3. its easy

11 0 0
                                    


Saat ojek online yang kutumpangi berhenti tepat di pintu gerbang museum, mobil klasik berwarna krem juga ikut berhenti padahal itu dapat mengahalangi jalan masuk.

"Nih pak ongkosnya." Ujarku sembari memberikan ongkosnya
"Jangan lupa bintang lima nya mba." Pesan bapaknya
"Iya pak."

Aku langsung masuk menuju tempat pamerannya.

"Azel."

Panggil seseorang tapi aku tidak melihat siapa-siapa, satu-satunya orang yang ada didekatku hanyalah seseorang yang berada dalam mobil klasik tersebut.

Aku coba menghampirinya siapa tahu orang ini kenal denganku. Jendela mobilnya ku ketuk hingga memunculkan wajah yang tak asing bagiku.

"Kamu?"
"Masuk zeel." Suruhnya
"Aku kira siapa ternyata kamu Buana."

Setelah tiga bulan lamanya tak bertemu, kami dipertemukan kembali disini.

"Ayo cepet itu ada mobil dibelakang."

Aku pun mengikuti perintahnya aku tidak mau menanggung malu karna menyebabkan kemacetan disini.

"Bikin macet jalanan aja harusnya kamu gak berhenti disitu."
"Kan sengaja. Biar kamu mau masuk kemobil ku."
"Licik."
"Itu siasat Zeel."
"Zeel?"
"Kenapa?"
"Aneh aja dengarnya."
"Biar beda aja biar kamunya gak lupa sama aku."

Aku tidak menyanggah perkataannya aku hanya diam berpura-pura sibuk dengan ponselku.

Sampai juga. Malas sebenarnya berduaan di mobil dengannya, pembicaraannya makin ngelantur dan kadang tidak bisa aku mengerti. Bukan akucnya yang bodoh tapi bahasa dianya saja terlalu tinggi.

"Makasih tumpangannya." Ujarku berusaha bersikap sopan
"Bilang makasihnya nanti pas udah sampai rumah kalo sekarang liat pamerannya dulu."
"Hah?"
"Ayo turun." Ajaknya

Lagi-lagi aku menuruti perintahnya. Tadinya aku ingin turun sendiri tanpa ia suruh eh kalah cepat ternyata.

Kami mengitari pameran dan mendatangi stand yang menurutku menarik untuk didatangi. Buana sepertinya tertarik dengan alat-alat musik klasik dia daritadi melihat kearah sana tapi tidak bilang kepadaku dan tetap saja mengikutiku. Aku mulai kasihan dengannya akhirnya ku putuskan untuk mendatangi stand yang menarik perhatian Buana. Benar saja kan, dia terlihat senang dan bertanya-tanya tentang alat musik yang kini ia pegang. Dia sampai gak sadar kalau dari tadi aku hanya fokus memperhatikannya.

Dia menengok ke arahku dengan cepat aku membalik berpura-pura melihat barang.

"Zeel." Panggilnya lalu aku menoleh
"Hm?"
"Bagus gak?"
"Kamu suka?" tanyaku balik

Buana hanya mengangguk

"Yaudah berarti bagus."
"Kan aku minta pendapat."
"Aku gak paham tentang benda yang ada disini, aku gak tau kalo itu bagus atau engga, kalau menurut kamu bagus yaudah berarti itu bagus."
"Terus ngapain kamu ajak aku kesini kalau kamu gak paham."

Ah skakmat. Aku harus jawab apa kalau seperti ini. Aku langsung membuang muka tak ingin kalau dia melihatku salah tingkah seperti ini.

"Pak beli dua." Ujarnya

Bapak penjaga tokonya langsung mengemasi barang pesanan buana. Sesuka itukah Buana dengan barang tersebut sampai ia membeli dua buah.

Ia menyodorkan paper bag yang berisi barang yang ia pesan tadi padaku.

"Kalau mau minta tolong untuk dipegangin bilang." Ucapku salah mengerti apa yang Buana maksud
"Buat kamu Zeel."
"Buat aku?"
"Biar kamu paham kenapa aku suka itu."

Lalu ia mendekat dan membisikan sesuatu, refleks aku menahan napas saat dirinya mengikis jarak diantara kami.

"Makasih loh berusaha buat aku senang." Bisiknya

Ia langsung meninggalkanku yang masih mencerna ucapannya. Entah kenapa sekarang aku lebih sering memikirkan makna sebuah ucapan dari seseorang.

