Mading

47 9 0
                                    


"Prinsip yang digunakan pulpen dalam kehidupannya adalah 'Setiap yang dimasalahkan akan dipergunakan suatu saat nanti, dan setiap masalah yang terjadi untuk saat ini pasti akan mendatangkan kebahagiaan dan kegunaan bahwa diri kita amat berharga'. Kenapa gue ngomong kaya gini, karena lo harus bisa bangkit dan terus maju walau kedua orang tua lo udah enggak ada lagi di sisi lo buat jalani semua kehendak-Nya."

✓Al✓

Mading sekolah dipenuhi sorak riuk dari seluruh murid yang ingin menyaksikan di mana dia akan bertempat ketika ujian. Dengan lari yang tergesa-gesa, semua orang menabrak dan menimbunnya dengan tubuhnya lagi. Suasa seperti ini, membuat seluruh siswa malas tetapi masih saja antusias, itulah yang diinginkan para siswa agar cepat naik kelas dan tentunya lulus dari sekolah hingga bisa mencapai PTN yang nanti mereka inginkan.

"Lo enggak ke Mading, Zel?" tanya orang itu dan kemudian duduk di hadapan Zelbin.

"Malas, ramai banget, kan, Al. Nanti aja pulang sekolah." Al hanya menganggukkan kepalanya. Benar, jika saat ini tidak ada sejengkal jalan untuk tubuh kita. Semuanya padat, dan membuat sesak.

"Teman-teman lo ada di mana? Ko, lo sendiri aja di sini?"

"Amelya, lagi ketemu Jeno. Serin, katanya dia lagi ketemu Bo-Nyok di ruang kepala sekolah. Serita, dia lagi ke ruang OSIS untuk persiapan Lomba Sains tingkat nasional. Dan gue? Nggak ada kegiatan apa-apa, ya sudah gue di kelas aja. Kebetulan sepi, kan, bocah lagi keluar semua," jawab Zelbin sembari terkekeh.

Al hanya ikut terkekeh mendengar penuturan gadis di hadapannya. Hatinya menghangat ketika mendengar suara Zelbin ketika tertawa. Anehnya, dia juga ikut dalam suasana yang nyaman tanpa Al mengetahui maksud dan arti dari semua ini itu apa. "Lo rencana setelah lulus dari sini, mau ambil PTN di mana?" Al bertanya.

"Gue rencana enggak lanjut kuliah. Gue harus jalani usaha tentang mendirikan perguruan taekwondo di Semarang. Mungkin setelah lulus dan setelah gue tahu siapa yang udah bunuh kedua orang tua gue, gue akan pindah ke Semarang untuk atur semua cita-cita gue dan cita-cita kedua orang tua."

Lelaki itu hanya ber-oh-ia. Kenapa hatinya seperti tidak rela untuk berpisah dari gadis di hadapannya ini, hatinya seperti sesak dan merasakan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. "Semoga semua keinginan lo tercapai! Semoga juga, misi lo untuk cari tahu siapa yang udah bunuh kedua orang tua lo cepat selesai, aamiin," katanya.

"Aamiin. Kalau lo, rencana mau ambil PTN di mana?"

"Gue rencana mau masuk ITB aja yang dekat. Kalaupun gue enggak masuk, gue bakal tetap stay di Bandung dan cari PTN negeri lainnya, kalau enggak ya Swasta." Zelbin hanya mengangguk patuh, dirinya juga ingin berkuliah, namun keadaannya yang sangat tidak memungkinkan jika dia hanya memikirkan teori dalam kehidupannya.

Dengan tangan yang tergerak menggenggam pulpen, tangan Al mampu membuat Zelbin mengalihkan pandangannya. "Lo liat pulpen ini, kan, Zel?" Wanita itu mengangguk.

"Dia sebenarnya malas dilahirkan menjadi tinta berwarna hitam. Dia juga sebenarnya malas selepas dipakai kemudian dibuang begitu saja. Tetapi, dia sangat bangga dia bermanfaat bagi semua orang yang menggunakannya. Prinsip yang digunakan pulpen dalam kehidupannya adalah 'Setiap yang dimasalahkan akan dipergunakan suatu saat nanti, dan setiap masalah yang terjadi untuk saat ini pasti akan mendatangkan kebahagiaan dan kegunaan bahwa diri kita amat berharga'. Kenapa gue ngomong kaya gini, karena lo harus bisa bangkit dan terus maju walau kedua orang tua lo udah enggak ada lagi di sisi lo buat jalani semua kehendak-Nya."

Zelbin hanya diam terpaku. Menguatkan memori untuk menangkap jelas ucapan Al barusan, dan menyimpannya dalam memori untuk selalu dia ingat ketika Zelbin merasa terjatuhkan. "Lo benar, Al. Kenapa dari dulu gue terus merasa sedih, ya. Padahal ini semua udah takdir yang harus gue jalani."

"Lo dulu masih kalut sama emosi dan belum tahu apa itu arti kesabaran dalam setiap masalah."

Ya, ucapan Al semuanya benar. Benar jika dulu dirinya belum bisa menerima. Benar jika dulu dirinya masih kalut dan larut dalam emosi dan kebencian yang membuat Zelbin semakin jatuh bahkan terpuruk.

"Tapi gue akan tetap mencari tahu siapa yang udah bunuh kedua orang tua gue."

"Itu hak lo, gue hanya sekedar pengingat dan pendukung setiap yang lo lakuin." Lelaki itu mengakhirinya dengan senyuman manis yang terukir di bibir tipisnya.

*****

Talen dan Hal mendengar semua ucapan Zelbin dan Al. Mereka berdua hanya diam bertatap wajah tanpa berbicara. Kasihan melihat gadis yang ingin mengetahui sejak lama, tetapi sampai detik ini belum bisa mengetahui.

"Apa perlu kita kasih tahu Zelbin yang sesungguhnya?" Hal bertanya.

"Jangan, gue lihat Al bisa menenangkan Zelbin tentang hatinya yang dipenuhi rasa dendam. Ini bukan waktu yang pas untuk kita bongkar. Gue merasa Al dan Zelbin itu akan memiliki rasa yang sama untuk saling menguatkan. Kita di sini hanya penonton yang sudah tahu alur, masalah membongkar urusan terakhir."

Hal hanya menganggukkan kepalanya. Menuruti semua ucapan adiknya yang lebih benar ketimbang semua ucapan yang dia keluarkan.

****

Reydevjenal [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang