Wrrr!
Angin begitu kencang menghantam seluruh Pesisir Pantai Laut Utara ini, seakan-akan ingin menghancurkan desa yang ada di sepanjang tepiannya. Debu-debu pasir berputaran, beterbangan ke angkasa. Para nelayan sibuk mengamankan perahunya dari hantaman ombak yang tinggi dan ganas. Matahari yang semula bersinar sangat terik, mendadak saja lenyap tersaput awan hitam yang datang bergulung-gulung cepat sekali.
Entah, datang dari mana. Dalam waktu sekejap saja, seluruh Pesisir Pantai Utara ini diliputi kegelapan bagai malam yang teramat pekat. Keadaan yang begitu cepat berubah, membuat seluruh penduduk desa nelayan itu jadi kalang kabut. Mereka berlarian kembali ke rumah masing-masing dan meninggalkan perahunya yang sudah tertambat aman di pantai.
Beberapa buah perahu yang tidak sempat diamankan, sudah hanyut terbawa arus gelombang yang begitu ganas. Bahkan ada beberapa perahu yang sudah hancur dihantam gelombang yang sangat besar. Sebentar saja, di pantai itu tidak terlihat orang lagi. Mereka semua berlindung dari amukan alam yang ganas ini di dalam rumah masing-masing. Hanya seorang laki-laki tua saja yang masih terlihat berada di depan rumahnya. Dialah Ki Amus, kepala desa nelayan ini.
"Hm.... Ini bukan badai biasa," gumam Ki Amus perlahan.
"Aku merasakan adanya kekuatan lain. Hm...."Tiba-tiba....
Clraaak! Glaaar...!
Begitu cepat kilat membersit, terdengar ledakan bagai hendak membelah angkasa yang gelap tersaput awan hitam. Peristiwa alam itu terjadi, tepat di tengah laut yang bergelombang setinggi gunung. Dan pada saat itu terlihat sebuah bentuk tengah menggeliat di tengah laut. Sebuah bentuk seekor ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau, menyilaukan mata.
"Oh...?!" Ki Amus jadi terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan mulutnya ternganga lebar. Pandangannya sedikit pun tidak berkedip, ke arah ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau di tengah laut.
"Oh! Benarkah yang kulihat ini...?" Ki Amus merasakan seperti sedang bermimpi.
Sungguh tak disangka, ular naga itu benar-benar ada. Bahkan sekarang muncul, dan terlihat di tengah laut. Warnanya hijau, memancarkan cahaya terang berkilau. Dan kini, tampak binatang itu bergerak ke arah pantai. Dari lubang hidungnya, api menyembur disertai asap kehijauan yang mengepul, membumbung ke angkasa.
Clark! Glarrr...!
Tepat di saat Naga Laut itu berada di garis pantai, kilat menyambar dari angkasa, diikuti ledakan guntur yang menggelegar dan menggetarkan jantung. Dan pada saat itu, Naga Laut sudah menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan lenyapnya ular naga raksasa, alam pun mendadak jadi cerah kembali. Awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa, seketika lenyap tak berbekas sedikit pun juga.
Langit kembali cerah. Cahaya matahari sudah bersinar terang menghangatkan bumi. Angin pun kini tidak lagi bertiup kencang. Bahkan laut pun tampak tenang, dengan lidah-lidah ombak yang lembut menebur batu-batu karang di Pesisir Pantai Utara.
Sementara, Ki Amus masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Matanya masih memandang lurus ke tengah laut. Rasanya, seakan-akan seperti tengah bermimpi. Begitu cepat keadaan alam ini berubah. Laki-laki tua berjubah panjang berwarna putih itu baru tersentak sadar, saat mendengar batuk kecil dari belakang. Cepat tubuhnya diputar. Matanya langsung menyipit begitu melihat Paman Ardaga tahu-tahu sudah ada di depan rumahnya.
"Kau percaya pada cerita ku, Ki? Naga Laut itu memang ada," kata Paman Ardaga seraya melangkah mendekati kepala desa itu.
"Entahlah.... Rasanya aku tadi bermimpi," sahut Ki Amus mendesah pelan.
"Kemunculan Naga Laut itu pasti akan membawa bencana bagi desa ini, Ki," kata Paman Ardaga.
Ki Amus tidak langsung menanggapi, dan hanya diam saja. Seakan-akan perasaannya masih diliputi suasana yang begitu mencekam dan sukar sekali diterima akal sehat. Kenyataan itu benar-benar belum bisa diterima akalnya. Bahkan memang sukar dipahami.
Naga Laut yang selama ini selalu menjadi dongeng anak-anak kecil sebelum tidur, kini benar-benar menjadi kenyataan dengan kemunculannya. Apakah dugaan Paman Ardaga menjadi kenyataan, kalau kemunculan Naga Laut itu akan membawa bencana.***
Satu pekan sudah perkampungan desa nelayan di Pesisir Pantai Utara dilanda ketakutan atas munculnya Naga Laut. Ketakutan mereka memang sangat beralasan. Betapa tidak? Setiap kali Naga Laut muncul, selalu saja ada seorang gadis yang masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun hilang. Bahkan sudah banyak orang yang melihat munculnya Naga Laut itu.
Dan belakangan ini, kemunculannya selalu menimbulkan kerusakan. Malah, sudah beberapa orang anak buah Ki Amus yang tewas, karena mencoba mengusir Naga Laut dari desa nelayan ini. Ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang di seluruh tubuhnya itu kelihatannya semakin ganas saja. Dan kemunculannya pun tidak lagi hanya sekejap. Dia baru pergi setelah mendapatkan seorang gadis, dan melahap satu atau dua orang laki-laki yang ditemuinya.
Siang itu, udara di sekitar Pesisir Pantai Utara terasa sangat panas, tidak seperti hari-hari biasanya. Matahari bersinar sangat terik, seakan-akan ingin membakar semua yang ada di Pesisir Pantai Utara itu. Sedikit pun tak terasa adanya angin berhembus. Dan laut pun kelihatan begitu tenang dengan riak gelombangnya yang kecil menerpa pasir putih di pantai.
Saat ini, tak ada seorang nelayan pun yang turun ke laut. Mereka semua dilanda ketakutan, karena sudah empat perahu hilang di tengah laut. Kegairahan mereka pun lenyap. Wajah-wajah muram terlihat jelas dari mereka yang kini hanya duduk-duduk di beranda depan rumah, sambil memperbaiki jala yang rusak.
Di tengah-tengah kemurungan wajah desa nelayan itu, terlihat seorang pemuda tengah menunggang kuda putih menyusuri tepian pantai. Pakaiannya yang berwarna biru terang, kelihatan mewah membungkus tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Wajahnya pun sangat tampan, bagai seorang putra mahkota.
Sementara semua penduduk desa nelayan itu hanya bisa memandangi. Namun pemuda itu kelihatan tidak peduli, dan terus saja mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan memasuki perkampungan di Pesisir Pantai Utara ini. Langkah kudanya baru dihentikan, setelah sampai di depan rumah Ki Amus.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, pemuda tampan berpakaian mewah itu melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar dia berdiri memandangi rumah Ki Amus yang kelihatan sepi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya. Beberapa penduduk yang ada didepan rumahnya, terus memperhatikan dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.
Setelah memperhatikan keadaan rumah itu beberapa saat, pemuda itu baru mengayunkan kakinya memasuki halaman yang hanya dipagari belahan bambu. Sementara, kuda putih tunggangannya mengikuti dari belakang. Pemuda itu terus melangkah perlahan-lahan, namun ayunannya terlihat mantap. Pandangannya tertuju lurus, sedikit pun tak berkedip ke arah pintu rumah yang tertutup rapat. Dan begitu ayunan kakinya berhenti tepat di ujung bawah anak tangga beranda, pintu rumah itu bergerak terbuka. Kemudian, dari dalam muncul Ki Amus.
"Kau kepala desa di sini...?" Tanya pemuda itu langsung tanpa memberi hormat sedikit pun.
"Benar," sahut Ki Amus agak terkejut "Namaku Ki Amus."
Laki-laki tua kepala desa itu memandangi pemuda yang berdiri tegak didepan beranda rumahnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Perlahan kakinya melangkah mendekati, dan berhenti pada undakan kedua.
Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju kain sutra halus berwarna biru terang, tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Ki Amus.
"Maaf, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa denganku?" Tanya Ki Amus. Sikap dan suaranya terdengar sopan.
"Namaku Raden Banyu Samodra. Aku diutus Ayahanda Prabu Naga Pendaka untuk menemui seseorang di sini." Sahut pemuda itu memperkenalkan diri, dan langsung mengatakan tujuannya datang ke desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.
"Oh...! Kau seorang pangeran," desah Ki Amus tersedak, tidak menyangka kalau pemuda tampan yang datang menemuinya ternyata seorang putra raja.
"Tapi..., dari kerajaan mana Raden datang?"
"Kerajaan Karang Emas."
"Lalu, siapa yang akan Raden temui?" Tanya Ki Amus lagi.
"Raja Karang Setra."
"Maksud Raden..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?" Ki Amus ingin menegaskan.
"Benar," tegas Raden Banyu Samodra.
"Wilayah ini memang masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Tapi, ibu kotanya masih jauh dari sini. Paling tidak memerlukan waktu satu pekan kalau ingin menempuh ke sana," jelas Ki Amus.
"Aku tidak akan ke ibu kota. Apa lagi, datang ke istana. Aku ingin menemuinya di sini," kata Raden Banyu Samodra, tetap tegas nada suaranya.
"Maaf, Raden. Apakah Raden sudah ada janji untuk bertemu di sini?" Tanya Ki Amus, ingin tahu
"Tidak. Tapi aku harus menunggu di sini. Dan itu perintah langsung dari Ayahanda Prabu Naga Pendaka."
Ki Amus mengangguk-anggukkan kepala. Sekali lagi, diperhatikannya pemuda yang mengaku putra raja itu dalam-dalam. Dan memang, kalau dilihat dari perawakan serta pakaian yang dikenakan, orang pasti akan menyangka kalau dia seorang putra mahkota. Atau paling tidak, seorang putra bangsawan. Tapi, sikapnya yang angkuh membuat Ki Amus jadi ragu-ragu. Bahkan memandangnya dengan sinar mata curiga.
Namun yang dipandangi seperti tidak menangkap kecurigaan laki-laki tua kepala desa itu. Bahkan malah melangkah menaiki undakan tangga beranda depan rumah kepala desa itu, lalu berhenti dengan jarak satu undakan di depan Ki Amus.
"Boleh aku beristirahat di sini sambil menunggu Raja Karang Setra...?" Pinta Raden Banyu Samodra dengan sikap masih kelihatan angkuh.
"Jika Raden bersedia istirahat di gubuk reyot ini, aku sama sekali tidak berkeberatan," sahut Ki Amus tidak bisa menolak permintaan itu.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Raden Banyu Samodra melangkah melewati kepala desa itu. Dan dengan enak sekali tubuhnya dihempaskan di kursi rotan. Kedua kakinya diangkat, lalu ditumpangkan ke atas meja. Kedua bola mata Ki Amus jadi terbeliak melihat sikap kurang ajar pemuda itu. Dia benar-benar tidak memandang hormat sedikit pun sebagai tamu.
"Kau tidak memiliki pelayan di sini, Orang Tua?" terasa angkuh sekali nada suara Raden Banyu Samodra.
"Untuk apa?" Ki Amus malah balik bertanya ketus.
Laki-laki setengah baya itu mulai tidak senang terhadap sikap pemuda tampan yang seperti tak punya tata krama. Sedikit pun tidak memandang hormat pada pemilik rumah, sehingga membuat jengkel. Tapi Ki Amus masih berusaha mengendalikan diri, mengingat pemuda yang tengah dihadapinya adalah seorang pangeran dan sedang menunggu Raja Karang Setra.
Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan itu yang membuat Ki Amus terpaksa harus bisa menahan diri melihat sikap angkuh dan ketidak-sopanan pemuda asing ini.
"Aku ingin kau melayaniku dengan baik, Ki. Juga seluruh penduduk desa ini harus mematuhi semua yang kukatakan. Termasuk kau...!" kata Raden Banyu Samodra seraya menuding ke wajah Ki Amus dengan jari telunjuknya.
"Edan...!" desis Ki Amus langsung memerah wajahnya. Terdengar keras gemeretuk gerahamnya menahan kemarahan. Harga diri Ki Amus merasa telah terinjak dalam sesaat saja. Seluruh tubuh laki-laki tua itu jadi menggeletar menahan kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Sedangkan pemuda yang mengaku pangeran itu sikapnya semakin membuat mual perut Ki Amus.
"Aku akan tinggal di sini sampai Raja Karang Setra muncul. Dan kau, serta semua penduduk desa ini, harus tunduk pada perintahku!" tegas Raden Banyu Samodra.
"Keparat..! Iblis dari mana kau ini, heh?" geram Ki Amus tidak dapat lagi menahan kejengkelannya.
Tapi Raden Banyu Samodra hanya tersenyum saja melihat kejengkelan laki-laki tua kepala desa itu. Bahkan sikapnya tampak mengejek dan meremehkan. Sedangkan wajah Ki Amus sudah kelihatan semakin memerah, menahan kemarahan yang meluap-luap tak tertahankan lagi.
"Kuharap, kau segera angkat kaki dari desa ini, Anak Muda," desis Ki Amus dingin, tidak memandang kepangeranan pemuda itu.
"Sudah kuduga, kau pasti akan menjadi orang pertama yang membangkang, Ki," sambut Raden Banyu Samodra datar.
"Pergi kau, cepaaat...!" bentak Ki Amus langsung.
Raden Banyu Samodra masih tetap tersenyum meremehkan. Perlahan dia bangkit berdiri. Dan tiba-tiga saja....
"Hih!"
Slap!
"Hap!" Ki Amus cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba sekali Raden Banyu Samodra mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, terlihat sebuah benda bercahaya kehijauan meluncur deras hendak menyambar tubuh laki-laki tua kepala desa ini. Tapi gerakan menghindar yang dilakukan Ki Amus memang cepat dan manis sekali. Hingga, benda bercahaya kehijauan itu hanya lewat sedikit di samping tubuhnya.
Namun hatinya jadi tersentak kaget setengah mati, karena pada saat benda bercahaya kehijauan tadi lewat di samping tubuhnya, saat itu juga terasakan adanya hembusan hawa yang sangat panas dan menyengat. Cepat-cepat Ki Amus melompat, keluar dari beranda depan rumahnya. Dua kali dia berputaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya di halaman dengan manis dan ringan sekali.
Glarrr!
"Heh...?!" Ki Amus langsung berpaling dan terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar dari arah belakang. Dan kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat pohon beringin besar yang tumbuh didepan rumahnya mendadak saja hancur berkeping-keping setelah terlanda benda bercahaya kehijauan yang dilepaskan Raden Banyu Samodra tadi.
"Gila...!" desis Ki Amus masih dihinggapi rasa terkejut yang amat sangat
"Mudah sekali aku melumatkan tubuhmu hingga jadi debu, kalau kau tidak mau menuruti perintahku, Orang Tua," terasa sangat dingin nada suara Raden Banyu Samodra.
"Phuih! Siapa pun dan dari mana pun kau berasal, sekarang juga angkat kaki dari desa ini!" dengus Ki Amus sengit.
"Kau akan menyesali sikapmu, Ki," Raden Banyu Samodra memperingatkan.
"Sekali lagi kuperingatkan, pergi!" sentak Ki Amus lantang.
Tapi Raden Samodra hanya diam saja. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman yang sangat tipis. Dia masih berdiri didepan kursi yang tadi didudukinya. Perlahan kakinya terayun melangkah ke depan dua tindak. Dan begitu berhenti, cepat bagai kilat, tangan kirinya kembali mengebut ke depan.
Slap!
"Hap!"
Ki Amus langsung saja melenting ke udara, tapi tak ada satu pun benda yang meluncur dari telapak tangan kiri yang menjulur ke depan itu. Dan ini membuat Ki Amus jadi tersedak. Cepat disadari kalau gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu hanya tipuan belaka. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Amus yang masih berjumpalitan di udara.
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Ki Amus meluruk ke bawah, menghindari terjangan kilat Raden Banyu Samodra. Tapi begitu kakinya menjejak tanah berpasir didepan rumahnya, tanpa diduga sama sekali Raden Banyu Samodra cepat memutar tubuhnya. Saking cepatnya, sehingga sukar sekali diikuti oleh mata biasa. Dan tahu-tahu, dia sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada kepala desa itu.
"Hih!" Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk berkelit menghindari tendangan keras menggeledek itu. Maka cepat-cepat tangannya dikebutkan untuk menangkisnya. Hingga tak pelak lagi....
Plak!
"Akh...!"
Ki Amus memekik kecil agak tertahan. Bergegas dia melompat mundur beberapa langkah sambil memegangi tangan kirinya yang tadi digunakan untuk menangkis. Namun belum juga melihat tangannya yang langsung membiru, pemuda tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu sudah melompat cepat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggang.
Sret! Cring!
"Hiyaaa...!"
"Hap!"
Ki Amus bergegas merundukkan kepala, menghindari tebasan pedang yang berkilat dan memancarkan cahaya hijau. Namun belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, Raden Banyu Samodra langsung melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah perut. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi berkelit menghindari. Hingga....
Des!
"Ugkh...!"
Ki Amus terlenguh pendek. Tubuh tua berjubah putih panjang itu seketika terpental deras sekali ke belakang. Dan luncurannya baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh tua dan kurus itu.
"Hiyaaat...!"
Raden Banyu Samodra kembali melompat hendak menyerang laki-laki tua kepala desa itu lagi. Maka satu pukulan yang teramat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun mendarat di dada laki-laki tua ini. Akibatnya, Ki Amus terpekik cukup keras. Semua penduduk desa nelayan yang mendengar pekikan itu kontan keluar dari dalam rumah masing-masing. Dan mereka langsung berhamburan ke tempat ini. Sebentar saja, sekeliling halaman depan rumah kepala desa itu sudah dipadati orang yang baru keluar dari dalam rumahnya.
"Katakan pada mereka, kalau sekarang aku yang berkuasa di desa ini, Ki Amus," kata Raden Banyu Samodra dingin.
"Phuih! Kau tidak akan bisa merebut desa ini begitu saja, Anak Setan! Langkahi dulu mayat kami!" sambut Ki Amus lantang.
"Hm. Rupanya kau keras kepala juga, Ki Amus," desis Raden Banyu Samodra dingin.
Setelah berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa sekali pemuda tampan berpakaian mewah dari sutra halus itu melompat menerjang Ki Amus.
"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
77. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Naga Laut
AcciónSerial ke 77. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.