Awal; Asal

66 8 2
                                    

Hihihi ^^

Maaf baru update malam-malam.
Sudahkah kalian nonton GoSe hari ini?

Ada momen SoonHoon loh 👀

***

Menjadi mafia bukanlah pilihan, tetapi dipilih.

Seseorang bisa tiba-tiba menepuk pundakmu, lantas memberikanmu sebuah misi. Detik itu juga kau didaulat sebagai mafia.

Kau tidak bisa membicarakan ini dengan siapapun, kecuali dengan rekan sesama mafia. Kau bekerja sama dengan mereka, menghabisi nyawa-nyawa tak bersalah penduduk kota di malam hari. Sementara di siang hari, kau turun ke lapangan kota dan menuduh penduduk lain supaya dicurigai lalu dihukum di tiang gantungan.

Sebagai mafia, kau akan digaji sejumlah uang yang tidak akan pernah kau bayangkan sebelumnya. Terlalu banyak.

Walaupun kau juga harus membayarnya dengan darah, pengkhianatan, kebohongan, berkejaran dengan polisi, memfitnah orang terdekat, dan tetap harus menjaga segala perkataan di depan para warga.

Kau tidak boleh salah bicara, atau nyawamu bisa melayang di tangan penduduk kota.

Pekerjaan ini tidak rumit bagi seorang Woozi. Dia sudah terbiasa bersembunyi. Mengamati segala hal yang terjadi di depan mata, dan menganalisisnya baik-baik di kepala.

Woozi jarang berbaur di tengah masyarakat. Ia hanya berusaha mengikuti diskusi publik di lapangan kota. Woozi terkenal dengan logikanya yang cerdas, padahal cuma untuk menggiring opini agar dirinya tidak terendus sebagai mafia.

Dulu berhasil.

Tapi entah sejak kapan, kemampuan Woozi satu ini terlihat menonjol. Hal itulah yang menyebabkan Woozi selalu jadi sasaran pertama polisi ketika melakukan penyelidikan.

Bahkan sampai hari ini, meskipun Woozi sudah mengubah identitasnya menjadi sosok Lee Jihoon.

"Woo--eh, Jihoon, lapar? Mau kubuatkan makanan?" tanya seseorang membuat lamunan Jihoon buyar.

Sudah dua kali Hoshi mengoyak pikirannya malam ini.

Hoshi duduk di samping Jihoon setelah meletakkan gelas kosong dan botol cola satu liter. Mereka kini berada di rumah bagian atas, bukan ruang bawah tanah.

Seandainya rumah ini dihuni keluarga, maka ruangan yang mereka tempati sekarang adalah ruang keluarga dengan sofa disusun berbentuk U, menghadap sebuah televisi 40 inch.

"Kau lapar?" Jihoon bertanya balik. Ia menatap Hoshi.

Hoshi berpikir sebentar, "Hm, lumayan,"

"Baiklah, akan kubuatkan kau makanan," Jihoon lalu bangkit dari sofa.

Hoshi menahan tangan Jihoon. Jihoon menghentikan langkahnya, dan mengerutkan dahi.

"Minum dulu," Hoshi berkata sambil menunjuk botol cola di meja dengan dagunya. Jihoon tersenyum tipis.

"Terima kasih," kata Jihoon lalu menuangkan cola di gelas, dan meminumnya sekali teguk.

"Baik, ayo kita memasak!" seru Hoshi ceria. Dia berdiri dari sofa.

Kening Jihoon kembali berkerut.

"Kenapa?" Hoshi bertanya polos.

"Kenapa kau berdiri?" Jihoon balik bertanya.

"Ya untuk memasak. Apa lagi?" giliran Hoshi mengernyit.

"Kau di sini saja. Aku yang masak. Hitung-hitung rasa terima kasihku untuk kau atas ruangan bawah tanah itu," kata Jihoon.

Hoshi tertawa, menggeleng.

"Ey, untuk apa kau berterima kasih? Itu ruangan buat kita berdua. Rumah ini kan, buat kau dan aku," ujar Hoshi seraya mengalungkan lengannya di pundak Jihoon.

Namun Jihoon kali ini bisa menghindar sehingga Hoshi hanya merangkul udara kosong.

Jihoon kontan tertawa.

"Kata siapa aku mau tinggal di sini?" tanya Jihoon sambil beranjak ke dapur.

Hoshi masih diam di tempat, merenungi usahanya yang gagal memeluk Jihoon.

"Hei, kau mau ikut memasak atau tidak? Jangan seperti patung begitu!" teriak Jihoon yang semakin jauh. Hoshi mengangkat muka. Ia melihat Jihoon menghilang di balik dinding menuju dapur.

Hoshi tersenyum tipis.

Jihoon masih sama. Tidak suka disentuh-sentuh.

Tapi, tetap saja membuat Hoshi berpikir kenapa laki-laki berkulit putih pucat dan bermata sipit itu tidak mau lagi dipanggil Woozi.


tbc.

Hiks, mafia Woozi update.

Hiks, mafia Woozi update

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.








M A F I AWhere stories live. Discover now