Vivianne

210 5 0
                                    

"Apakah saya begitu menjijikkan Pak Polisi? Bahkan orang tua kandungku pun tega membuangku...!!!."

Gadis itu semakin terisak, dia terlihat begitu rapuh. Sikap percaya diri yang selalu dia tunjukkan sejak awal bertemu raib entah kemana.

Sebenarnya aku sama sekali bukan jijik terhadapnya, hanya saja traumaku dengan masa lalu membuatku takut jika melihat rambut ikalnya. Dan apa maksudnya dengan omongannya tadi, orang tua kandungnya membuangnya???

Sesaat rasa iba menghinggapi hatiku melihatnya semakin terisak sambil kedua tangannya menutupi wajahnya.

"Ma af...bukan maksud ana untuk menyinggungmu tadi. Tapi bisakah kamu tenang?", aku berusaha menenangkannya.

"Lalu apa maksud Pak Polisi menyuruhku jaga jarak? Bahkan di awal ketemu pun Pak Polisi seakan enggan melihatku. Benarkan Pak Polisi jijik???!!!", raungnya masih dengan tangisnya.

"Eh... bukan, tidak seperti itu".

"Ana hanya...hanyaaa...", aku bingung gimana harus jelasinnya. Gak mungkin kan aku ceritain traumaku yang bahkan akhir-akhir ini sering menghantuiku dalam mimpi.

"Hanya apaaa...??!!! Aku memang tidak seharusnya berada disini. Bahkan di dunia ini sekalipun!!"

"Pipin...", ucapku pelan. Dia masih tak bergeming.

"Vivianne...", kali ini sepertinya berhasil, tangisnya mereda. Perlahan dia mengangkat wajahnya menatapku. Oh my Allah, lihatlah wajah blasterannya itu. Mata sembab, rambut pada menempel di wajahnya plus hidung melernya.

Dia masih menatapku tajam dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum tipis rada kikuk. Aku harus berusaha menenangkannya. Anak gadisnya beib Lailah lho ini. Kalau dia ngadu bisa-bisa beib Lailah tidak mau lagi mengurus rumah dan rambut ajaibku.

"Sudah puas nangisnya...?", ucapku pelan sambil mengangkat kedua tanganku. Ah jadinya pengen meraih tangannya atau mungkin mengusap pundaknya agar dia merasa tenang.

"Kamu duduk dulu deh..."

Eh ajaib dia langsung nurut gitu. Aku lalu menuangkan air putih ke dalam gelas kosong yang ada di atas meja lalu menyodorkannya ke hadapannya.

Dia tanpa ba bi bu langsung meraih gelas itu dan meminum airnya hingga tak bersisa. Sepertinya dia kehausan setelah mengeluarkan banyak air mata. Dia menatapku sekilas lalu kembali menundukkan wajahnya. Dia terdiam cukup lama.

"Aku selalu senang ketika orang-orang memanggilku Pipin. Karena dengan begitu aku merasa benar-benar jadi bagian dari mereka. Merasa kalo aku memang anaknya emak sama abah."

Tiba-tiba saja dia berceloteh lirih. Tapi kubiarkan saja untuk mengeluarkan apa yang mungkin menjadi kesedihannya saat ini.

"Tapi...dengan orang-orang memanggilku Viviane...aku aku merasa bahwa diriku berbeda." Tiba-tiba dia kembali terisak pelan.

"Dan Pak Polisi tau, ternyata memang aku berbeda! Ak aku...bahkan bukan darah daging emak sama abah...!!!", dia semakin terisak dengan kedua bahunya yang bergetar. Sepertinya dia berusaha melawan rasa sedih yang menderanya.

Aku yang baru saja mendengar penuturannya pun terperangah. Jadi benar dia bukan anak kandungnya beib Lailah dan Pak Toto??

Dia mendesah pelan, tarikan nafasnya melemah. Tidak lama dia lalu ambruk di kursi dan kepalanya jatuh ke atas meja makan. Aku terkesiap kaget melihatnya.

"Pipin...", panggilku pelan.

Pipin...", panggilku lagi dengan suara sedikit keras untuk menyadarkannya. Namun dia tetap tidak bereaksi.

The HairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang