LIMA

13 2 0
                                    

Langit senja yang memantul dari kaca jendela kamar sepenuhnya sudah memudar saat Bia keluar dari kamar mandi. Tampaknya matahari telah beranjak ke peraduan dan digantikan redupnya cahaya menjelang malam.

Bia berjalan menuju tepi ranjang sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, lantas tiba-tiba berhenti saat melintasi cermin dan melihat sekilas refleksi dirinya di dalam sana. Ia mengerenyit, lalu entah mendapat dorongan dari mana ia berjalan menghampiri bayangannya sendiri. Matanya memindai sosok itu yang mengenakan sweter kebesaran dan juga celana panjang longgar. Bia memutar tubuhnya, melihat pantulan dirinya pada bagian-bagian yang seharusnya terlihat menonjol. Lantas membuang nafas kecewa karena ternyata ia baru sadar jika bentuk tubuhnya jauh dari kata ideal.

Tak mau ambil pusing, ia mengambil ponsel lalu menekan salah satu nomor dalam kontak telepon.

"KEMANA AJA LO!?"

Suara nyaring di seberang sana nyaris membuat Bia menjauhkan ponselnya.

"Buset, nggak usah nge-gas juga kali, Im! Sakit kuping gue!" Bia berseru kesal.

"Sorry, sorry, gue kelepasan, soalnya di sini lagi berisik."

Bia memutar bola mata, jengah. Samar-samar telinganya menangkap bunyi alunan musik mellow diiringi suara-suara sumbang.

"Lagi di mana, sih?"

"Gue lagi di tempat karaoke, lo tau, si Lili baru aja abis mutusin cowoknya."

Dahi Bia berkerut, tidak berhasil menemukan kolerasi yang tepat antara kata 'karaoke' dan 'mutusin cowoknya'.

"Terus?"

"Bentar-bentar! Gue keluar dulu," Iim menyela di seberang sana.

Bia berjalan menuju balkon kamarnya dengan ponsel yang masih setia melekat di telinganya. Angin malam seketika menampar wajahnya, sejuk menyusup pada setiap helai rambutnya yang basah. Pandangannya menyapu langit kota jakarta, hanya ada gelap tanpa satupun bintang yang sudi bersinar. Satu-satunya hal yang dapat dikatakan indah adalah cahaya dari lampu-lampu gedung yang menyala, yang sejenak  menyembunyikan ironi kota itu di malam hari.

"Oke, sorry lama, barusan gue ke toilet dulu."

Kesadaran Bia sepenuhnya kembali saat mendengar Iim kembali berbicara, kali ini dengan suara yang terdengar lebih jelas.

"Lo kapan ke sini?" tanya Iim.

"Ngapain? gue udah resmi jadi orang Jakarta sekarang," tukas Bia asal.

"Iya-iya, tau deh yang udah jadi nyonya CEO,"

Bia terkekeh, "nggak tau, gue sih maunya juga masuk kantor lagi."

"Lo ngapain masuk kerja lagi, Bi? Itu gaji suami lo mau dikemanain!" Iim berteriak, otak realistisnya merasa tersenggol.

Bia membuang nafas. "Ini nggak ada sangkut-pautnya sama ekonomi rumah tangga gue. Tapi ini masalah passion gue, lo tau kan, bagi gue jadi seorang jurnalis itu bukan cuma sekedar pekerjaan."

"Jadi, maksudnya, lo mau hubungan jarak jauh lagi sama suami lo, gitu?" tebakan Iim tepat sasaran.

"Gue ... nggak tau," Bia berujar pelan. Lantas ia mendengar suara helaan nafas di seberang sana.

"Gini deh, Bi. Kenapa lo nggak coba nyari kerjaan baru di sana. Gue sih, realistis aja ya, dari pada harus long distant lagi sama suami lo. Emang, lo nggak kenyang apa hubungan jarak jauh terus dari zaman dulu,"

Bia memijit pelipisnya. Persoalan ini membuat kepalanya benar-benar pusing. Ia tidak bisa menampik kata-kata Iim, pun tidak bisa pula mengabaikan keinginan hatinya. Apa dia egois jika berharap dapat mempertahankan impiannya. Bia tau, sebelum memutuskan menikah dengan Kara, ia sudah sepenuhnya menerima semua resiko apapun termasuk kehilangan impian yang susah payah ia dapatkan dulu. Tapi dia tidak pernah menduga, jika menghadapi itu semua ternyata jauh terasa sulit dibandingkan saat merencanakannya.

INSECURE (Story About CEO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang