Aku masih membatu, tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan Iris kepadaku. Sipu dalam pipinya menghilang, dilanjutkan dengan lirikan canggung yang tak berani menatapku terlalu lama.
Gigiku mengeras dan alisku menukik tajam, aku bangkit dengan cepat dan menatapnya penuh amarah. Seakan takut dengan tatapanku, dia mencicit pelan, "Ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud-"
"DIAM!!" aku berteriak memotong kalimat permintaan maaf yang tak aku butuhkan sama sekali. Dengan kasar aku menyeka pipiku. Rasanya sangat gatal, gatal sekali hingga aku menggosoknya berulangkali, berusaha menghilangkan sesuatu yang tak nampak dari sana. Aku tidak berbohong, rasanya sangat gatal dan hatiku terasa panas.
Aku benci hal ini. "Apa kau tidak dengar apa yang selalu kukatakan padamu setiap hari?! Aku membencimu! Aku sangat membencimu hingga ingin sekali jauh darimu! Berhenti berkata jika kau menyukaiku! Aku membencimu sama seperti aku membenci perasaan cinta!"
Iris membisu. Mulut yang biasanya berisik itu tertutup rapat. Tidak ada kata-kata yang ia keluarkan untuk membalasku seperti yang biasa ia lakukan, dan aku bersyukur akan hal itu. "Jangan pernah mencoba untuk mendekatiku lagi. Ini peringatan terakhir untukmu!"
Aku menyambar tasku dengan kasar, meliriknya tajam dengan sekilas sebelum berbalik meninggalkannya yang menunduk dalam dengan meremas seragam yang menutup dadanya.
Aku harap dengan ini dia tidak pernah lagi mendekatiku. Langkahku kembali terhenti, bukan karena aku berubah pikiran. Aku tidak akan pernah berubah pikiran dan menelan ludah yang sudah keluar. Iris, yang berdiri di belakangku, menarik lenganku dengan kekuatannya. Aku memutar mataku malas.
"Apa lagi sekar-"
Mataku tertuju pada tangannya yang terus mencengkeramku dengan erat. Ia berusaha menarikku, mencegahku untuk pergi dari hadapannya. Saat aku menoleh, aku mendapati bahu kecil itu bergetar, membuat napasku tercekat. Satu tangannya menutup mulutnya, dan tatapanku mulai tertuju pada matanya. Ia yang biasa tersenyum lebar dan tertawa dengan nyaring tiba-tiba saja menunjukkan raut penuh penyesalan. Aku semakin terkejut saat melihat air matanya mengalir dengan deras seakan tumpah begitu saja, tak ada bendungan yang mencoba untuk menghalanginya di sana.
Iris tak pernah menampilkan raut seperti itu. Ini pertama kalinya aku melihat raut wajah seperti itu dari orang lain dan perasaan yang hampir serupa itu muncul, saat dimana aku melihat ibuku menangis karena ayahku. Bahkan saat ayah pergi meninggalkan aku dan ibuku, ia tetap setia menggunakan nama Shamrock dibelakangnya. Meski ibuku menangis saat memelukku, ia tetap mencintai ayah yang pergi bersama wanita lain. Meski ia tahu hal itu, ibu tetap mencintainya, tetap membukakan pintu untuk pria brengsek itu saat datang ke rumah, lalu menyambutnya dengan suka cita seakan tak terjadi apapun. Cinta membuatnya bodoh dan aku tidak menerimanya.
"Lepaskan aku," ucapku pelan. Aku mencoba bersabar di sini.
Iris menggelengkan kepalanya, membuat kepangan rambutnya bergerak mengikutinya. "Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya. Tolong, tolong jangan membenciku. Aku menyukaimu."
Gadis ini keras kepala sekali. Aku menepis tangannya, memandangnya sinis dan kembali berkata, "Bahkan sebelum kau melakukannya, aku sudah membencimu. Kau hanya membuatnya semakin parah."
Iris terlihat terkejut dan air matanya semakin bertambah. Mata merahnya menatapku tidak percaya dan aku semakin tidak mengerti. Apa ia pikir setiap perkataan benciku yang aku ucapkan kepadanya hanya sebuah omong kosong belaka? Padahal aku melakukannya dengan sepenuh hati, sama seperti yang ia saat mengatakan dia menyukaiku. Setelah memastikan ia tak lagi mencoba menghentikanku, aku berbalik meninggalkannya yang tidak bergerak sedikit pun dan aku mencoba untuk tidak peduli pada setiap air mata yang jatuh di pipinya.
---
Hari-hari yang kulalui di sekolah berjalan dengan damai. Sangat tenang, sebuah impian yang akhirnya tercapai dengan tidak adanya kebisingan dari Iris. Akhirnya, setelah sekian lama mendambakannya, aku berhasil mendapatkannya. Orang sabar memang disayang Tuhan. Apalagi hari ini, aku resmi tidak duduk di sebelahnya. Perubahan tempat duduk membuat kami duduk saling berjauhan. Dia duduk jauh di depan pojok kiri, sedangkan aku di belakang pojok kanan, dan beruntungnya lagi, Argia duduk di sebelahku. Hari-hari yang menyenangkan sudah menungguku.
"Hey, Sive." Argia memanggilku sepanjang perjalanan pulang. Aku bergumam menjawabnya. "Kau mungkin tidak ingin membahas ini, tapi aku, sebagai sahabatmu, mungkin harus tahu akan hal ini." Aku menatapnya penasaran, tidak biasanya Argia berbelit-belit seperti itu. "Sebenarnya tidak hanya aku saja, tapi kupikir sekelas juga menyadarinya. Pasti sudah terjadi sesuatu di antara kau dan Iris, kan?"
"Sesuatu apa?" aku pura-pura tidak tahu.
Argia memutar bola matanya. "Oh, ayolah! Dia tiba-tiba jadi pendiam! Bahkan saat pelajaran olahraga tadi dia tidak seberisik biasanya. Dia juga jarang masuk kelas sekarang. Pasti tejadi sesuatu, kan?"
Aku menghela napas panjang dan menyerah. "Aku hanya mengatakan jika aku membencinya."
"Secara langsung?" Argia masih bertanya. Aku mengangguk mantap, ingin cepat-cepat menyelesaikan topik ini. "Kau gila! Apa kau membuatnya menangis?"
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menatap Argia yang lebih dulu berhenti. "Darimana kau tahu?"
"Ya ampun, Sive. Hatimu terbuat dari apa, sih? Tidak ada pria yang bisa menang dari tangisan wanita!" aku mengernyit, Argia terlalu berlebihan. Dia menggelengkan kepalanya saat melihatku dan menyerah berbicara denganku, lalu berpamitan saat melihat busnya datang. Sementara itu, aku kembali berjalan kaki.
---
Satu lagi hari yang menyenangkan datang. Tidak ada lagi bunyi berisik yang menganggu dan ucapan cinta yang menjijikkan. Awalnya aku berpikir seperti itu, tetapi saat pertengahan hari, aku mulai berpikir sebaliknya.
Saat ini Iris duduk di depanku, bukan karena pertukaran tempat duduk atau mencoba untuk mendekatiku lagi seperti yang ia lakukan terakhir kali, tetapi karena pembagian kelompok dua orang, entah takdir apa yang membuat kami berada dalam satu kelompok yang sama, dari satu pertiga puluh dua peluang, aku harus satu kelompok dengan dirinya.
Aku mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapku dan Iris bergantian. Sepertinya perkataan Argia tentang rumor antara aku dan Iris memang sudah menyebar, tetapi saat ini aku lebih peduli pada tugasku. Dan juga gadis di depanku.
Keheningan terasa canggung, aku dan dia sempat beberapa kali tak sengaja bertemu pandang, hanya sedetik saja memang, tetapi terjadi selama beberapa kali. Dia diam saja, tidak ada kalimat basa-basi yang biasanya keluar. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah penampilannya. Ia menggunakan seragamnya dengan rapi. Sepatunya yang biasa berwarna mencolok itu berubah menjadi warna pastel, seingatku kemarin ia memakai warna gelap. Lalu, rambutnya terurai begitu saja, terkadang ia akan mengikatnya seperti ekor kuda dengan pita hitam polos, tidak seperti pita merah gliter dengan hiasan oreo mini yang biasa ia pakai. Berbicara tentang ikat rambut, aksesoris di tangannya menghilang tak bersisa. Tidak ada lagi Iris dengan bunyi loncengnya yang khas, yang menggema di lorong sekolah. Yah, meskipun begitu, ia tetap melanggar peraturan dengan memakai pemerah bibir. Penampilannya kali ini--secara mengejutkan--sama seperti siswi pada umunya.
Rasanya tidak terkejut saat teman-teman berpikir dia sepertu gadis yang baru saja patah hati, penampilannya berubah drastis, seperti langit cerah yang tiba-tiba gelap dan bergemuruh. Matanya kini tak lagi menatapku malu-malu, buku pelajaran ditangannya ternyata lebih menarik dariku.
Aku menatap lembaran kerja yang dibagikan, semua tugasku sudah selesai. Aku mengulurkan kertas itu pada Iris. "Bagianmu."
Dia terkejut, matanya bertemu denganku meski lagi-lagi hanya sekilas. Iris dengan cepat menundukkan kepalanya dan mengambil kertasnya tanpa menatapku kembali. Aku hanya diam saja dan kembali membaca buku sembari menunggu Iris menyelesaikan bagiannya.
Suara ketukan sepatu terdengar, asalnya dari sepatuku. Aku hanya merasa aneh. Suasana ini terasa sedikit menyebalkan dan tidak menyenangkan. Entah kenapa, sepertinya Iris yang ramai terasa lebih menyenangkan daripada yang satu ini. Sekarang ia terlihat lebih menyebalkan dari biasanya. Aku ingin berbicara, tetapi tidak tahu apa yang harus aku bicarakan. Hingga bel pulang berbunyi, otakku tidak tahu kalimat apa yang seharusnya aku ucapkan kepadanya dan mulutku tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang ingin aku ucapkan.
Semua tiba-tiba terasa rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Stupid) Love ✔️
Romance[Complete] Cinta adalah hal yang paling kubenci. Cinta hanya akan membuat seseorang semakin bodoh, seperti gadis nyentrik menyebalkan yang duduk di sebelahku. Lalu, apa jadinya jika gadis itu tiba-tiba saja menciumku?