↪ 06 | the boy who lived

5.3K 964 251
                                    

Thought I knew you for a minute,

but now I'm not so sure...

🍃

King Cross, London

Satu kata untuk King Cross pagi ini, ramai. Dan entah untuk keberapakalinya Steve Wallace mengutuk para muggle yang memenuhi peron kereta. "Muggle! Bisakah mereka menyingkir?!" seru Steve memekik kesal hingga membuat beberapa muggle yang dilaluinya mengernyit heran, mungkin asing dengan kosa kata yang dilontarkan Steve.

"Bisakah kau berhenti menggerutu?" sahut Eliz, "Stasiun ini ramai dan aku sudah cukup pusing. Jangan ditambah dengan gerutuan manismu itu, terimakasih." Raut wajahnya sama kesalnya dengan sang suami dan kebanyakan orang di stasiun. Jika orang-orang yang sering mengalami keramaian ini saja masih sama kesalnya, lalu bagaimana dengan mereka yang jarang sekali berdesak-desakkan? Ayolah, keduanya berasal dari keluarga konglomerat, kendaraan pribadi di manapun kapanpun selalu tersedia, kecuali Hogwarts. Tiba-tiba Eliz terpikir, perlukah ia membangun stasiun pribadi agar tak perlu merasakan keramaian ini lagi?

"Heh, sama-sama." Steve mendecih, sama sekali tak merasa bahwa yang dilontarkan Eliz adalah ironi membuat putri tunggal keluarga Carrington itu memutar matanya.

"Mom! Dad! Bisa kalian cepat sedikit? 20 menit lagi keretanya berangkat!" tuntut Celine menunjuk jam kecil di tangannya. Buru-buru dua orang itu melangkahkan kaki lebih cepat, Celine akan semakin menyeramkan saat sedang marah.

Stasiun ini ramainya bukan main. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang terus mendecih sepanjang perjalanan, ataupun Celine yang acuh tak acuh dengan keadaan sekitar. Cathrine dan [Name] daritadi sibuk terkikik-kikih sambil mendorong troli. Keduanya bahkan beberapa kali menabrak para muggle yang ada karena tak fokus dengan langkah kaki, mengucapkan maaf dengan singkat dan kembali terkikik, membicarakan hal-hal konyol yang bagi Celine tak lucu sama sekali. Well, ia bukan tipikal orang yang akan tertawa hanya dengan lelucon tak bermutu. Tapi bagi Cathrine dan [Name], bahagia itu sederhana.

"Siapa yang akan duluan masuk?" tanya Cathrine ketika sampai di tengah-tengah peron 9 dan 10. [Name] bergedik tak tahu, Celine berbalik, dan menatap kedua orang tuanya yang baru saja sampai.

"Cathrine, you first." Cathrine berbinar-binar dan dengan sigap mengambil ancang-ancang untuk berlari, welcome to Hogwarts pikirnya. Saat Cathrine telah lenyap dari pandangan mereka, Celine menatap [Name] sekilas sebelum ikut menyusul Cathrine ke peron 9¾. Walaupun kini status ketiganya sama, tetap saja akan ada perbedaan perlakuan antara anak angkat dan anak kandung. Miris? Celine tetap merasa tak acuh.

"[Name]," panggil Steve lirih.

[Name] menoleh, matanya masih sempat melirik ke tempat di mana Cathrine dan Celine menghilang sebelum akhirnya menghampiri kedua orang tuanya. Ia yakin Steve maupun Eliz sama-sama akan memberinya berbagai macam wejangan sebelum pergi ke Hogwarts.

"Aku yakin kau sudah paham tugasmu."

[Name] mengangguk pasti.

"Kemampuan sihirmu juga jauh di luar ekspetasi kami," lanjut Steve sambil melirik Eliz, sedangkan [Name] masih diam menunggu, ia paham betul jika pembicaraan ini belum masuk ke pokok utamanya. Mungkin mereka bingung bagaimana cara menyampaikannya.

"Kami tak akan ada di sana saat kau mengetahui rahasia-rahasianya. Dan aku harap kau tak membahayakan dirimu sendiri," kata Eliz memulai. Rahasia ... kata itu menjadi begitu familier di telinganya di detik namanya berubah menjadi Wallace. Terlalu banyak rahasia di balik nama megah itu. Pintu-pintu kokoh yang tak ada kuncinya, lorong-lorong panjang nan mencekam, anggota keluarga yang tiba-tiba menghilang bagai angin, nama Wallace begitu terikat dengan misteri.

#1 The Mission : Mission Begins |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang