BAGIAN 1

909 19 0
                                    

Clark! Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, tak lama setelah cahaya kilat membelah langit hitam oleh gulungan awan tebal. Di bawahnya, permukaan Laut Utara tampak bergolak bagai diamuk ribuan tangan-tangan raksasa. Rintik-rintik air hujan pun mulai terlihat turun dari gumpalan awan hitam yang menutupi seluruh langit pesisir pantai Laut Utara ini.
Dari gulungan ombak yang setinggi gunung, terlihat sebuah perahu kecil bercadik tengah berusaha menepi. Hanya seorang laki-laki setengah baya saja yang ada di dalamnya. Dan tampaknya, dia begitu takut melihat laut yang bergelombang besar, bagai hendak menenggelamkan perahu kecilnya. Sedikit demi sedikit perahu bercadik itu mulai menepi.
Laki-laki setengah baya yang bertelanjang dada itu, bergegas melompat keluar begitu perahunya sudah menepi. Dengan sekuat tenaga, perahunya berusaha ditarik. Kemudian, talinya diikatkan di tonggak kayu. Sebentar dipandanginya langit yang hitam sambil menyeka keringat di leher dengan punggung tangan.
"Huh! Bakal ada kejadian apa ini...?" keluhnya berat.
Setelah meyakinkan kalau perahunya sudah aman, bergegas tubuhnya berputar dan melangkah pergi meninggalkan pesisir pantai. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, mendadak saja terdengar ledakan keras menggelegar yang mengejutkan, bersamaan dengan percikan cahaya kilat di angkasa. Laki-laki setengah baya itu cepat memutar tubuhnya berbalik kembali.
"Oh...?!" Kedua bola mata laki-laki itu jadi terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Seluruh tubuhnya langsung mengejang kaku. Hampir penglihatannya sendiri tidak dipercaya.
Ternyata di tengah laut yang bergelombang sangat besar terlihat seekor ular naga raksasa berwarna hijau dan memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Binatang yang hidup di alam dongeng itu ternyata benar-benar ada, dan kini muncul di permukaan laut!
"Dewata Yang Agung.... Apa itu...?" desahnya dengan suara bergetar.
Namun pada saat itu juga, kilat kembali menyambar dari angkasa. Dan begitu cahayanya lenyap, ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya terang itu pun langsung lenyap. Sementara, laki-laki setengah baya yang otot tubuhnya bertonjolan itu masih tetap berdiri terpaku memandang ke tengah laut
"Oh...." Kembali dia melenguh panjang, saat langit yang semula kelam terselimut awan hitam mendadak jadi terang dan sangat cerah. Bahkan sedikit pun tak ada awan yang terlihat menggantung di angkasa sana. Hujan rintik-rintik pun ikut lenyap. Semua yang terjadi saat itu benar-benar lenyap, begitu ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya di tengah laut menghilang.
"Mimpikah aku...? Benarkah itu Naga Laut?" Laki-laki setengah baya itu jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Rasanya saat itu tengah bermimpi saja. Tapi saat tubuhnya diputar, perkampungan nelayan yang ada di pesisir pantai utara ini kelihatan sunyi sekali. Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat. Semua rumah dalam keadaan tertutup, baik pintu maupun jendelanya. Dan keadaan perkampungan itu benar-benar seperti baru dilanda badai.
"Hal ini harus cepat-cepat kulaporkan pada Ki Amus," ujar laki-laki setengah baya itu berbicara pada diri sendiri. "Dia kepala desa. Jadi, harus tahu peristiwa ini lebih dulu daripada yang lain."
Bergegas laki-laki setengah baya itu melangkah dengan ayunan kaki lebar-lebar. Nafasnya langsung memburu, begitu memasuki perkampungan nelayan di pesisir pantai utara ini. Dia terus berjalan dengan langkah lebar dan cepat, walaupun tarikan nafasnya semakin tersengal.

***

"Kau tidak bergurau, Paman Ardaga?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Amus.
"Aku berani sumpah, Ki," sahut Paman Ardaga bersungguh-sungguh.
"Hm...." Ki Amus terdiam sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang. Pandangannya terus tertuju ke arah laut, dari beranda depan rumahnya.
Sedangkan laki-laki setengah baya yang tidak mengenakan baju dan tadi dipanggil Paman Ardaga itu terus memandangi wajah laki-laki tua yang menjadi kepala desa nelayan di perkampungan Pesisir Pantai Utara ini.
"Aku berani sumpah, Ki. Aku melihat sendiri. Naga Laut itu benar-benar muncul saat badai tadi," tegas Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.
"Naga Laut hanya ada dalam dongeng, Paman," kata Ki Amus, masih belum percaya terhadap cerita laki-laki setengah baya itu.
"Tapi aku benar-benar melihatnya, Ki."
"Di mana kau melihatnya?" tanya Ki Amus.
"Di pantai, Ki. Aku buru-buru pulang, karena badai itu datangnya tiba-tiba sekali. Perahu sudah kutambatkan waktu Naga Laut muncul. Ini benar-benar terjadi, Ki. Aku tidak bohong. Apalagi bermimpi," Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.
Ki Amus terdiam dengan pandangan terus ke tengah laut yang begitu indah dan cerah, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan riak gelombang laut pun terlihat sangat tenang. Tapi, tak ada seorang nelayan pun yang pergi menangkap ikan. Semua penduduk desa ini masih terlalu sibuk membenahi kerusakan rumah, akibat badai yang tadi datang tiba-tiba dan sangat aneh.
"Bagaimana keadaan perahumu?" tanya Ki Amus membelokkan pembicaraan, seakan-akan tidak ingin terus membicarakan kemunculan Naga Laut
"Rusak akibat badai tadi," sahut Paman Ardaga polos. "Tapi tidak terlalu berat."
"Sebaiknya, kau pulang saja dulu. Anak dan istrimu pasti sudah gelisah menunggu di rumah," kata Ki Amus sambil menepuk pundak warga desanya itu.
"Baik, Ki. Aku permisi," ucap Paman Ardaga.
Ki Amus hanya mengangguk saja, dan masih tetap berdiri di depan beranda rumahnya sambil memandang ke tengah laut. Sementara Paman Ardaga sudah pergi meninggalkannya, kembali ke rumahnya yang ada di ujung jalan perkampungan nelayan ini.
"Hm...," Ki Amus menggumam panjang dan perlahan. Dan sambil menghembuskan napas panjang, kepala desa itu memutar tubuhnya berbalik. Lalu, kakinya melangkah memasuki beranda depan rumahnya yang cukup luas.
Dan baru saja tubuhnya dihenyakkan di kursi, dari dalam rumah muncul seorang gadis muda yang cukup cantik. Bajunya agak ketat dan berwarna merah muda. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Ki Amus hanya melirik sedikit saja. Pandangannya kembali tertuju ke arah laut yang kelihatan tenang dan biru.
Sedangkan gadis cantik itu mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya. Hanya sebuah meja bundar dengan alas terbuat dari batu pualam putih yang membatasi mereka. Kembali Ki Amus melirik sedikit pada gadis cantik itu.
"Ayah percaya pada cerita Paman Ardaga tadi...?" Terdengar pelan suara gadis Itu, seakan-akan tidak ingin didengar orang lain.
"Kau mendengar semuanya tadi, Layung?" Ki Amus malah balik bertanya.
Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Layung itu hanya mengangguk sedikit. Dan nama gadis itu adalah Layung Sari. Pandangannya juga diarahkan lurus ke tengah laut yang kelihatan begitu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama berpaling, lalu saling bertatapan.
"Aku ke dalam dulu, Ayah," pamit Layung seraya bangkit berdiri.
Ki Amus tidak menjawab, dan hanya memandangi anak gadisnya yang berlalu masuk kembali ke dalam rumah berukuran cukup besar ini. Laki-laki tua yang juga kepala desa itu tetap duduk di kursinya, dan kembali memandang ke tengah laut. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya sekarang ini. Tapi, pandangan matanya tidak terlepas dari birunya riak gelombang Laut Utara di depan sana.
"Ki...! Ki Amus...!"
"Heh...?! Ada apa lagi ini...?"
Ki Amus langsung terlompat bangkit berdiri, saat telinganya mendengar orang berteriak-teriak memanggilnya. Saat kepalanya berpaling ke kiri, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun tengah berlari-lari menghampirinya. Bergegas Ki Amus melangkah, keluar dari dalam beranda depan rumahnya. Sebentar kemudian, mereka bertemu di tengah-tengah halaman yang sedikit berpasir.
"Ada apa, Ki Adong?" tanya Ki Amus.
"Aduh.... Tolong, Ki. Tolong aku...," tersedak suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Adong.
"Tenang.... Ada apa? Ceritakanlah yang tenang," pinta Ki Amus.
Ki Adong menarik nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat beberapa kali. Dicobanya untuk menenangkan diri, namun nafasnya masih saja tersengal. Sedangkan Ki Amus menunggu dengan sabar, sampai laki-laki tua warga desanya itu bisa tenang.
"Katakan, ada apa...?" ujar Ki Amus dengan suara lembut.
"Anakku, Ki. Anak gadisku...," suara Ki Adong masih terdengar tersendat.
"Maksudmu, si...?"
"Puspita."
"Iya, ada apa dengan Puspita?"
"Puspita hilang, Ki. Tolong aku, Ki. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi Puspita benar-benar hilang."
"Kapan kejadiannya?"
"Waktu badai, Ki."
Ki Amus langsung terdiam. Sedangkan Ki Adong terus merengek meminta pertolongan kepala desanya untuk mencari anak gadisnya yang hilang, tepat di saat badai berlangsung dan melanda perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.
"Tolong aku, Ki. Puspita anakku satu-satunya. Tidak ada lagi yang mengurusku, kalau Puspita tidak ada," rengek Ki Adong memohon.
"Baik, baik. Tenanglah. Aku akan menolong," bujuk Ki Amus mencoba menenangkan.
"Terima kasih, Ki. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongku selain kau, Ki. Tolong temukan Puspita."
Ki Amus mencoba tersenyum, tapi terasa kalau seperti dipaksakan. Ditepuknya sedikit pundak laki-laki tua yang mengenakan baju warna hitam dari kain yang sudah lusuh itu.
"Pulanglah dulu. Aku akan mengerahkan orang-orangku untuk mencari Puspita," kata Ki Amus.
"Baik, Ki. Terima kasih," ucap Ki Adong seraya membungkukkan tubuh sedikit.
"Pulanglah."
Ki Adong segera berlalu tergesa-gesa. Sedangkan Ki Amus masih tetap berdiri mematung memandangi. Dia masih tetap berdiri di tengah-tengah halaman rumahnya, walaupun Ki Adong sudah tidak terlihat lagi.
"Hhh...!"

77. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Naga LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang