4.Pancingan Tanpa Kail

11 1 0
                                    

Berangkat dengan keyakinan, setelah membuat alat pancing yang luar biasa hebatnya. Bukan karena biaya yang dikeluarkannya tinggi. Tapi karena membuat ini diperlukan gotong-royong, kalau tidak menang, aku takut menyia-nyiakan tenaga mereka. Waktu tinggal satu jam lagi, lebih baik aku berangkat sekarang. Datang terlebih dahulu, persiapan agar tak demam panggung, ah sial macam penyanyi saja aku ini!

'Bu, Pak, Dik...aku berangkat dulu?' Bela berpamitan dengan rasa semangat menggelora dalam dada.

'Lah Ka Bela mau pergi sendirian? Selepas dari kemarin kita telah membatu membuat alatmu dasar tak tahu diri!.' Inyir sang adik.

'Hahaha...' Bapak-Ibu senyum mendengarkan celoteh adik.

Akhirnya mereka semua berangkat, dan aku meminta maaf pada semuanya. Terimakasih telah mengingatkan ya!

. . . . .

Tiba di kolam, jantungku berdetak kencang, aku biasa memancing dalam permainan virtual kini di realita, jelas berbeda. Apalagi pemain-pemainnya, hmm...ada yang aneh.

'Pak, Bu lihat itu...'

'Adik engga disuruh lihat juga Ka?' Ringkih sedih sang adik.

Depan mata pertama mereka ada yang mengenakan pancingan dari besi.

Sampingnya menggunakan jala.

Sampingnya lagi ada mengenakan bom.

Dan samping-samping lagi...tidak-tidak sepertinya aku jelas akan kalah.

'Jangan begitu dong Ka! Coba senyumnya mana, mana, mana...'

'Prit...' Perlombaan dimuai.

'Cuing...' Suara pancinganku terlepaskan...

'Cuing, cuing, cuing...' Gemuruh melepas umpan para pemancing.

Untung saja, tadi sebelum kesana ibu memasak, jadi kita sambil makan ya nungguin kaka.

'Ah curang aku juga mau, suapin Bu.' Bela juga belum makan, akibat mempersiapkan untuk ini semua.

Sudah hampir satu jam setengah, tak juga ada tanda-tanda ikan datang mengikat kail. Sementara yang lain.

'Apa....sudah banyak, apalagi yang menggunakan bom.'

Bela berputus asa, menerima apa yang terjadi. Mungkin rasa umpannya kurang enak sehingga tak ada yang mengait. Yaudahlah, meski kalah, meski hanya kesedihan yang di dera, tapi ia sudah mencoba, bukan hanya bermain lewat layar bercahaya semata.

. . . . .

Satu menit sebelum peluit, tiba-tiba dikagerkan suara sang adik, 'Ka...lihat itu ada yang menghampiri...loncat itu ikannya.'

'Ah apa sih orang engga berasa apa-apa ini kailnya kok.'

'Coba lihat bak penampungnya yang ada disebelahmu itu!' Teriak bapak.

'Prit!!!.' Suara pluit perlombaan berakhir.

Seluruh hasil peserta, semua dikumpulkan untuk disaring siapa yang akan menjadi juara.

Bela tak peduli ia jelas kalah, apalagi yang menggunakan pancingan besi, jala, dan bom itu.

'Aku lebih baik kita langsung pulang saja.'

'Ka anterin aku ke toilet yuk...' Aku dan adik melarikan diri ke kamar mandi biar ibu dan bapak saja yang menyaksikan pengunguman yang tak penting itu!

Jongkok di toilet, ku colokan headset di telinga, mendengarkan musik. Sambil buang air memang nikmat....

'Bela...'

'Ka Bela...'

'Ka Bela...' Gedoran pintu yang memutuskan untuk melepaskan musik dalam telinga Bela. Dan keluar.

'Ka keluar, ngapain sih lama banget buang airnya?' sang adik mau memberi tahu bahwa tadi nama kaka dipanggil dan itu...

Mereka langsung menghampiri ke tempat panitia.

Bela kaget disambut oleh piala oleh ibu dan bapak, mereka pun akhirnya pulang dengan perasaan senang, meski sampai sekarang ia tak tahu kenapa bisa menang!

'Lagian sih kaka kelamaan di toilet tadi.'

'Bu, Pak tolong jelasin kenapa bisa menang? Apa jangan-jangan jurinya kalian suap ya?' Aku menangis antara senang atau sedih benar-benar bingung.

. . . . .

Diperjalanan, yang turun gerimis hujan turun. Mereka memasukan alat elektronik ke dalam plastik sambil tetap melanjutkan perjalanan. Dan bapak memberi tahu kepada bela, 'Karena hanya kau Bela! Yang berhasil mendapatkan ikan hidup. Pemancing lain meski menggunakan alat yang bagus tapi mati, meski banyak diraihnya.'

'Aku masih bingung!.'

'HAHA.' Adik terus-terusan menertawaiku disusul ibu, bapak, dan aku pun juga. 

NyanggaWhere stories live. Discover now