"Buana tungguin."

Aku berlari menyusulnya menyamakan langkahnya yang lumayan panjang untukku.

"Kamu tadi beneran sendiri kan kesininya?"
"Engga."
"Oh udah ada yang nemenin, siapa?"
"Abang ojol."
"Kamu ngelawak? Kamu sama sekali gak cocok ngelawak."
"Terserah kamu. Udah sana pergi aku mau fokus liat pamerannya."
"Kamu pikir aku engga?"
"Aku lagi gak mau debat sama kamu Buana."

Aku hanya menghela napas. Sepertinya Buana achazia ini mahasiswa sastra indonesia, banyak sekali kosa kata yang keluar dari mulutnya seperti tidak pernah kehabisan kata-kata.

"Zeel ada yang fokus juga."
"Hm."
"Serius Zeel itu ada yang fokus liatin kamu."
"Siapa?"
"Liat ke arah mata angin barat daya."

Tanganku refleks memukul dengan pukulan kecil di lengannya.

"Kamu mau ngerjain aku? Aku mana tau barat daya sebelah mana."
"Maaf, tuh orangnya malah nyamperin kita."

Saat Buana mengatakan itu, aku menoleh ke belakang.

Seseorang pun datang dan lucunya aku mengenalnya sangat mengenalnya lebih dari dia mengenalku.

"Azel?"

Aku hanya diam menatap manik mata yang sudah tidak pernah ku lihat lagi. Rahang wajahnya semakin memperlihatkan ketegasannya jangan ditanya dia sudah segagah apa sekarang.

"Hai." Balasku
"Apa kabar lo Zel? Sehat?"
"Sehat. Kamu apa kabar?
"Seperti yang lo lihat."
"Kamu sama siapa?"
"Sendiri. Tapi tadi ada niatan buat minta Azel temenin keliling pameran."

"Gabisa." Sahut Buana

"Azelnya sudah ada yang nemenin." Lanjut buana

"Iya saya tau. Yaudah Zel gue duluan."
"Iya." Balasku yang sebenarnya masih menginginkan keberadaannya disini.

"Gitu banget liatnya." Ucap Buana
"Gitu gimana?"
"Tadi siapa?" tanya buana seperti mengalihkan
"Gandhi. Teman sma ku." Jawabku seadanya
"Ohhh kirain mantan."
"Maksud kamu?"
"Abis kamu keliatan gugup waktu liat dia."
"Emang keliatan banget ya aku gugup?"
"Kamu beneran gugup?"
"Hmm sedikit."
"Kalau liat aku gugup gak?"

Azel mengerutkan keningnya.
"Engga tuh biasa aja."
"Berarti aku harus lebih keras berusahanya."
"Berusaha untuk?"
"Supaya kamu suka sama aku Azelia rinda. Biar nanti kamu gugup kalau lihat aku."

Dia serius?
Semudah itu bilang suka ke orang? Ya walaupun hanya terbesit disebuah kalimat.
Tapi tetap saja dia berbanding terbalik denganku.

"Gausah dibawa serius, Zeel."
Ungkapnya mengalihkan perhatianku

Aku kembali fokus kepada benda-benda yang berada di pameran tersebut.

"Kamu tau gak kenapa aku bisa segamblang itu bilang suka sama kamu?"

Aku diam mencerna perkataannya.

"Kamu suka aku? Padahal kita baru dua kali ketemu loh."
"Ketemunya iya,"
"Maksudnya?"
"Kamu banyak nanya ya."
"Ishhh abis kamu kalo ngomong suka sepotong."
"Kita emang baru sekali ketemu tapi aku udah liat kamu dari jaman sma kali Zeel."

Ucapannya mengingatkanku dengan ucapan arun kemarin.

"Oh iya kata arun kamu kakak kelas aku ya pas sma?"
"Iya, sekarang juga jadi kating kamu."
"Emang iya?"
"Ya ampun Zeel kamu dikampus ngapain aja sampe gak ngenalin aku."
"Hehehe maaf yah kakak Buana."
"Jangan cengengesan gitu. Nyebelin."
"Jadi sekarang aku panggil kamu apa? Kak Buana?"
"Panggil nama seperti biasa aja, lebih nyaman di dengarnya."

Saat kami ingin kembali pulang seseorang menghampiriku lagi.
Gandhi. Dia menemuiku lagi. Kenapa dia datang lagi? Apa aku punya hutang sampai harus disamperin begitu.

ANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang