Ki Amus cepat-cepat melesat, begitu Raden Banyu Samodra melompat menerjang dengan kecepatan sangat tinggi. Maka serangan pemuda tampan berpakaian mewah dari bahan sutra halus itu tidak mengenai sasaran. Tapi kegagalan serangannya malah membuat Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh, seakan-akan senang mendapat sambutan dari serangannya tadi.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Orang Tua. Tapi tahanlah seranganku berikutnya.
Hiyaaat..!"
"Hait!"
Ki Amus segera memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Namun, dia jadi terkejut dan cepat-cepat melompat ke belakang beberapa langkah, saat merasakan adanya hembusan angin berhawa panas menyengat dari sambaran pukulan lawan.
"Hap!" Kepala desa itu segera melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Sementara, Raden Banyu Samodra sudah bersiap hendak menghadang lagi. Jelas kalau dari sikapnya, pemuda itu meremehkan kemampuan kepala desa itu. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Bahkan pandangannya sedikit pun tidak berkedip, lurus ke bola mata laki-laki tua yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyu Samodra tiba-tiba saja melesat tinggi ke udara. Dan bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kedua tangan terkembang seperti sayap seekor burung yang hendak menghantam mangsa. Begitu cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Amus jadi terperangah sesat.
"Hap!" Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Ki Amus melompat ke belakang. Maka serangan pemuda tampan itu dapat dihindarinya. Dan tepat di saat Raden Banyu Samodra baru menjejakkan kaki di tanah, Ki Amus sudah memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Hampir saja tendangan Ki Amus menghantam dada. Untungnya, Raden Banyu Samodra cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Lalu sambil menggeser kaki ke samping, tubuhnya meliuk seraya melepaskan satu sodokan cepat terarah ke perut laki-laki tua kepala desa itu.
"Hih!"
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk menghindari sodokan tangan kiri lawan. Maka dengan cepat tangan kanannya dikebutkan untuk menangkis sodokan yang sangat cepat dan terarah ke perutnya. Hingga tak pelak lagi, dua tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun beradu tepat didepan perut Ki Amus.
Plak!"
"Ikh...!"
Ki Amus jadi terpekik kecil, begitu tangannya beradu dengan tangan Raden Banyu Samodra. Saat itu juga tulang-tulang tangannya terasa bagaikan remuk terhantam besi baja yang sangat keras. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sambil memegangi tangan kirinya dengan tangan kanan. Namun pada saat itu, Raden Banyu Samodra sudah memberi serangan kembali yang tidak kalah dahsyatnya.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Raden Banyu Samodra, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Ki Amus terpekik agak tertahan, begitu dadanya terhantam pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras pukulan itu, sehingga membuat tubuh Ki Amus terpental sejauh dua batang tombak.
Brak!
Tubuh tua itu baru berhenti meluncur setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar batangnya, hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaat...!" Rupanya, Raden Banyu Samodra tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki tua kepala desa itu untuk dapat melihat matahari esok pagi. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, seraya melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun belum juga pukulan mematikan itu mendarat di tubuh Ki Amus, mendadak saja....
Slap!
"Heh...?!
Utfs...!"
Raden Banyu Samodra segera melenting dan berputar ke belakang, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan memapak arus serangannya terhadap Ki Amus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tampak seorang gadis berwajah cantik berbaju ketat warna merah muda sudah berdiri menghadang di depan laki-laki tua kepala desa nelayan itu.
"Iblis pengecut...! Bisanya hanya menghadapi orang tua!" dengus gadis itu mendesis geram.
"Hhh! Rupanya ada juga gadis cantik berkepandaian tinggi di desa ini," dengus Raden Banyu Samodra begitu rasa terkejutnya hilang dari dadanya. Saat itu, Ki Amus sudah bisa bangkit berdiri. Lalu, dihampirinya gadis cantik berpakaian ketat berwarna merah muda itu. Dia berdiri di sebelah kanannya. Dan begitu melihat wajah cantik yang telah menyelamatkan nyawanya, Ki Amus jadi kaget setengah mati.
"Layung...," desis Ki Amus perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Belum juga gadis cantik yang ternyata Layung Sari bisa membuka mulutnya untuk menghilangkan keterkejutan kepala desa itu, Raden Banyu Samodra segera bergerak menghampiri. Kakinya menggeser, menyusuri tanah berpasir putih di halaman depan rumah Ki Amus yang sangat luas ini.
"Jangan banyak omong! Pergi kau dari sini, atau kepalamu ingin pecah!" bentak Layung Sari langsung kasar.
"Wueh...! Galak juga kau rupanya, Cah Ayu...."
Saat itu, Ki Amus sudah berada di samping putrinya. Ditariknya tangan Layung Sari hingga gadis itu tertarik ke belakang dua langkah.
"Jangan layani dia, Layung. Biar aku saja yang mengusirnya," kata Ki Amus setengah berbisik.
"Orang kurang ajar seperti dia harus diberi sedikit pelajaran, Ayah," suara Layung Sari terdengar agak menyentak.
"Sudah, kau minggir sana!" perintah Ki Amus.
Layung Sari hendak membantah, tapi Ki Amus sudah melangkah ke depan sambil mendorong tubuhnya. Maka terpaksa gadis itu harus menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.
Sementara, Raden Banyu Samodra masih kelihatan tenang dengan sikap meremehkan. Sedikit pun dia tidak memandang sebelah mata laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Layung Sari sudah begitu gemas melihat kecongkakan pemuda tampan yang baru pertama kali ini dilihatnya.
"Sudahlah, Orang Tua. Jangan paksakan dirimu lagi. Kalau aku mau, dengan mudah batang lehermu bisa kupatahkan," kata Raden Banyu Samodra merendahkan.
"Anak Muda, kuperintahkan sekali lagi. Kalau kau tidak segera angkat kaki dari sini, semua orang di desa ini bisa merancahmu jadi daging cincang!" ancam Ki Amus tidak main-main lagi.
"He he he...!" tapi Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh. Sama sekali pemuda itu tidak gentar mendengar ancaman Ki Amus tadi. Bahkan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati laki-laki tua kepala desa itu. Sedikit matanya melirik Layung Sari. Senyumnya terkembang melihat kecantikan gadis itu. Tapi, Layung Sari Malah menyemburkan ludahnya dengan wajah memerah berang.
"Anak gadismu cantik sekali, Orang Tua. Rasanya dia pantas mendampingiku di istana," kata Raden Banyu Samodra sambil memandang wajah cantik Layung Sari.
"Keparat...!" desis Layung Sari, menggeram.
"Kata-katamu semakin kurang ajar saja, Anak Muda. Jangan memaksaku bertindak lebih kasar lagi padamu," desis Ki Amus langsung menggelegak amarahnya.
"He he he...," Raden Banyu Samodra hanya terkekeh saja mendengar kata-kata kasar bernada marah itu.
Sedangkan Ki Amus sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap kurang ajar pemuda asing ini. Sementara, Layung Sari sudah menggenggam gagang pedang di pinggang, walaupun masih belum mencabutnya. Wajah gadis itu kelihatan memerah menahan amarah yang sudah meluap-luap dalam dada.
Sementara, pertengkaran yang terjadi sudah menarik perhatian seluruh penduduk di desa nelayan Pesisir Pantai Utara. Sekitar halaman rumah Ki Amus yang cukup luas, sudah hampir dipadati penduduk desa. Mereka semua memandang geram pada Raden Banyu Samodra. Tapi, yang dipandangi malah tersenyum dan terkekeh kecil. Dia benar-benar tidak memandang sedikit pun, walau keadaannya bisa dikatakan sudah terkepung.
"Ki Amus! Aku akan mengadakan perjanjian denganmu," kata Raden Banyu Samodra agak lantang suaranya. Sehingga, bisa terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di sekitar halaman rumah kepala desa ini.
"Hm, perjanjian apa?" Tanya Ki Amus agak sinis.
"Aku akan menantang kau dan anak gadismu. Tapi dengan satu perjanjian yang adil," kata Raden Banyu Samodra menawarkan.
Ki Amus berpaling sedikit ke belakang, memandang Layung Sari. Sedangkan gadis itu hanya diam saja. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju lurus ke bola mata Raden Samodra. Perlahan Ki Amus kembali memalingkan wajahnya, dan menatap pemuda tampan yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya.
"Katakan, apa perjanjianmu?" dengus Ki Amus tegas.
"Kau dan anak gadismu boleh bertarung melawanku bersamaan. Tapi kalau kalian kalah, desa ini ada di bawah kekuasaanku. Dan kalau aku kalah, desa ini aman dari gangguan siapa pun juga. Aku akan menjaga desa ini, walaupun tidak tinggal di sini. Bagaimana...?"
Ki Amus tidak langsung menjawab. Kembali dipandangnya Layung Sari. Dan pandangannya beralih pada deretan orang tua yang ada di belakang gadis itu. Tatapan matanya terpaku pada Paman Ardaga beberapa saat lamanya. Permintaan Raden Banyu Samodra yang diucapkan lantang, terdengar jelas sekali oleh semua orang yang ada di sekitar halaman rumah kepala desa itu.
Cukup lama juga Ki Amus mempertimbangkan permintaan perjanjian Raden Banyu Samodra. Dan tampaknya, semua orang menyerahkan segala keputusan padanya. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Tapi dari sorot mata, mereka mengharapkan Ki Amus dapat mengalahkan pemuda congkak itu. Walaupun, tanpa dibantu anak gadisnya yang memang memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Malah, tak ada seorang pun pemuda di desa ini yang berani mendekatinya.
"Bagaimana, Ki Amus...?" Tanya Raden Banyu Samodra tidak sabar lagi menunggu.
"Baik! Tantanganmu kuterima," sahut Ki Amus tegas.
"Ha ha ha...!" Raden Banyu Samodra tertawa terbahak-bahak.
Semua orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu segera menyingkir menjauh. Sedangkan Layung Sari sudah berada sekitar lima langkah di sebelah kanan ayahnya. Sementara, Raden Banyu Samodra menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Tapi di dalam pandangan semua orang, senyuman itu merupakan seringai iblis yang akan menghancurkan desa di Pesisir Pantai Utara ini.
"Bersiaplah, Ki," ujar Raden Banyu Samodra kalem.
"Hm...," Ki Amus hanya menggumam kecil.
"Kau boleh menyerang lebih dulu, Cah Ayu," kata Raden Banyu Samodra sambil menatap Layung Sari.
"Phuih!" Layung Sari menyemburkan ludahnya sengit. Kaki gadis itu langsung bergerak mantap, menyusuri tanah berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam tanpa berkedip sedikit pun, bagai hendak melahap bulat-bulat seluruh tubuh pemuda tampan dan congkak itu. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangkanya yang tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!" Bet!
Sambil berteriak nyaring, Layung Sari melompat begitu cepat sambil membabatkan pedangnya yang diarahkan langsung ke leher Raden Banyu Samodra. Semua orang yang melihat, seketika itu juga menahan nafasnya. Terlebih lagi, Raden Banyu Samodra seperti tidak berusaha menghindari sabetan pedang yang berkilatan tajam itu.
"Hhh!" Tapi begitu mata pedang yang berkilat hampir saja memenggal batang lehernya, mendadak saja Raden Banyu Samodra menarik kepalanya ke belakang dengan gerakan manis sekali. Dan begitu ujung pedang Layung Sari lewat didepan tenggorokan, cepat sekali kedua telapak tangannya diayunkan. Hingga...
Tap! "Heh...?!"
Layung Sari jadi terkejut setengah mati, begitu ujung mata pedangnya terjepit di antara kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra. Cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk menarik pedangnya dari jepitan kedua telapak tangan itu. Tapi sungguh sulit dipercaya, ternyata pedangnya sedikit pun tidak bergeming dari jepitan kedua telapak tangan pemuda itu.
"Yeaaah...?!" Namun pada saat itu, Ki Amus sudah melompat cepat sekali sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Pukulannya langsung diarahkan ke kepala Raden Banyu Samodra.
"Utfs!" Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Raden Banyu Samodra bisa menghindari serangan laki-laki tua kepala desa itu. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke samping, tepat terarah pada Ki Amus. Dan tindakan itu tentu saja membuat Ki Amus jadi terbeliak. Terlebih lagi Layung Sari.
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Ki Amus melenting ke udara, menghindari terjangan pedang Layung Sari yang sudah tidak terkendali lagi setelah dihentakkan Raden Banyu Samodra. Dan saat itu juga, Layung Sari mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Cepat pedangnya dikebutkan ke bawah, hingga lewat di bawah telapak kaki Ki Amus.
"Hup!"
Layung Sari bergegas melompat ke belakang beberapa tindak jauhnya. Sementara, Ki Amus berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berpasir putih. Sedangkan Raden Banyu Samodra tampak berdiri tegak dengan kedua tangan tepat didepan dada. Bibirnya terus menyunggingkan senyum.
"Kau serang dia dari bawah, Layung," kata Ki Amus agak berbisik perlahan. Layung Sari cepat mengangguk. Dan....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Layung Sari kembali melompat menghampiri Raden Banyu Samodra. Dan begitu kakinya menjejak tanah berpasir putih, bagaikan kilat pedangnya dikebutkan ke arah kaki pemuda itu.
"Hup!"
Raden Banyu Samodra cepat-cepat melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah ke kakinya. Tapi begitu berada di udara, Ki Amus sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada.
"Hap!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali, ternyata Raden Banyu Samodra tidak berusaha menghindari sedikit pun juga. Bahkan memapak pukulan kepala desa itu dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan. Hingga tak pelak lagi, dua tangan berkekuatan tenaga dalam tinggi beradu.
Plak!
"Akh...!"
"Ayah...!" jerit Layung Sari terperanjat.
Cepat-cepat gadis itu menghambur, begitu melihat ayahnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Seketika dari mulut orang tua itu keluar darah kental berwarna agak kehitaman. Ki Amus berusaha bangkit berdiri, tapi saat itu juga seluruh tubuhnya terasa jadi lemas seperti tidak memiliki tulang-tulang lagi. Seluruh tenaganya seketika itu juga seperti lenyap.
"Ayah...." Layung Sari berusaha membantu ayahnya berdiri.
Tapi, Ki Amus memang tidak sanggup lagi berdiri. Sedangkan darah semakin banyak saja keluar dari mulutnya. Hal ini tentu saja membuat Layung Sari jadi kalang kabut. Seketika mulutnya mendesis geram begitu sorot matanya tertumbuk pada Raden Banyu Samodra yang tengah tertawa terkekeh, setelah berhasil menjatuhkan satu orang lawan.
"Setan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Layung Sari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Seperti seekor singa betina yang kehilangan anaknya, langsung diserangnya pemuda tampan yang baru sekali ini datang ke desa nelayan itu. Bagaikan kilat, Layung Sari mengebutkan pedangnya beberapa kali, bagai hendak merancah tubuh lawan.
"Haiiit...!"
Tapi dengan gerakan-gerakan indah dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra berhasil menghindarinya. Dan tampaknya, dia seperti sengaja mempermainkan, sehingga membuat Layung Sari semakin dihinggapi perasaan marah. Semua serangannya satu pun tidak ada yang berhasil mengenai sasaran.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Layung Sari semakin memperhebat serangan-serangannya. Semua kebutan pedangnya mengandung penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi. Hingga setiap berkelebat, selalu menimbulkan desiran angin yang dapat membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung ciut.
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Layung Sari melompat ke atas. Pedangnya langsung dibabatkan ke arah kepala Raden Banyu Samodra dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hap!"
Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata Raden Banyu Samodra bukannya berusaha berkelit menghindar. Bahkan malah ikut melompat dan tiba-tiba sekali tangan kirinya mengibas cepat. Tahu-tahu, kini ujung pedang Layung Sari sudah terjepit di antara dua jemari tangan pemuda itu.
"Ikh...!"
Layung Sari cepat berusaha mencabut pedangnya dari jepitan dua jemari tangan itu, tapi sedikit pun tidak bergeming. Apalagi terlepas. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras yang begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepat pukulannya, sehingga Layung Sari tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terlebih lagi, seluruh perhatiannya tengah tertumpah pada pedangnya yang terjepit di antara dua jari tangan pemuda itu. Hingga tak pelak lagi, pukulan Raden Banyu Samodra tepat menghantam dadanya.
Des!
"Akh...!"
Layung Sari terpekik agak tertahan. Seketika, tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan pedangnya tidak dapat lagi dipertahankan, hingga terlepas dari genggaman. Gadis itu juga kontan jatuh terjerembab cukup keras. Dan pada saat hendak bangkit berdiri, tahu-tahu Raden Banyu Samodra sudah berdiri dekat. Seketika ujung pedang di tangannya ditempelkan tepat di tenggorokan Layung Sari.
"Kau kalah, Manis," ujar Raden Banyu Samodra sambil tersenyum menyeringai lebar.
"Phuih!"
Layung Sari menyemburkan ludahnya.
"He he he...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
77. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Naga Laut
ActionSerial ke 77. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.