan setelah dia ditolak cowok. Kadang gue juga berpikir bahwa Oliv itu orang yang jarang menunjukan kesedihannya di depan orang lain.

"Liv, kapan saat lo enggak bisa nyembunyiin kesedihan lo?" tanya gue iseng karena sejak mengenalnya, gue enggak pernah melihat dia sedih. Mungkin dia menyembunyikan kesedihannya itu agar orang lain enggak khawatir padanya.

"Saat gue kehilangan orang yang berharga bagi gue."

Saat itulah gue hanya terdiam dan memandang Oliv dengan rasa campur aduk. Rasanya gue ingin bertanya lebih, tetapi gue enggak mau mencarinya lebih dalam. Gue takut jika pertanyaan gue nanti malah membuat dia terluka.

"Kita cari makan yuk!" ajak gue yang mencoba mengakhiri topik pembicaraan ini.

Akhirnya, kami pun sepakat makan siang di salah satu kedai makan yang tak jauh dari kos. Minggu ini Sean sibuk dengan organisasinya jadi gue memutuskan sabtu minggu ini bermalas-malasan di kos bersama Oliv dan berharap Sean mengajak gue main.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang