SATU

35 4 1
                                    


"Bi, bangun!"

Bia mengerang halus, geli menggelitik telinga mengganggu mimpi indahnya. Semalam jatah tidurnya hanya 2 jam menjelang subuh. Jadilah pagi ini ia tidur sampai hampir menjelang siang. Sebetulnya dia sudah terjaga sejak tadi, tapi terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidur.

"Bi," aroma maskulin bercampur mint menggoda inda penciumannya. Tapi Bia terlalu gengsi untuk membuka mata.

"Atau ... kamu mau aku bangunin pake cara yang lain?" suara serak itu berbisik jahil.

Bulu kuduk Bia meremang, ia mengubur wajahnya lebih dalam. "Nggak! Kamu keluar dulu sana!" suaranya teredam selimut tebal.

"Masih malu aja, udah hafal semua kali Bi,"

Sekelebat sosok tampan dengan sorot lembut yang mengungkungnya semalam membuat pipinya terasa panas. Jantungnya berdebar tak tau malu. Mendadak seluruh pasokan oksigen di sekitarnya menipis. Namun kasur yang tiba-tiba bergerak membuat rekaman adegan tak senonoh dalam fikirannya buyar seketika.

Bia melotot, "Apa sih! Kara, keluar nggak!?" nyaris saja jantungnya loncat gara-gara Kara yang mendadak masuk ke dalam selimut lalu tanpa aba-aba memeluk tubuh polosnya.

Tapi dengan kurang ajarnya Kara malah merapatkan tubuhnya hingga wajah mereka saling beradu. Hawa panas seketika menjalar dari ujung kaki sampai kepala, membuat seluruh permukaan wajah Bia merah seperti kepiting rebus.

Bia tidak tahan, sungguh, "Kara, please!" wajah merahnya memelas.

Kara menatapnya dengan sorot mata jahil, "... 'tolong' apa?" tanyanya ambigu.

Kesal, Bia mendorong wajah ganteng itu. Ia beringsut, menarik selimut lalu membungkus tubuhnya seperti kepompong. Bukannya kapok Kara malah tergelak. Suara pintu kamar mandi yang dibanting keras membuat suara tawanya semakin kencang.

"Bi, perlu aku mandiin nggak?!" ia berteriak usil.

"NGGAK!" Bia membalas sewot dari balik kamar mandi.

Tawa Kara semakin pecah. Tidak perlu merasa bertanggung jawab pada kesehatan jantung dan hati Bia yang ia buat jumpalitan.

**

Harum mawar menguar terbawa angin saat Bia keluar dari kamar dengan setelan pakaian sederhana. Celana panjang dan kaos dengan motif kartun membalut tubuh mungilnya. Rambut sebahunya yang lembab ia gerai, membingkai wajah polos tanpa make-up yang saat ini terlihat jauh lebih segar. Demi tuhan, terkadang Bia merasa lelah dengan pemandangan yang harus ia saksikan setiap hari. Bagaimana tidak, dengan sweter biru langit dan celana panjang berwarna putih, ditambah back round sinar matahari yang menyorot dari balik jendela apartemen tempatnya berdiri, Kara lebih tampak seperti model iklan dengan sebuah kotak susu kemasan rasa coklat di tangannya.

"Bi, kamu mau pesen apa?" Kara berujar dari balik ponsel pintarnya, tanpa perlu repot-repot memastikan keberadaan istrinya.

Bia membuang nafas, "asal jangan nasi ketan yang dikasih ikan mentah aja."

Kemarin Bia hampir saja dikira hamil oleh ibu mertua yang datang berkunjung ke apartemen mereka, gara-gara ia auto mual dan muntah setelah makan sushi yang dipesan Kara untuk menu makan siang. Bia bersumpah, jika pecel lele pinggir jalan yang harganya nggak sampai 30 ribu itu lebih layak disebut makanan. Mau bagaimana lagi, sejak kecil perut Bia sudah terbiasa dicekoki makanan nusantara oleh emak, jadilah lambungnya terlalu berharga untuk mengolah makanan yang bahkan disajikan tanpa dimasak terlebih dahulu. Alias mentah.

Kara menyembunyikan senyum geli dengan menyedot susu kotaknya. "Jadi, kamu mau aku pesenin apa? Salted egge chiken atau..."

INSECURE (Story About CEO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang