Terbuka

36 6 0
                                    

"Lebih baik Jeno dibunuh oleh Ayah, daripada aku harus meninggalkan Amelya."

✓Jeno✓

"Kita berempat dipanggil Ayah."

Rey yang memberi tahu akhirnya berjalan lebih dulu. Meninggalkan saudaranya yang masih menatap heran. Entah ada apa tiba-tiba ayahnya --- Alezo memanggil semua anak-anaknya.

"Ada apa, Yah?"

Alezo tidak menjawab. Hanya memperintahkan mereka berempat untuk duduk melingkar. Mungkin, akan ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan.

"Ayah tahu, kalian berteman dengan namanya Zelbin, kan?" seru Alezo sedikit menekankan kata 'Zelbin.'

Al, Jeno, Rey, dan Dev mengangguk secara bersamaan.

"Kebetulan, Zelbin pacar temanku, Yah. Ada apa?" celetuk Zeno tanpa dosa.

"Jauhi Zelbin."

Dua kata itu membuat Al tersentak kaget. Tidak mungkin dia menjauhi orang yang dia suka. Sudah bisa dekat saja kesempatan emas. Sekarang, malah harus menjauhinya. Gue enggak sanggup harus menjauhi Zelbin, sampai kapan pun enggak, batin Al dalam hatinya.

"Ayah enggak mau, kalian sakit hati suatu saat nanti jika Zelbin mengetahuinya. Sebenarnya, Ayah yang telah membunuh kedua orang tuanya. Tidak hanya membunuh, Ayah juga telah memisahkan segala organ tubuh kedua orang itu.  Ayah tahu, jika perbuatan Ayah ini sangat parah. Ini semua di luar kendali Ayah. Jadi mulai sekarang, kalian jauhi Zelbin maupun teman-temannya. Ayah tidak mau dibantah dan keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat."

Ucapan Alezo membuat semua bibir mengunci rapat-rapat. Bingung harus berkata apa. Yang jelas, sekarang ini mereka tidak akan sanggup jika harus berpisah dengan perempuan pilihan hati. Terutama Al, yang harus benar-benar meninggalkan ratu es yang selama ini dia sukai secara diam-diam.

"Lebih baik Jeno dibunuh oleh Ayah, daripada aku harus meninggalkan Amelya," sungut Jeno tiba-tiba.

Alezo hanya tertawa hambar. "Jeno, Jeno. Cinta sudah membuat kamu buta. Dengar Ayah! Ayah hanya enggak mau kalian patah hati setelah Zelbin mengetahui semuanya. Cepat atau lambat, dan waktu akan terus berjalan, pasti semuanya akan terbongkar dengan tiba-tiba. Pastikan, jika kalian memilih harus terus bersama mereka, jangan pernah menyesal dan memarahi Ayah karena telah berbuat. Kalian hanya bisa memilih. Menjauhi mereka dengan cara kalian, atau menjauhi mereka dengan cara Ayah?"

Mereka berempat saling menukar pandangan. Bingung harus bagaimana. Alezo tidak bisa dibantah soal keinginan. Alezo tidak bisa merubah pikirannya setelah ucapannya yang dia keluarkan. Bingung. Menjadi salah satu kata yang tersirat di dalam benak mereka berempat.

"Baiklah... jika itu keputusan Ayah. Kami berempat ikut aja," pasrah Devano.

Akhirnya, Al, Jeno, dan Rey hanya mengangguk pasrah. Mungkin ini jalan yang terbaik. Lebih baik mereka yang menjauh. Daripada, harus terjadi apa-apa kepada Zelbin dan teman-temannya.

"Bagus! Mulai besok, Ayah akan mengawasi semua kegiatan kalian. Mulai dari sekolah, main, dan yang lainnya. Paham?" Tanpa basa-basi semuanya hanya mengangguk patuh. Percuma jika terus menerus membantah, pasti akan berujung emosi, tidak mau sampai terjadi.

***

Sepi.
Menjadi satu kata yang tersirat dalam benaknya. Entah sejak kapan dirinya terus mengingat sosok lelaki yang dia benci karena sifatnya. Apakah benar yang dikatakan Amelya, jika dirinya menyukai Al, lelaki yang selalu menggodanya.

"Masa iya si, gue suka sama si Al. Enggak mungkin lah. Ih aneh banget," gumam Zelbin.

Dia menyeruput kopi yang dia sajikan sebelum terduduk di balkon kamar. Sesekali memandang jalan yang sepi. Mendongak ke atas langit, menampakkan bintang yang bersinar terang, dan bulan sabit yang melengkung manis ke arah bumi.

Tanpa disadari, bingkai yang berisi foto dirinya dengan kedua orang tuanya terjatuh. Segera mungkin, dia menghampiri dan menyingkirkan beberapa percikan kaca. Tangannya tertusuk dan mengeluarkan darah.

Aw, rintihnya dalam hati.

Terdiam sejenak melihat foto itu, membuat ukiran senyum Zelbin tertera. Mengusapnya dengan lembut. Mencium. Didekap. Seolah-olah, foto itu adalah kedua orang tuanya. Dirinya rindu, rindu akan semuanya. Kenangan yang hanya bisa menjadi obat. Mengingat yang hanya bisa menjadi ukiran senyum.

"Secepat mungkin, Zelbin akan menemukan siapa yang telah membunuh papa dan mama. Bagaimanapun caranya. Kalian tenang-tenang di sana, ya. Doakan Zelbin juga, agar segera menemukannya," katanya seolah-olah sedang berdialog denga papa dan mamanya.

"Zelbin sayang papa dan mama."

Kecupan manis dia terapkan di foto yang penuh kenangan itu. Kemudian menaruhnya di meja belajarnya. Seakan semesta mengetahui kondisinya, hujan kini hadir di tengah air matanya. Aroma yang khas, bisa memenangkan. Membuatnya semakin mendalami air matanya dan mengulas kembali kenangan manis yang telah diukir bersama.

Reydevjenal [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang