03. Hujan

6K 847 41
                                    

Pakaian yang berjejer di atas tali jemuran itu bergoyang tertiup angin, menandakan bahwa pakaian tersebut sudah kering, siap untuk diangkat.

Dengan celana training seragam jalan sehat acara agustusan dan kaos berwarna ungu, Rose keluar dari dalam rumah Jennie membawa sebuah bak besar di tangannya. Ia memandang langit yang mulanya cerah, tapi kini sudah tertutup awan abu-abu yang pekat.

Yah, hujan turun lagi...

Secara telaten, Rose memindahkan pakaian yang telah kering ke dalam bak hitam yang ia bawa.
Hawa terasa semakin mendingin seolah pertanda jika hujan yang akan membasahi bumi ini akan berlangsung lama, terlebih mengingat betapa pekatnya awan di atas sana.

Satu per satu Rose meraih pakaian miliknya, milik Jennie, milik Ilo dan milik putra sulungnya, Nino. Wanita itu menghela nafas pelan dan mempercepat kerjanya.

"Bundaaa!"

Suara sang anak sulung terdengar dengan keras diantara sayup-sayup angin yang berhembus. Rose menoleh untuk sejenak dan melihat sang anak yang melambaikan tangannya dari teras rumah Jennie.

Buru-buru, Rose beranjak untuk menemui sang anak pertamanya itu. "Ayo masuk, bentar lagi hujan," ajak Rose tapi Nino menahan Rose untuk masuk ke dalam rumah.

"Bunda, Nino mau jaga bunda."

Ibu muda itu menaikkan alisnya, bingung atas ucapan anak sulungnya itu tapi Rose berusaha tersenyum, "Terima kasih, kak Nino."

Nino dengan polos mengangguk, "Ayo masuk bunda, anginnya besar, nanti bunda sakit," ajak Nino dan Rose tersenyum kecil melihat tingkah sang anak.

"Yuk."

Rose dan Nino masuk ke dalam rumah Jennie. Disaat melewati ruang tengah Rose melihat Jennie yang baru keluar dari kamar yang Rose tempati.

"Ilo kenapa Jen?" tanya Rose, takut sang anak bungsu yang sedang tidur terbangun disaat Rose mengangkat jemuran tadi.

"Tadi sempat ngerengek, tapi sudah tidur lagi kok," jawab Jennie.

Rose pun mengangguk kemudian duduk lesehan di tikar bambu ruang tengah itu, meletakkan bak yang ia bawa dan mulai melipat rapi baju yang baru diambil.

"Bunda, Nino bantu ya."

"Kak Nino bantu bunda jagain adik Ilo, bisa?" tanya Rose.

Dengan semangat Nino mengangguk sebelum akhirnya berlari dengan cepat ke kamar yang Jennie masuki tadi. Sementara, Jennie masuk ke dalam dapur, menghilang dibalik tirai berwarna biru.

Secara telaten Rose melipat pakaian itu satu per satu dengan apik. Ah, apa yang Rose lakukan sekarang?

Rose 5 tahun yang lalu tak akan pernah membayangkan untuk melipat pakaian seperti ini dengan kondisi memiliki 2 anak dan menatap jauh di pulau yang tak pernah ia bayangkan akan ditinggali.

"Rose, minum tehnya," ucap Jennie seraya muncul dari balik tirai membawa sebuah ketel dan dua buah gelas bening hadiah dari sabun colek.

"Terima kasih Jen," balas Rose, ia pun menuangkan teh ke dalam gelas dan meminumnya.

"Besok ada pengecekan kesehatan di posyandu sampai pukul 10 pagi," ucap Jennie, turut menyeruput teh poci itu.

"Kalau aku jalan kaki, kejauhan gak ya buat Nino?" tanya Rose, menyibukkan diri dengan melipat baju-baju itu. Tak lama kemudian, Jennie turut membantu melipat baju-baju itu.

"Naik ojek aja, atau mau aku telponin Junedi? Biar dia antar kamu sama anak-anak kamu ke posyandu."

Rose tampak menimbang terlebih karena Jennie menyebut nama Junedi, "Lihat besok aja deh, Jen. Aku gak enak sama Junedi."

"Gak enak atau malu?" kekeh Jennie, niat hati menggoda Rose namun ibu muda di hadapannya itu tidak tersenyum sedikitpun.
"Gak enak."

Jennie berdeham pelan mendengar jawaban Rose. Ah, Rose lagi tidak bisa diajak bercanda, ia dalam mode serius. Keadaan di ruang tengah itu berubah sunyi, keduanya terfokus melipat baju. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari langit disusul dengan bunyi petir yang menggelegar.

Bersamaan dengan bunyi petir, terdengar suara tangisan yang Rose yakin adalah suara tangisan Ilo.

"Jen, aku cek Ilo dulu." Dan Jennie mengangguk.
Rose pun beranjak menuju kamarnya, dan benar saja Ilo sudah menangis di atas tempat tidur sementara Nino justru tertidur.

"Sayang ...." Rose mengangkat Ilo ke dalam gendongannya dan tangis batita itu mulai sedikit mereda. Dengan penuh kasih sayang, Rose mengusap punggung Ilo yang menyenderkan kepalanya di bahu Rose. Ibu muda itu berjalan ke arah jendela kamar dan melihat rintik hujan yang mulai turun, membasahi bumi.

"Mamamamam ...," isak Ilo pelan.
Rose mendekap anaknya semakin erat, memandang keluar jendela kamarnya dengan tatapan sendu.

Hujan...

Rose jadi teringat hari dimana ia kabur dari rumah suaminya. Kala itu, suami Rose sedang bekerja, dan Rose membawa Ilo yang masih bayi sekaligus Nino yang masih berusia 4 tahun keluar dari rumah.

Langit tampak mendung siang hari itu. Hujan lebat tampaknya hendak mengguyur kota besar pusat urbanisasi di Indonesia.

Beruntung, Rose dapat terlebih dulu sampai di stasiun kereta sebelum hujan mengguyur. Bersamaan dengan kereta yanh meninggalkan stasiun Pasar Senen, rintik hujan mulai turun menghapus jejak kepergian Rose bersama aliran air.

Kereta dengan jurusan Jakarta-Banyuwangi menjadi saksi bisu bagaimana Rose menangis sepanjang perjalanan menuju pulau Kera.

***

Nino

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nino



***

Author note :
Hai, ini spicypastaaa! hehe, gak tau harus ngomong apa nih 👉🏻👈🏻


spicypastaaaaaaa 🍝

SORE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang