Diego menutup pintu ruang multimedia dan menghela napas keras. Bu Lisa menyampaikan bahwa ia, Janette, Rebecca, Bianca dan Bastian akan menjadi panitia pensi sekolah. Dimana semua orang tau bahwa menjadi panitia pasti sibuk sekali dengan segala macam urusan yang harus diperhatikan dan dituntaskan.
"Kenapa harus kita sih, anak Osis masih banyak juga." eluh Janette.
Gio datang dengan tangan kosong. "Gue lupa bawa kunci mobil, goblok banget gue ya." Tapi ternyata tak ada yang menggubris.
Diego menghela napas lagi, "Kalo kita pada dipilih, seharusnya bersyukur, karena itu berarti kita orang terpilih yang dipercaya." Bastian, Rebecca, Bianca, mengangguk tanda setuju. Tapi tidak dengan Janette.
"Tapi ini membebani banget, Go. Ih, tau ah." sahut Janette dengan hentakan kaki lalu pergi.
Semua orang menatap kepergian Janette dan menyadari ada salah dengan Janette akhir-akhir ini. Seperti cepat terpancing emosinya dan miskin kesabaran. Perlahan semua mata tertuju pada Diego, lalu menuju pada Bastian, dua orang yang berperan hebat dalam hidup Janette.
Rebecca menatap Bastian dengan semua kekepoannya, "Janette kenapa sih, Bas?"
Bastian menggeleng, "Gue juga gak tau, dia emosian juga ke gue."
"Mending cepetan lo ajak ngomong, biar kita tau kita salah apa. Gue ngerasa dia marah sama gue, tapi gue gak inget gue salah apa." ucap Bianca pada Bastian. Diego dengan sigap mengusap bahu Bianca, memberikan semangat pada cewek itu.
"Janette kalo marah ke satu orang, marahnya bakal ke satu orang itu aja, gak mungkin berimbas ke orang lain. Itu berarti dia marah bukan ke elu, Bi." ucap Diego pada Bianca.
"Gue mikirnya Janette marah ke kita semua malahan." Bastian menyahut.
Gio menautkan alis, "Bisa jadi, tapi lu inget gak lu salah apa, Go?"
Diego berpikir sebentar lalu menggeleng.
"Rebecca, Bastian? Lu inget gak lu berdua ada salah apa sama Janette? Gue yakin gak, kan?"
Mereka semua serentak menggeleng.
"Jadi lu pada paham gak?" tanya Gio.
Rebecca menggeleng. Gio kesal lalu memaki Rebecca, "Goblok banget lu!"
Rebecca tak terima diejek seperti itu. "Lah, apaan lu?! Kan gue bilang gue gak ngerti karena lu juga ngomong setengah-setengah kayak roti dibagi dua!"
"Laper gue." ucap Bianca tak bersalah menyahut di tengah-tengah suasana yang panas. Untungnya tak ada yang mendengarkan.
"Eh, kok lu ngegas? Gue udah jelasin gitu lu masih nggak ngerti, ya berarti lu goblok. Dasar anak Ips!" Gio membela dirinya sendiri.
Rebecca maju selangkah, "Heh! Yang ngegas duluan kan elu! Rasis banget lu jadi anak Ipa!"
"Udah, Heh! Gak ada habisnya lu kalo ngeladenin Gio." kata Bastian menghentikan pertengkaran itu.
"Berarti ya, Janette itu gak marah sama kita." ucap Diego. Sontak segala perhatian tertuju pada Diego.
Gio mengangguk membenarkan. Diego membulatkan mata. "Eh, Janette pulang sama siapa?"
Bastian segera berlari ke arah gerbang, untungnya ia menemukan Janette sedang membeli es doger.
***
Janette masih bisu di dalam mobil, Bastian berencana membawa Janette ke salah satu pantai di kota ini. Tak jauh dari rumah Janette. Bastian masih memutar otak tentang salahnya pada Janette.
"Jan, apa gue ada salah sama lu?"
Janette menggeleng tanpa menatap Bastian.
"Lu marah sama gue?" dan Janette menggeleng lagi.
"Terus lu kenapa sih, Jaaaann? Lu pms? Tapi biasanya juga lu pms adem-adem aja."
Janette menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Bingung gue, Bas,"
Ternyata mereka sudah sampai di tujuan, Bastian mulai menepikan mobil untuk parkir.
"Kenapa lu?"
"Gue pengen banget ikut pertukaran pelajar itu, pengen banget! Tapi gue juga berat buat ninggalin kalian semua. Elu, Gio, Diego, semuanya. Gue mau, tapi juga gak mau kalo sampe sejauh itu dari kalian."
"Tuh kan, bener feeling gue. Lu takut kangen kan ldr-an sama gue?" canda Bastian.
Janette menatap Bastian tajam. "Anjing lu."
"Udah gak usah pikirin tentang itu, pikirin aja gue biar makin dekat." dengan tampangnya yang tak pernah serius.
Janette membuang muka, "Bas, gue lagi gak mau bercanda."
"Perkara begitu aja lu pikirin, lu seharusnya pikirin yang bisa jadi penentu masa depan lu aja." jawab Bastian.
"Apa lu pikir lu, Diego, Gio bukan penentu masa depan gue? Kalo gak ada lu semua juga gue mau jadi apa?"
Bastian tampak serius kali ini, ia juga menyampingkan tubuhnya ke arah Janette. "Kan gue, Diego, Gio tetep disini, elu doang yang kesana, gak sampe satu tahun juga kok."
"Iya, tapi lu ngerti gak sih? Gue gak mau jauh dari kalian." Janette mulai emosi karena merasa Bastian tak mampu memahaminya.
"Lu harus bisa keluar dari zona nyaman lu, lu harus bisa mandiri. Kita juga kan gak mungkin ninggalin elu sendiri, kita bisa jadi support system lu walau dari jarak jauh."
"Lu bukannya nahan gue supaya gak setujuin pertukaran pelajar itu, malah lu gas. Lu suka ya kalo jauh dari gue?"
"Bukan gitu, Jan. Lu paham gak pertukaran pelajar itu bisa bantu lu buat dapat gelar dengan mudah karena lu udah terbukti pintar. Lu bisa dipermudah kalo orang pada tau lu dulunya pernah ikutan pertukaran pelajar sampe ke luar negeri."
"Gatau gue, Bas. Banyak alasan aja lu, gak guna emang ngomong sama lu." Janette menyerah.
Bastian tak mengerti kenapa Janette begitu tidak menerima pandangannya. "Jan, lu coba cermati apa yang gue omongin."
"Anter gue pulang sekarang, kalo lu gak mau turunin gue."
Bastian tak bisa menyaut lagi, Janette tampak sudah benar-benar kesal, dan Bastian tak mau memperburuk situasi. Tiba-tiba handphone Bastian berdering dan mendapati bahwa Diego menelponnya. Bastian sontak mengangkat telpon itu. Diego berkata mereka sedang berada di coffe shop dekat sekolah, dan menyuruh Bastian serta Janette untuk datang ke sana menyusul mereka.
"Jan. Diego ngajak ke coffe shop, lu mau kesana atau pulang aja?" tanya Bastian sebelum memutuskan pilihan.
"Serah lu dah, cape gue." jawab Janette.
"Ke coffe shop aja ya, ntar gue pesenin kopi kesukaan lu, biar lu bisa tenang dulu." kata Bastian. Namun Janette tak lagi menjawab.
"Oke, Go. Gue sama Janette kesana."
Bastian dan Janette pergi ke coffe shop yang sudah dituju itu, ketika mereka sampai, Rebecca, Gio, Diego dan Bianca sudah berbincang-bincang dan hanya tersisa dua bangku di samping Diego.
"Jan, sini!" panggil Diego.
Janette mengangguk lalu melirik Bastian,
"Gak usah pesen punya gue, gue bisa pesen sendiri.""Gak usah, biar gue aja yang pesen. Lu duduk aja sana." ucap Bastian sambil mendorong pelan punggung Janette. Janette pun mengikuti perintah Bastian, ia duduk di samping Diego.
"Jan. Tadi papa ada telpon, terus kata papa, lu terima aja itu pertukaran pelajarnya." ucap Diego dengan to the point.
"Kok papa bisa tau? Lu yang kasi tau?" tanya Janette.
"Bukan gue, adek lu yang kek dajjal tuh."
"Kenapa sih lu semua pada setuju gue ikut pertukaran itu?" ucap Janette bersama segala kekesalannya. Bersamaan dengan datangnya Bastian membawa dua cup kopi dengan varian yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 STONES
RomancePertukaran pelajar yang dialami seorang cewek ini ternyata membawa dampak buruk bagi kelangsungan kisahnya disaat ia harus pulang ke tanah kelahirannya. Siapa yang bisa menenangkan ini?