04. Takdir

4.8K 768 27
                                    

Rose menyeka keringat yang terjun di dahinya. Pulau Kera pada waktu tengah hari memiliki panas yang sungguh terik, paling enak memang berdiam di rumah bersama kedua anaknya, tetapi Rose tahu itu tak mungkin karena keadaan sama sekali nggak mendukung.

Rose bukan tipe orang yang suka dikasihani dan berpangku tangan demi membeli susu serta biaya kehidupannya dari Jennie—meskipun diberi cuma-cuma. Sudah tinggal numpang, mana tega Rose jadi parasit yang menggerogoti putaran penghasilan dari Jennie yang tak tahu kapan menjemput hilalnya tersebut?

"Rugi besar! Rugi besar! Melaut kita jauh demi makan dan sekolah anak meskipun listrik suka mati tapi pembayarannya tetap, kenapa harga per kilo-nya jadi 3 ribu saja? Tengkulak tak punya otak!"

"Awalnya 10 ribu kenapa jadi 3 ribu? Bah, tak sudi betul aku mempertaruhkan nyawa di lautan hanya untuk 3 ribu rupiah!"

Rose yang sedaag menyisir rumput laut hanya bisa mendesah pelan mendengar percakapan ibu-ibu di  sampingnya membuat dia sadar.

Penghasilan kecil tapi tuntutan bagi anak-anaknya bertambah besar, Rose harus mau kerja serabutan demi terpenuhinya kebutuhan. Mulai dari menjadi asisten Jennie, membuat kalung dari kerang, menyulam jala, hingga menjemur rumput laut seperti sekarang. Tanpa skill, manusia bisa hidup tapi di bawah tekanan orang. Dan Rose memiliki keterampilan yang otodidak, bukan bakat.

Jadi mama tunggal tak mudah, lebih enak memang punya suami yang support dalam hal finansial. Tapi untuk apa jika punya suami yang akhirnya membuat luka batin makin menganga? Pergi, hilang, dan lupakan. Jangan nyanyi pokoknya.

"Kualitasnya jelek, nggak sebagus bulan lalu. Jika tak mau dijual tak apa, yang rugi bukan saya."

Rose mengendikkan bahu tak peduli lalu menghitung uang yang baru saja ia terima. Tigapuluh ribu rupiah, lumayan bisa bayar susu Ilo meskipun hanya menebus setengah harga.

Dia bergegas kembali ke rumah Jennie dengan maksud beristirahat sebentar selama tiga jam lalu kembali ke pinggir pantai untuk ikut bongkar muat kapal ikan. Lumayan, uang yang didapatkan nanti bisa untuk ditabung.

Rose sedikit bersyukur kepindahannya ini di tempat yang cukup terpencil dan susah akses, sehingga fasilitas-fasilitas yang ada tidak terlalu memadai tapi mampu membuat kantong Rose aman dan hemat.

Entah harus miris atau senang, meskioun fasilitas umum tidak seperti di Jawa—sangat jauh berbeda, tapi keadaan ini membuatnya bersyukur karena tidak gelap mata seperti dulu.

Saat di Jakarta dulu, Rose dengan mudah memanjakan diri beserta kedua anaknya karena selain serba lengkap, ia juga mampu untuk melakukan apapun tanpa harus berusaha keras seperti sekarang. Namun Rose takkan pernah mau kembali ke masa itu yang mana membuatnya merasa hidup di neraka.

"Selamat siang Kakak Rose."

Dari suara husky-nya bisa tahu siapa yang baru saja memanggil Rose begitu. Hanya satu orang yang memiliki satu mulut luar biasa menyebalkan dan tak peduli dengan lawan bicaranya terlihat kesal. Junedi, yang selalu memanggil dirinya Aa' June tiap kali bertemu Rose.

"Selamat siang."

"Mau kemana siang terik sekarang?"

"Pulang."

"Aa' June antar mau? Tapi niat hati Aa' June ingin antar Kakak Rose tapi sekarang Aa' June lagi ada kerjaan. Kapan-kapan aja lah." Omongan tanpa makna membuat Rose muak, sabgat membuang waktu. Apa setiap lelaki itu memiliki kecenderungan sama begini?

Rose tersenyum tak sampai ujung mata lalu bergegas  menuju rumah. Jaraknya lumayan dekat bibir pantai, yaitu seribu lima ratus meter yang mana saat Rose  pertama kali berjalan kaki dengan jarak seperti itu dulu cukup membuat ia ngos-ngosan.

Kebiasaan dimanja dan diantar kemana-mana sungguh membuatnya menjadi sedikit bergerak. Untung ia cukup mudah beradaptasi dan anak-anaknya tak ada yang rewel, jadi Rose tak menyangka jika kedatangannya di Pulau Kera ini telah beranjak dua tahun.

Waktu berlalu begitu cepat. Kalau bisa ia akan selamanya berdomisili disini, tapi Rose tahu apapun yang terasa baik takkan bersifat permanen. Cepat atau lambat, ia nanti dituntut untuk mempertanggungjawabkan perilakunya. Entah dari sang anak, keluarga, ataupun suaminya.

Memikirkan itu membuat Rose gemetaran dan langsung memasuki kamar mandi saat sampai rumah Jennie. Cukup dengan kucuran air kran yang memiliki selang warna hijau sebagai sambungannya, Rose membiarkan air mengalir diatas tubuhnya hingga rasa gemetaran hilang. Rasa gemetaran memang hilang, tapi segala rentetan kejadian masa lalu berusaha mendesak keluar dari kotak pandora yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Sepertinya Rose harus menggigit lengan dalamnya sampai berdarah sekali lagi untuk membuat ia tetap sadar dan tak terbayang-bayang. Kalau boleh meminta amnesia, Rose akan memilih hal itu tanpa berpikir dua kali. Teman Jennie yang satu itu luar biasa sekali kelakuannya, hanya dengan menyebut kata antar, mampu membuat Rose menjadi runyam seperti ini.

Sepertinya Rose harus menjaga jarak dengan Junedi yang seringkali membangkitkan kenangannya. Perkataan dari mulut Junedi seringkali membuatnya falshback, dan itu pertanda tak baik. Pria dengan segala perkataan dan tingkah lakunya, bak pedang bermata dua. Bermanfaat dan menyenangkan, tapi mencelakakan juga.

Apa Rose harus kembali terpuruk? Sayangnya ia tak punya pilihan, karena memiliki dua malaikat menggemaskan yang selalu mengulurkan tangan tanpa Rose minta. Sumber kekuatan ia hidup. Tanpa mereka, mungkin Rose sudah berbaur dengan tanah sekarang. Kalau ditarik secara jauh, ia akan menjadi salah satu orang keren yang sukses di ibukota dan tidak terjebak dalam keadaan yang seperti ini. Sayangnya, takdir sudah memilih.

SORE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang