Kepalaku sangat pening, aku membuka mataku perlahan-lahan dan aku masih berada di ruangan sebelum aku pingsan. Aku menggerakkan tanganku tapi keduanya terikat dengan erat di belakang tubuhku. Aku duduk di sebuah kursi kayu.
"Persetan!" umpatku.
Tiba-tiba Ernest muncul di depanku, "Sleep tight, babe?" tanyanya sebelum tertawa seperi orang kerasukan.
"Lepaskan aku, Ernest. Atau haruskah aku panggil Evelyn? Who are you?"
"Sudah kuduga kau mengetahui semuanya. Bocah ceroboh, jika saja kau menuruti kata ayahmu. Kau tidak akan berakhir seperti ini," katanya sambil menggelengkan kepala, "By the way, aku mempersilahkanmu untuk berteriak jika kau mau mati tergantung oleh tali yang sudah siap di lehermu."
Aku menyadari ada tali melingkar yang tergantung di leherku, terhubung oleh katrol di atas kepalaku dan di atas pintu. Tali itu berakhir di gagang pintu. Jika aku berteriak, mungkin orang akan masuk tapi saat pintu terbuka aku sudah mati tergantung karena tali akan tertarik jika pintu terbuka.
Shit.
"Who are you?!" tekanku sekali lagi, tanganku sudah perih karena berusaha melonggarkan ikatannya.
Evelyn berbalik dan kembali dengan membawa sebuah album, "Who am I? Baiklah jika itu yang kau inginkan," katanya sambil tersenyum licik.
Dia membuka album itu dan menunjukkannya padaku, terpapar foto Evelyn kecil yang dikepang dua. Air wajahnya begitu murung.
"Aku Evelyn White," katanya dengan bangga, "Psikopat cerdik yang membunuh orangtuanya karena tekanan mental, it's police's words not mine. Lagipupa mereka memang pantas untuk dibunuh! Mereka selalu bilang mereka menyayangiku dan mencintaiku!"
Evelyn mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, "Tapi satu hal yang aku pelajari dari mereka adalah cinta itu omong kosong!" serunya sambil menangis sekaligus tertawa. Perlahan-lahan hiasan di matanya luntur, membuat air matanya menjadi gelap, seperti hatinya.
"Saat melarikan diri tiga tahun yang lalu, aku terobsesi untuk membunuh lelaki yang terperangkap oleh jaringku. Hanya dengan menjetikkan jari, dengan mudahnya aku mendapatkan target yang aku mau," dinginnya pisau menempel di pipiku, "Termasuk kau, Harry fucking Styles."
Aku menelan ludah dan Evelyn terbahak, "Begitu mudahnya kalian kaum lelaki terbawa oleh nafsu yang kalian sebut cinta! Jangan salahkan aku jika kau mati, kau mati karena cinta. Makanlah cinta yang membuatmu terbunuh itu!" geram Evelyn sambil menarik pisaunya dari wajahku sehingga membuat goresan.
Aku mengerang kesakitan. Fucking hell!
Evelyn duduk pada pangkuanku, mengecup lukaku dan menghisap darah yang keluar, "Your blood taste so fucking good in my tongue, sweetheart," dia menatapku dengan gila, "Biar ku tebak. Kau pasti ingin melihat koleksi korbanku, kan?"
"What the fuck! No!" aku menggelengkan kepala. Aku tidak percaya telah jatuh hati pada psikopat yang begitu menawan.
Evelyn mengabaikanku, "Lihat ini," katanya sembari membalik halaman album itu, "Pierre Loko, korban pertamaku," rambut orang itu sehitam arang dan matanya coklat seperti karamel, "Dia mengenalku dengan nama Emma Winston."
"Then we have Dave Crayson," dia menunjuk seorang pria bermata kelabu dan berambut coklat muda, "Trust me, he was so damn good in bed," Evelyn tertawa kecil, "Dia mengenalku dengan nama Elsa Westenra."
Aku menutup mataku, "Evelyn, cukup."
"Oh baby, kau pasti bosan ya? Atau terbakar api cemburu?" tanya dengan gemas sambil mencengkram pipiku yang tersayat sehingga aku mengerang kesakitan untuk yang kedua kalinya.
"Baiklah. Kita skip ke korbanku yang terbaru. Atau lebih tepatnya..," Evelyn menggantung kalimatnya seraya membalik beberapa halaman album tua yang di penuhi oleh foto laki-laki yang dia bunuh, "Ah! Aku menemukannya!" pekiknya senang, "Atau lebih tepatnya calon korbanku," ucapnya dengan rendah sambil memperlihatkan fotoku yang entah kapan dia dapatkan.
"Wajahnya sudah tidak asing lagi, bukan? Wajahnya yang begitu tampan, tatapan sejuk dari mata hijaunya yang membuatku waras untuk sementara, dimples yang menghiasi pipinya, semua tentang Harry Styles begitu sempurna tanpa cela," jelasnya sambil menatapku sangat dalam.
Entah kenapa aku melihat sekilah jiwa Evelyn yang masih innocent sedang tenggelam di dalam matanya yang berwarna biru seperti samudra.
Maybe I can fix her. Maybe she can be sane. Maybe she just doesn't know how to love. Maybe I can show her that it's so damn easy to be loved.
"Evelyn, lupakanlah semua ini. Kita bisa memulai semuanya dari awal. Jangan nodai tanganmu dengan darah orang yang tidak bersalah," bujukku.
Matanya menggelap, "Lupakan? Kau pikir mudah untuk kabur dari rumah sakit jiwa yang memiliki pertahanan kuat karena aku seorang psikopat? Kau pikir mudah menjadi boneka orang tuaku sendiri? Diperintah setiap saat seolah kau di program untuk menjadi sempurna? Itu semua membuatku muak dan gila, Harry!" Evelyn berteriak di depan wajahku, "Kau tidak tahu betapa bahagianya saat aku berhasil membunuh mereka. Setelah lima belas tahun hidup dalam neraka yang mereka ciptakan, akhirnya aku merasa hidup untuk pertama kalinya," katanya sebelum tertawa dengan lantang.
Percayalah, walaupun Ernest cantik, tapi dia terlihat seperti iblis sekarang.
"Evelyn, come on. Lepaskan aku. You got me and I got you, do you remember that?"
Dengusan kesal keluar saat bola matanya berputar, "We both know that is bullshit, Styles. Kau sangat naif untuk mempercayai hal yang kekanakan seperti itu."
"Evelyn--,"
Evelyn mengeluarkan pistol kecil yang tersemat di balik tubuhnya, "Cut off this shit, babe. Kau hanya membuang waktuku," dia beranjak dari pangkuanku dan menempelkan ujung pistol ke dahiku, "Well, any last words, Hazza?" tanya dengan manis.
Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat, "Yeah," jawabku dengan singkat.
Evelyn menyeringai, "I'm listening, baby," oloknya.
"I love you."
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
Thank you for reading! Don't forget to vote and comment :)
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask // h. styles [A.U]
Fanfiction"Who are you?" I met her a week ago and she's already my girlfriend now. But, everything about her feels so strange. I'm so intrigued by her. Rated PG-13 Creative Commons (CC) November 2014 by plot-twister