Sudah hampir dua minggu Prem dikurung di dalam kamar putih ini, tidak boleh keluar sama sekali. Hari-hari Prem dilalui dengan menatap ke luar dari jendela lantai dua ke pekarangan rumah Boun.
Prem sudah merasa begitu muak dan frustasi karena bosan. Setelah memaksakan kehendaknya malam itu, Boun tidak pernah mengunjungi Prem lagi.
Mungkin dia sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya. Prem mencibir, mencoba mengabaikan perasaan seperti tercubit di dadanya. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa Boun tidak melepaskanku? Apa karena lelaki itu tahu bahwa aku berniat membunuhnya, jadi dia menawanku disini karena menganggap aku ancaman yang berbahaya? Kalau begitu kenapa Boun tidak membunuhku saja sekalian?
Beberapa lama terpaku di jendela, Prem menyadari bahwa ada kesibukkan yang tidak biasa diluar sana. Beberapa mobil tampak lalu lalang keluar masuk rumah Boun yang biasanya lengang. Sehari-hari pemandangan yang didapat Prem hanyalah pemandangan pengawal-pengawal Boun dan beberapa pelayan yang lewat di hamalan depan rumah.
Kali ini Prem melihat ada mobil pengantar bunga dan mobil pengantar catering. Apakah Boun akan mengadakan pesta? Kalau iya... mungkin saja ada kesempatan untukku melarikan diri.
Sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar putih itu terbuka. Prem bahkan tidak menolehkan kepala sedikitpun. Karena yang masuk ke kamar ini selalu hanya Ohm yang mengantarkan makanan, dan pelayan yang membersihkan ruangan dan membawakan pakaian ganti untuknya, tapi tentu saja tetap di bawah pengawasan Ohm.
Prem tidak pernah berinteraksi dengan Ohm lagi setelah kejadian kemarin, dan sepertinya lelaki itu juga tidak berniat untuk mengajaknya berbicara. Lagipula rasa bersalah yang ditanggung Prem terlalu besar. Karena dialah Ohm dihajar oleh Boun, bekas-bekas hajaran itu masih ada dari memar-memar di wajah Ohm dan hidungnya yang patah.
Setiap melihat Ohm, Prem disergap perasaan ngeri dan rasa bersalah yang luar biasa. Boun mengancam akan membunuh siapapun yang lengah dan membiarkan Prem lolos. Apakah sepadan mengorbankan satu nyawa demi meloloskan diri?
Prem memang tidak kenal dengan Ohm, tetapi kalau mendapatkan kebebasan dengan mngorbankan nyawa orang lain, tetap saja terasa tidak benar baginya.
"Prem."
Itu suara Boun. Prem terlonjak saking kagetnya. Dia menolehkan kepalanya, dan Boun-lah yang berdiri di tengah ruangan, lelaki itu tadi sepertinya terdiam, mengamati Prem yang sedang melamun sambil memandang Prem yang sedang menatap ke luar jendela.
Otomatis Prem mengepalkan tangannya, reaksi impulsifnya ketika menyadari aura Boun yang berkuasa memenuhi ruangan. Boun melirik tangan Prem yang terkepal, dan senyum sinis muncul di bibirnya. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang dan Prem baru menyadari ada orang lain di belakang Boun, seorang perempuan berbadan berisi namun terlihat cantik.
"Ini Sammy." gumam Boun tenang. "Dia akan mempersiapkanmu untuk nanti malam." setelah berkata begitu, Boun melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar itu.
Mempersiapkan untuk apa?
~~~ Sleep With The Devil ~~~
"Kau sebenarnya manis sekali Tuan, hanya saja kau tidak pandai merawat diri." Sammy bergumam dengan suara gemulainya, memoles wajah Prem yang masih memejamkan matanya di depan cermin.
Sementara Prem masih memejamkan matanya, diam karena didandani oleh Sammy. Kalau Boun menyuruhku untuk didandani, maka aku pasti akan diperbolehkan untuk turun ke pesta yang diadakan Boun. Hal itu berarti ada kesempatan bagiku untuk melarikan diri dari rumah ini.
"Nah, sudah selesai, coba buka matamu, Tuan." gumam Sammy. Ada nada puas dalam suaranya, Prem membuka matanya pelan-pelan karena bulu matanya terasa terlalu memberatkannya. Dan dia terpana menatap sosok yang balas menatapnya di depan cermin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLEEP WITH THE DEVIL (BOUNPREM VER)
Фанфик◇Terkadang cinta datang pada saat yang tidak di kira-kira. Benci dengan cinta itu beda tipis, orang yang kau benci akan selalu berputar di otakmu. Memorimu pasti akan selalu menangkap orang yang menurutmu kau benci itu.◇ Remake dari novel "Sleep Wit...