TIGA

10 4 0
                                    

Bia menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang empuk. Satu keresek penuh berisi camilan dengan logo supermarket ternama tergeletak di atas meja. Bia baru sadar jika kondisi organ tubuhnya mulai melemah. Kapan sejak terakhir kali dia berolahraga, sampai-sampai seluruh tubuhnya terasa sangat lelah, padahal ia tidak sepenuhnya berjalan kaki. Terima kasih pada fasilitas lift yang diberikan apartemen mewah milik Kara. Bia merogoh kantong belanjaanya, mencari satu kaleng soda lantas meminumnya tanpa jeda. Lengkaplah sudah penderitaan yang dirasakan organ tubuhnya.

Soong jong ki kw
Bi, kamu udah makan?

Bia tidak tau lagi harus menggambarkan seperti apa sifat suami tampannya itu. Bukannya Bia yang menanyakan hal itu pada Kara, justru suaminya yang lebih dulu mengirim pesan.

<Belum, kamu sendiri udah makan?>

Bia memainkan kaleng soda kosong ditangannya.

Soong Jong Ki kw
Nanti, aku suruh si Joko dulu beli makanan.

Bia memutar bola matanya jengah.

<Si Joko itu asisten kamu, atau babu kamu sih?>

Soong Jong ki kw
Dua-duanya :D kamu jangan lupa makan ya! jangan makan mecin terus.

Gerakan tangannya yang hampir menyuap keripik kentang terhenti. Sebelah alisnya terangkat, ia mengedikan bahu tak acuh, lantas lanjut memakan kripik kentangnya.

'Bodo amat, mumpung Kara lagi nggak ada'

**

Jika saja mengumpat di hadapan bos besarnya tidak akan berpotensi menurunkan jabatannya, sudah barang tentu sejak tadi ia menyembur Kara dengan segudang nama-nama hewan di kebun binatang. Dengan wajah merengut Joko harus rela propesinya sebagai asisten pribadi seorang CEO turun pangkat menjadi babu dadakan bosnya itu.

Dengan raut wajah ditekuk, Joko masuk ke dalam ruangan Kara sambil menenteng kantung keresek putih dengan merek sebuah restoran seafood di bilangan jakarta.

"Kenapa nggak pesen lewat gojek aja?" sehalus mungkin Joko menyampaikan keberatannya saat tiba-tiba ia mendapat titah semena-mena dari sang atasan.

"Saya maunya kamu yang beli langsung," Kara berujar santai dari atas kursi kebesarannya. Kapan lagi ia bisa nenyalah-gunakan kekuasaannya dengan melancarkan aksi keji pada asisten merangkap sahabatnya itu.

"Tapi ---"

"Tugas asisten itu memenuhi keperluan atasanya. Atau ... kamu udah nggak ada niat jadi asisten saya?"

Begitulah, dengan satu kalimat sakti yang Kara ucapkan, Joko harus rela menembus kemacetan selama hampir 1 jam demi membeli satu bungkus ikan laut.

"Silahkan pak bos," Joko berusaha menekan caci-makinya lalu meletakkan kantung keresek tersebut di atas meja Kara.

Kara mengintip dari balik laptopnya, matanya memindai penampilan Joko yang terlihat memprihatinkan. Rambutnya klimisnya agak berantakan, serta kemeja birunya yang tak lagi di masukan. Sebenarnya Kara merasa kasihan. Tapi, melihat wajah Joko yang seperti sedang menahan buang air besar membuatnya benar-benar ingin tertawa.

"Buat lo aja!"

Joko kicep. Sepenuhnya gagal paham.

"Maksudnya?"

"Lo, belum makan, kan?"

"Belum,"

"Ya udah, makan!"

"Tapi ... "

"Gue mau pulang, mau makan di rumah sama istri gue." Kara menutup laptop dan merapikan barang-barangnya.

"Lah, ini masih siang Ka," tukas Joko.

"Kerjaan gue udah selesai, semua berkas laporan udah gue tanda tangan. Gue mau pulang, kangen sama istri gue."

Kara melenggang acuh tanpa peduli pada ekspresi wajah Joko yang lebih mirip udang rebus dalam kotak makanan yang di belinya.

"Kampret!" Joko mengumpat nyaring setelah Kara menghilang dari balik pintu, sepenuhnya lupa jika ia masih berada di dalam kantor.

**

Bia sedang tiduran santai di sofa sambil scrolling akun instagramnya, ketika perutnya tiba-tiba merasakan gelembung-gelembung udara. Salahkan 5 kaleng minuman soda yang ia jejalkan ke dalam perut, hingga senyawa asam karbonik di dalam soda membuat lambungnya bereaksi demikian. Awalnya Bia tidak terlalu peduli. Tapi lama-lama gelembung itu semakin membesar dan mendesak sesuatu di bawahnya. Sebelah alisnya terangkat, lantas dengan satu kali gerakan absurd gelembung-gelembung udara itu keluar diiringi rentetan bunyi yang amat dramatis.

Bia mengusap perutnya, lega. Namun sepersekian detik kemudian dibuat terlonjak saat mendengar seseorang mengetuk pintu apartemennya. Bia mengendus udara dan mengibaskan tangannya, berharap tidak ada zat dari gas beracun yang masih tersisa. Ia berjalan ke arah pintu dan dibuat terkejut untuk yang kedua kalinya saat melihat Kara berdiri di depan pintu dengan sebelah tangan bertumpu pada kosen pintu. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi dahi, ada bulir-bulir keringat yang muncul dari pelipisnya. Dengan kondisi yang seperti itu, tentu saja sukses membuat Bia meneguk ludah.

"Assalamualaikum, sayang," Kara berujar sambil melenggang masuk ke dalam apartemen. Hidungnya sempat berkerut mencium sesuatu, namun Bia yang menyadari itu segera menghampiri Kara lantas pura-pura membantunya melepaskan dasi.

"Cie, sweet banget, sih," Kara cengengesan.

"Kok, udah pulang? katanya kamu lembur?"

"Kangen sama istri,"

"Dih, alasan!"

"Serius, sayang."

Tanpa tedeng aling-aling, Kara mendekap Bia dengan erat. Kontan membuat Bia seketika meronta-ronta.

"Apa, sih Ka! lepasin nggak! bau keringet tau!" Bia berseru dalam kungkungan dada bidang Kara. Meskipun ia berani bersumpah, jika Kara tidak bau sama sekali.

Tak mau kalah, dengan kurang ajarnya Kara menciumi pipi Bia sampai puas.

"Mwah ... mwah ... mwah ..."

"Kara! Jorok ih!" Bia berteriak sambil mengusap-ngusap pipinya yang basah.

Begitu ada celah, dengan gerakan gesit Bia berhasil keluar dari kungkungan Kara.

"Mandi dulu sana!"

Kara tergelak, tawanya membahana di seluruh ruang apartemen. Sementara Bia ancang-ancang memgambil vas bunga di atas meja.

"Iya-iya, ampun!" Kara mengangkat tangan, lantas kabur ke dalam kamar.

Bia menaruh kembali vas bunga tadi dengan tangan bergetar. Ia berkacak pinggang sembari meredam degup jantungnya yang tak keruan.

**


18 feb 2020


INSECURE (Story About CEO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang