Kantin Bandung High School

69 20 0
                                    


"Jika bagimu menangis adalah pilihan untuk melegakan semua masalah, maka menangis lah, dan hilangkan semua kegundahan hati lewat air mata yang meluncur deras."

Kantin Bandung High School. Kantin dengan nuansa putih abu-abu. Kantin dengan tempelan beberapa poster Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Dan, kantin elit yang sangat digemari oleh siswa/siswi nya ataupun guru-guru yang suka jajan makanan anak jaman sekarang.

Sekarang, Serin dan Serita sedang memesan bakso yang sangat mereka berdua sukai. Mereka hanya berdua saja kali ini, karena Zelbin dan Amelya membawa bekal dari rumah. Tanpa disengaja, ada seorang lelaki yang menyenggol tangan Serita hingga bakso yang dia pegang jatuh dan air yang panas mengenai tangannya hingga merah.

"Lo liat-liat! Ga punya mata?" tukas Serita. "Aww... Rit... perih!" rintih Serin.

"Dan lo! Punya mata ga? Perawatan gue mahal, emang lo bisa biayain semuanya?" lanjut Serin.

"Lo yang ga punya mata! Jadi orang jangan sombong!" jawab lelaki itu. "Kenapa ga suka?" tanya Serin.

Lelaki itu kesal, lalu mengangkat tangannya seperti ingin menampar pipi Serin. Tetapi segera dicekal seseorang dari belakang tubuh lelaki yang ingin menamparnya. "Jadi orang, kalo mau nampar, nampar cowo lagi! Terus, jadi cowo juga jangan pengecut beraninya sama cewe!" tukas lelaki yang tanpa disangka dia adalah Alvaro.

"Sorry, cuman kesel aja," jawab lelaki yang ingin menampar Serin dengan bibir yang bergetar seperti ketakutan. "Sono pergi! Sampe lo lakuin kaya gini lagi ke cewe, apalagi ke dia. Tangan lo bakal lepas dari tempatnya, paham?" tukas Alvaro, dan disetujui dengan anggukan kepala.

"Gimana? Tangan lo ada yang luka atau perih?" tanya Alvaro, lalu memegang pergelangan tangan Serin. "Perih, tadi kena kuah bakso yang masih panas. Mana merah banget lagi, aduh!" teriak Serin histeris.

"Ikut gue!" kata Alvaro, dan menyeret tangan Serin pelan.

"Lah... Serin, gue gimana?" kesal Serita.

 "Biarkan, temen lo aman sama Al, lo gue temani," kata Rey, yang tiba-tiba berdiri di belakang Serita.

Serita menelan saliva dengan susah payah. Rey sangat tampan jika dilihat dari dekat seperti ini, apalagi bibir dan bulu mata yang sangat sempurna. Intinya Rey sangat perfect.

"Enggak usah bengong! Udah makan, apa perlu gue suapin?" tanya Rey, menyadarkan lamunan Serita.

"Ngghh... enggk  usah, emang gue anak kecil apa di suapin," cebik Serita, dan memakan bakso nya dengan keadaan kesal.

Kemudian, Rey mendekat. Duduk disebelah Serita, mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik, "Lo lucu kalo lagi kesel gitu. Tapi, kalo diem makin lucu, terus cantik pula."

Degg!

Jantung Serita seperti ingin loncat kali ini. Tidak menyangka dia akan di puji oleh lelaki tampan yang ada disebelahnya, mencoba menahan agar tidak berhambur kedalam pelukannya, karena senang dan rasa riang menyelimuti hati Serita.

****

Serin masih dalam rangkulan Al. Mendiamkan tubuh hangat Al memabukkan, apalagi wangi maskulin yang jarang sekali lelaki lain punya, membuat Serin menggejolak ingin terus berada disamping Al, dan mencium aroma khusus Al.

Al mendudukkan Serin di brankar UKS. Mengambil sebuah air biasa dan lap untuk dia jadikan kompres. Perlahan mengusapkan lap itu ke tangan Serin, mencoba dengan perlahan agar perih tidak semakin terasa.

"Aww, Al... perih!" rintih Serin.

"Tahan, lo mau sembuh nggak?" tanya Al. "Ya mau lah," jawab Serin sarkas.

"Yaudah, udah tau lagi diobatin itu diem! Ga usah berisik. Ini juga gue pake hati, gue juga mikir kali!" kesal Al.

Serin memanyunkan bibirnya, menggigit bibirnya agar tidak merintih ketika merasa perih. Memegang kuat-kuat sprei UKS agar tidak spontan mencubit lengan Al. Tetapi, tanpa diduga, Serin tiba-tiba merasa sangat perih, hingga dia mencengkeram bahu Al, hingga sang empu terpelonjak kaget, dan sekarang jarak kepala diantara mereka berdua hanya 2 cm.

Mereka sama-sama diam. Merasakan hembusan napas yang saling bergantian. Mencoba mengingat khas aroma keduanya, dan mengingat wajah diantara mereka berdua, agar tahu bahwa mereka pernah bertemu.

"Lo... bikin gue sesak, lo berat...," ucap Al kaku.

Serin menjauhkan tubuhnya dari Al. Mencoba menetralkan jantungnya, berharap bahwa itu akan terjadi di keduanya. Meski, Serin menyukai Devano, tetapi Serin berpihak pada Al sekarang. Karena perhatiannya, dan wajahnya yang sangat indah.

"So-sorry... abisan perih banget," kata Serin. Al hanya diam, mengusap tangan Serin disamping luka yang di perban, dan berkata, "Gapapa... besok kalau lukanya masih perih. Bilang gue lagi, biar gue obatin lagi, kalau perlu kita periksa ke dokter."

"Mungkin besok sembuh, dan makasih." Al tersenyum, lalu mengusap kepala Serin lembut. Menyalurkan sebuah kekuatan, agar luka yang diderita menghilang, karena yang Al tau. Serin paling mempunyai sifat kekanak-kanakan diantara teman-temannya. Jadi jangan sampai dia mengeluh tujuh hari tujuh malem, kaya syukuran.

*****

Zelbin, berjalan menuju rooftop. Bertujuan untuk mencoba mencari udara segar setelah kembali melihat Amelya, diajak pulang bersama nanti sore oleh Jeno. Merasa sesak di dada, mata merasa panas, kian ingin menangis dan berteriak karena luka hadir kembali.

"Tuhan! Berikan seseorang yang dia tidak akan pergi dari kehidupan Zelbin, Tuhan!" teriak Zelbin.

"Zelbin ingin merasakan seperti orang-orang. Tetapi... Zelbin enggak yakin, buktinya, kedua orang tua Zelbin aja sudah tiada." Zelbin mendudukan dirinya, menekuk lutut dan membenamkan kepalanya, mencoba menangis tidak bersuara dan tanpa isakan. Meski lara semakin tertanam di hatinya.

"Gue udah bilang dari awal. Kalau mau nangis, ya nangis aja. Nggak usah nahan semuanya, karena yang gue tau, menangis tanpa bersuara itu sangat menyakitkan. Jadi jangan malu untuk menangis, menangis bukan berati orang lemah, menangis bahwa dia tau kalau dia makhluk yang lemah dan hanya bisa mengeluh kepada, Tuhan. Bukan kepada manusia," ucap seseorang lelaki di belakang tubuh Zelbin.

Zelbin mengedarkan pandangannya kearah suara yang baru saja bersuara. Terdapat disana, Devano dengan tangan yang dimasukkan kedalam kantong celananya, dengan topi yang selalu dia kenakan, dan baju yang selalu dia keluarkan meski peraturan baju harus dimasukkan tetapi Devano bandel, dan tetap melakukannya.

"Dev...?" tanya Zelbin.

Devano menarik turunkan alisnya. Mencoba mendekat kearah Zelbin, dan duduk bersama di roof top bersama Zelbin. "Sini!" perintah Devano, menyuruh Zelbin untuk menyenderkan kepalanya di bahu Devano, dan Zelbin menurut.

Reydevjenal [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang