Jejak Hidup

67 16 0
                                    


"Hal yang sekarang gue tahu tentang hidup adalah, gue harus nikmati dan selalu bersyukur atas apa pun yang terjadi. Ntah itu suka ataupun duka."

✓Zelbin✓

"Mama... jangan tinggalkan Zeze. Zeze enggak mau sendiri di sini, Zeze mau ikut," ucap Zelbin, mengigau.

"Zel... lo kenapa? Bangun, hey!" Alvaro mencoba menggoyangkan tubuh Zelbin berniat menyadarkan.

Akhirnya gadis berdarah Jawa dan Betawi itu membuka matanya perlahan. Menatap lingkungan sekitarnya yang sama sekali tidak ada papa ataupun mama-nya.

"Lo mimpi apa? Sampai air mata lo keluar," tanya Al. "Gue yakin itu mimpi buruk, ya?"

Zelbin yang masih terisak, dia hanya bisa mengangguk, "gue mimpi masih kumpul bareng sama papa dan mama. Pas gue ngobrol bareng, tiba-tiba ada orang yang datang gedor-gedor. Gue enggak tahu itu siapa, mama hanya nyuruh gue buat pergi dan selamatkan diri. Setelah gue kabur dan pergi menjauh dari rumah, mimpi itu enggak berkelanjutan, yang ada hanya bayang-bayang hitam bercampur bercak darah."

"Emang orang tua lo udah pergi? Sorry, maksudnya udah meninggal?" Zelbin mengangguk lagi.

"Setelah umur gue 15 tahun, gue mencoba buat pulang ke rumah. Gue tanya tetangga yang sekiranya dulu gue anggap saudara, mereka bilang kedua orang tua gue udah meninggal dengan tragis. Mereka dibunuh sama seorang komplotan, dan katanya itu seorang mafia yang sangat kejam.

"Mereka juga bercerita, kedua orang tua gue ditemukan dengan keadaan seluruh badan terpisah. Mata yang hancur, jantung yang tergeletak sembarang, kepala yang berlubang akibat tertusuk, dan lebih parahnya tubuh papa gue, semuanya hancur lebur, seperti tergiling.

"Gue berjanji sama diri gue sendiri bahwa gue akan mencari tahu siapa yang udah bunuh papa dan mama. Walaupun mereka udah mau meminta maaf dan bertekuk lutut di hadapan gue sambil nangis-nangis, gue enggak akan maafkan," ucap Zelbin, sembari terisak dan mengepalkan tangannya.

Alvaro hanya diam mematung. Kejadian itu mengingatkan kepada ayahnya, mengapa kejadian itu hampir mirip dengan kejadian yang ayahnya lakukan. Alvaro tetap berpikir jernih, bahwa yang membunuh kedua orang tua Zelbin bukan ayahnya, bisa saja mafia lain.

"Gue turut berduka atas semua permasalahan yang lo alami, Zel. Gue yakin kedua orang tua lo udah tenang di sana, mereka juga mengharapkan bahwa sekarang lo harus lebih semangat lagi menjalani hidup. Soal siapa yang bunuh, pasti semuanya udah ada skenarionya, yang lama kelamaan pasti akan terbongkar," kata Al, menyemangati.

****

Senyap dan sunyi terasa di lorong sekolah malam hari. Terdengar suara bertapak tapi tidak ada siapa pun yang melintas. Ada sedikit tetesan darah yang terasa di tangan Serita. Lantai putih kini berubah warna menjadi darah segar dan beraroma anyir.

"Ko... di sini ada tetesan darah, ada darah juga di lantainya." Dia berjongkok mengusap darah yang ada di lantai. Menciumnya. Kemudian mengelapnya lagi dengan sarung tangan yang selalu dia bawa.

"Tolong... makamkan jasadku...."

Suara berat seperti lelaki yang pernah dia ajak bicara ketika masa perkenalan sekolah. "Tolong bawa dan urus jasadku...." Suara itu semakin mendekat.

Dengan tangan yang gemetar, Serita mencoba berlari kencang. Tetapi, tetap saja suara itu semakin mendekat bukan menjauh.

Bruk!

Dia menabrak tubuh kekar dan aroma yang dia kenal.

"Lo kenapa malam-malam gini masih berkeliaran di sekolah? Bahaya." Ya itu suara Devano, sembari mengambil tas ranselnya yang terjatuh.

"Eum... anu, gue mau ambil buku yang ketinggalan di meja. Bukunya penting buat besok ujian," jawab Serita.

Devano hanya mengangguk, kemudian membereskan rambut Serita yang sedikit berantakan. "Gue temani, di sini bahaya kalau malam. Lo belum lihat kejadian aneh, kan?" tanyanya.

"Ta-tadi ada yang aneh. Tangan gue kena tetesan darah. Lantai di lorong penghantar gudang juga ada bercak darah, terus aromanya anyir. Yang paling bikin gue takut, ada suara minta tolong, katanya tolong makamkan jasadnya. Ya sudah, gue lari eh malah ketemu lo di sini." Serita masih merasa takut dan ganjal akibat kejadian tadi. Suara orang yang meminta tolong juga sepertinya dia mengenalnya. Tapi mungkin ini hanyalah ilusi.

"Kan gue bilang apa. Ya sudah, gue antar lo buat ambil bukunya." Serita mengangguk dan jalan lebih dulu dibandingkan Devano yang membuntutinya dari belakang.

****

Kamar yang bernuansa merah bercampur hitam menjadi warna kegemaran Zelbin dari dulu. Dia sedang merehatkan tubuhnya sebentar. Memeluk bingkai yang berisi foto dirinya masih kecil yang sedang dipeluk oleh papa-nya. Lagi dan lagi, air matanya tumpah begitu saja. Andai papa dan mama-nya masih di sini, mungkin Zelbin akan merasa senang dan tidak akan merasakan kesepian lagi seperti sekarang.

"Kalian sedang apa di sana? Zelbin sendiri, nih, hanya bersama semesta dan kenangan yang telah kita ukir."

"Tunggu Zelbin di keabadian ya, ma, pa." Dengan ucapan terakhir itu, Zelbin menutup matanya dan pergi ke alam mimpi.

***

Reydevjenal [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang