SEMBILAN

12 2 1
                                    

Pandangan Bia menerawang pada langit-langit kamarnya. Dongkol dalam hatinya masih bercokol pada suami cloningan-nya Soong Jong Ki itu. Bagaimana tidak, tadi sore Bia baru saja keluar dari lobi saat melihat sekumpulan kaum berpakaian rok mini memekik heboh di depan kantor. Saat ditelusuri ternyata penyebabnya tak lain adalah suaminya sendiri. Kontan membuat Bia melotot menyaksikan gaya super manly Kara yang bersender di depan kap mobil dengan satu tangan menggenggam ponsel di telinga. Sinar matahari sore yang menyorot membuat siapapun yang melihat sosoknya rela menghentikan waktu untuk sekedar menatapnya lebih lama. Dengan langkah gusar, Bia menghampiri Kara, dan memutus kontak sepihak itu dengan menyeret suaminya ke dalam mobil. Tak peduli pada protesan para wanita di ujung sana, juga Kara yang terheran-heran dengan sikap agresif istrinya.

"Aku cuma nerima telepon, Bi. Kelamaan di dalem mobil sumpek."

Begitulah kurang lebih alasan Kara.

Bia menampik jika dirinya cemburu. Sedikit sih. Dirinya hanya merasa jika punya kewajiban untuk melindungi privasi rumah tangganya. Bia tidak suka saja ada orang lain yang memuja suaminya selain 'hatinya' --karena mulutnya memang terlalu gengsi untuk mengutarakan itu semua.

Tempat tidurnya terasa lebih luas sekarang, sebab pria itu sudah hengkang sejak sore tadi tanpa perlu Bia usir. Bia perlu bersyukur karena suasana hatinya memang sedang tidak baik sejak tadi siang, mungkin juga karena pengaruh dari siklus bulanannya.

Matanya masih terpaku pada dua ekor cicak yang sedang bekejaran saat pintu kamarnya di buka. Matanya melirik sekilas, lantas tanpa aba-aba Lili menghambur ke dalam pelukannnya sampai membuat Bia hampir kekurangan napas.

"GUE KANGEN, JELEK!" Lili berteriak nyaring tanpa melepaskan dekapannya.

Mulut Bia megap-megap, sebisa mungkin meraup oksigen, matanya sempat mendelik tak suka mendengar kata 'jelek' terlontar dari mulut sahabatnya.

"Li udah woy! Lo bisa kena gorok Kara kalau istri kesayangannya mati di tangan lo." Iim menarik Lili menjauh, namun sedetik kemudian giliran dirinya lah yang merangkul Bia.

"Kangen ...," Iim melepas pelukannnya mencubit kedua pipi Bia, "muka lo makin bulet aja, Bi."

"Apa, sih!" mood Bia yang sensitif jelas merasa tersinggung.

Iim nyengir, "tapi cantik kok!"

"Eh, suami lo kemana?" Iim bertanya saat menyadari jika sejak kedatangannya ke rumah Bia belum melihat jejak cowok ganteng itu.

"Gue usir!" Bia menjawab ketus, lantas telungkup di atas bantal saat merasakan perutnya mulai terasa melilit.

Iim membuang napas, "pada kenapa lagi, sih?" ujarnya tak habis fikir, "kemarin si tralala-trili, sekarang lo."

Lili yang sedang mengobrak-abrik meja rias melirik sekilas lalu kembali sibuk berkutat dengan peralatan make-up.

"Gue kesel sama muka ganteng dia!" Bia menambahkan.

"Lah," alis Iim bertaut heran, "maksudnya?"

Bia mengerung menahan kram yang semakin mencengkram. "Udah deh, nggak usah bahas dia dulu! Perut gue mules."

Iim memutar bola matanya, membuang napas menyerah. Lantas ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Hidungnya sempat berkerut tak nyaman kala samar-samar mencium wangi parfum maskulin, namun tidak lama, sebab ia baru ingat jika sahabatnya memang sudah menikah. Terakhir kali ia tidur di kasur ini adalah saat malam sebelum pernikahan Bia.

"Eh, Bi. Ini blush-on buat gue aja ya?" tiba-tiba Lili menyela mengangkat benda tipis berbentuk persegi.

"Mental miskin banget lo! Kayak orang nggak mampu!" Iim menukas pedas. Untung saja hati Lili sudah kebal mendengar segala caci-maki dari teman bermulut cabe seperti Iim.

"Ya elah. Lagian, beli make-up kok nggak pernah di pake, sih, Bi?" Lili malah melempar tudingan pada Bia.

Bia yang sedang meringkuk menahan sakit menyahut. "Ribet!"

Lili mengulas senyum kecut, "nggak dangdan juga lo mah udah dapet suami ganteng. Gue? Udah cantik maksimal, tapi tetap aja masih ada yang manfaatin." Lili malah curhat.

Dahi Bia berkerut, rasa penasaran mendorongnya untuk bangkit, "emang siapa yang berani manfaatin lo?"

Lili menghela nafas lesu, ia memutar tubuhnya hingga mengahadap cermin. Lalu meringis saat melihat pantulan wajahnya, matanya yang sipit jadi tampak semakin kecil, ada garis hitam di bawahnya, juga beberapa jerawat yang tiba-tiba nangkring di bagian dagu dan juga kening. "Gue jadi pelarian suami orang." Ungkapnya kemudian.

"Kalau cerita jangan setengah-setengah, otak gue lagi males dipake buat mikir!" tukas Bia.

"Waktu itu gue pulang sembahyang... " Lili memulai cerita.

"... Gue ketemu sama cowok namanya Jojo, dia nggak sengaja nemuin dompet gue yang jatuh, terus dibalikin." Lili melanjutkan setelah mengambil napas untuk meredakan sesak di dada saat harus kembali mengingat memori tersebut. "Terus ya gitu, kita kenalan, lama-lama deket terus nggak berapa lama pacaran. Gue suka sama sifat dia yang baik, humoris dan selalu bisa bikin hari-hari gue yang sepi jadi penuh tawa."

"Klise banget." celetuk Iim tiba-tiba.

Lili kembali melanjutkan mengabaikan ke-sinisan Iim. "Tapi beberapa minggu kemudian, ada perempuan yang datang ke rumah gue, terus dia ngaku-ngaku istrinya Jojo ---"

"Parjo." Iim mengintrupsi.

Bia membuang napas jengah, "bisa diem dulu nggak, Im!"

"Iya, sorry." Iim berujar ringan, "sok mangga lanjutkan!"

"Jadi intinya, setelah ditelusuri ternyata emang si Parjo itu udah punya istri, punya anak pula." Lili bertutur menahan geram. "Dan lo tau alasan si Parjo itu deketin gue? Dia bilang bosen sama istrinya yang kucel dan nggak pernah dangdan lagi semenjak punya anak. Gila kan!"

Butuh beberapa menit bagi sel otaknya untuk meresap informasi. Bukannya fakta tentang Lili  dikhianati yang membuat dahi Bia berkerut sangat dalam, tapi justru garis besar penyebab Parjo mendekati Lili lah yang membuat fikirannya mendadak cemas.

Kali ini Bia harus mengakui jika Lili itu memang dianugerahi wajah yang cantik. Memiliki wajah oriental, dan kulit seputih susu, membuat dia terlihat paling menonjol diantara mereka semua yang asli keturunan lokal. Pantas saja jika banyak kaum laki-laki yang mengincar dirinya, bukan hanya dari segi fisik tapi juga dari segi materi. Sayang, justru karena kelebihannya itu ia jadi sulit menemukan orang yang tulus tanpa memandang statusnya.

Namun bukan itu yang tiba-tiba mengganggu fikiran Bia. Kenyataan jika Parjo laki-laki biasa --otak Bia dengan cepat menyimpulkan dari bentuk namanya--saja yang sudah punya istri dan anak berani bermain api hanya karena alasan istrinya jelek, bagaimana nasib Bia yang punya suami seganteng aktor drama korea, sedangkan dirinya bahkan belum punya anak saja mukanya memang sudah pas-pasan. Bia terus memikirkan hal ini berulang-ulang, sampai ke-2 temannya heran melihat ia mendadak diam.

"Lo nggak lagi mikirin gimana caranya ngubur si Parjo hidup-hidup kan, Bi?"

Pertanyaan Lili membuyarkan segala macam hasutan setan dalam fikirannya. "Apa?" tanyanya datar.

"Ya, kali aja lo mau nyuruh suami lo yang tajir itu buat nyewa pembunuh bayaran," Lili berujar santai.

Bia mendelik, "please deh! kurangin tuh baca cerita-cerita psycopat!"

Iim yang sejak tadi hanya jadi pendengar langsung terbahak.

**




26 feb 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INSECURE (Story About CEO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang