[9.]

359 59 7
                                    

Sudah kesekian kalinya Hongseok menghela nafas panjang untuk hari ini, kesekian kali pula dia mencoret berbagai jenis tulisan dan gambar di buku catatan kecil miliknya. Dia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri. Memang mengurusi perusahaan ayahnya merupakan suatu kepentingan nomor satu, tapi dengan bodohnya dia malah lupa memberikan informasi itu kepada Jinho.

Apakah hal itu yang membuatnya menjadi tidak karuan? Ya.

Mungkin dia akan ke night club malam ini dan melampiaskan emosinya di sana.

Tapi apakah hal itu membuat semua masalahnya selesai? Tidak. Itu malah semakin membuka pintu kesempatan yang lebar untuk pemuda Jung Wooseok itu. Pemuda setinggi tiang lampu, makan apa dia sampai setinggi itu?!

Ah, ya, Hongseok juga sudah mengetahui bila Wooseok juga menyukai Jinho -- berterima kasihlah kepada jembatan penghubung bernama Adachi Yuto yang sudah rela mengorbankan benyak hal untuknya. Termasuk persahabatannya.

Tapi tentu saja Yuto melakukan hal itu karena memiliki rencana lain.

Tuk. Tuk. Tuk.

Ujung pulpen terus diketuknya di atas meja, membuat keributan tersendiri yang mungkin bisa menenangkannya. Meskipun tidak seberapa membantu, tapi dia sudah tidak harus menghela nafas panjang setiap kali Jinho terlintas di pikirannya.

"Hyung, sudah lama menunggu?" YanAn duduk di hadapan Hongseok. Wajahnya terlihat tampan seperti biasanya, berbeda dengan wajah Hongseok yang kusut akibat memikirkan banyak hal.

Hongseok menggeleng pelan, "limabelas menit bukanlah waktu yang lama, Yan. Aku sudah sering menunggu dengan waktu yang lebih lama dari itu."

Suasana hening. YanAn ingin membuka pembicaraan tapi tidak tau harus mengatakan apa. Ya, dia memang se-canggung itu.

"Jadi, kau sendiri bagaimana? Dengan Changgu?" Hongseok memulai topik. Melihat raut wajah YanAn yang berseri, pemuda itu tau bila lawan bicaranya sedang senang.

Kekehan kecil keluar dari mulutnya, "ya... begitulah. Dia sangat baik, meski Hui hyung selalu mengawasiku bila sedang berdua dengannya. Aku tidak akan melakukan hal buruk apapun kepadanya--"

Hongseok tersenyum licik, "--kecuali untuk satu malam itu dimana kau memeluk dan menciumnya, kau lebih-lebihan dariku." Hongseok sangat senang begitu melihat wajah YanAn berubah menjadi merah padam. Seperti tomat segar yang baru saja matang.

"Y-ya. Kecuali satu malam itu-- Yak! Jangan mengalihkan topik!" YanAn memekik kesal, suara melengkingnya membuat beberapa orang sempat menaruh perhatian kepada kedua pemuda itu.

Wajah tampan itu seketika berubah manis dibalik telapak tangan yang kini menyembunyikan rasa malu akibat ulahnya sendiri. Hongseok yang melihatnya tertawa pelan.

YanAn tidak melakukan apapun tapi cukup untuk menghibur Hongseok, meskipun secara tidak langsung.

"Lagi pula hyung, tumben kau mengajakku bertemu di café seperti ini? Biasanya selalu mengajakku juga Yuto ke club malam." YanAn menyesap coklat hangat yang baru saja di sajikan, menunggu jawaban apapun dari mulut Hongseok. Entah itu hujatan tentang Yuto maupun curhatan tidak berguna tentang si kakak tingkat manis.

Dia sudah sangat siap mendengarkan segala hal penting dan tidak penting yang akan keluar dari mulut Hongseok.

"Jangan mengungkit Yuto, anak itu sudah tidak tahu diri! Saat aku mengajaknya untuk bertemu ke cafe tadi, dia menolaknya! "Hyung sudah ada yang menemani, kan? YanAn hyung pasti akan datang. Jadi, aku tidak perlu menemani mu. Aku ada keperluan dengan Hyunggu dan ini sangat penting," Penting bagi dia!" Hongseok menggerutu.

Dan benar saja YanAn sudah sangat siap akan hal itu. Dia tidak protes atau melakukan hal lainnya. Hanya mendengarkan.

Mencoba mencari topik lain, YanAn akhirnya teringat satu hal.
Yang mungkin membuat lawan bicaranya kesal. Atau sedih?

"Hyung aku baru ingat," YanAn menatap intens kedua manik Hongseok, "kau tau kalau Yuto mengorbankan persahabatannya dengan Wooseok?" Hongseok menyandarkan dirinya ke kursi, sangat benci dengan nama itu.

"Ada apa dengan kedua mahluk itu?" Ujarnya dengan ketus,

YanAn memberikan senyuman kecut, "mereka berdua berkelahi. Wooseok merasa dikhianati oleh Yuto -- tapi Yuto sebenarnya berniat baik!"

Jujur, Hongseok benar-benar merasa bersalah saat ini. Padahal dia yang seharusnya berjuang, tapi malah melibatkan seorang adik tingkat hingga menghancurkan persahabatannya.

Apa beda dirinya yang sekarang dan yang dulu? Tidak ada.
Dirinya yang dulu juga sekarang sama-sama tidak bisa berjuang sendirian dan berujung menghancurkan hubungan keakraban seseorang.

"Lalu? Bagaimana dengan Yuto sekarang?" Nada cemas tidak terlihat dari caranya berbicara, melainkan dari ekspresinya. Hongseok sangat mencemaskan hubungan kedua pemuda itu kedepannya,

Senyuman kecut menjadi senyuman tipis. YanAn mengerti bila hyungnya yang satu ini keras kepala dan sangat mudah kesal, tapi dia tahu bila Hongseok juga memiliki sisi lembutnya sendiri.

"Yuto bilang dia melakukannya untuk dua orang. Untuk mu, dan untuk seorang lagi yang juga berjuang untuk mendapatkan hati lawanmu," YanAn mengaduk minumannya.

Suara orang yang berbicara juga musik jazz mengalihkan konsentrasi pemuda itu sesaat. Disusunnya kata demi kata agar dapt dipahami oleh Hongseok tanpa terjadinya kesalahpahaman.

"Aku rasa mulai dari sini kau harus berjuang dengan keras. Sendirian. Jangan membebankan Yuto, ini sudah kedua kalinya dia dan Wooseok bertengkar. Dan keduanya akibat ketidak percayaan sepihak. Kalau kau tidak berjuang sendiri, kau akan jatuh, hyung. Bukan hanya hatimu yang tersakiti, tapi juga hati dua remaja lainnya," helaan nafas lembut dilepaskan YanAn, "jadi aku mohon. Aku tau bila aku bodoh, aku tau bila aku tidak dapat berbuat banyak. Tapi jangan melukai perasaan orang lain lagi, seperti di masa lampau."

Hongseo terdiam. Tidak bisa membalas apapun dari perkataan yang lebih muda.

Dia terpukul dengan perkataan pemuda itu.

.

Perpustakaan siang itu sepi, hanya ada lima sampai tujuh orang yang berkunjung. Hanya sekedar mengerjakan tugas atau berbicara antara satu sama lain.

Di sebuah meja kecil, dekat dengan jendela, kedua pemuda itu nampak begitu akrab. Berbeda dengan sebelumnya yang kadang membentak maupun memerintahkan yang lebih tinggi.

Jinho duduk disebelah Wooseok. Disandarkan kepalanya di pundak pemuda itu,

"Sudahlah. Jangan memikirkan si Hongseok itu," Wooseok mengelus kepala Jinho.

Dirinya masih terpuruk, tersakiti. Dan rasanya ingin menghapuskan memori beberapa hari yang lalu. Terlebih lagi ketika melihat Hongseok malah berinteraksi dengan banyak perempuan saat dikampus tempo hari. Tidak ada rasa bersalah apapun tergambarkan di wajah pemuda dari keluarga Yang tersebut.

'Ya, aku memang tidak seharunya memikirkan dia.'

Bugh.

Jinho memukul pelan lengan pemuda di sebelahnya. Menahan keras rasa kecewa dan kesal yang bercampur aduk, membuat dadanya sesak.

"Kau menyebalkan," Jinho menatap yang lebih muda. Matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis.

Meski setidaknya setetes sudah lolos dan menuruni pipi merahnya.

Senyuman tulus terukir dengan indahnya di wajah pemuda Jung, dihapusnya airmata yang sudah terlanjur mengalir di pipi Jinho.

Mungkin saja ini merupakan awal kemenangannya.

-----

A/n :

Ayo. Gelud. Hehe.
Maap klo ada typo,
Makasih utk vommentnya ya wankawan :** //heh

[1.✔] Him ▪ Pentagon [JinHongseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang