11.Perginya Nomor Dua

5 1 0
                                    

Karena yang film lagi ramai hingga tak ada satupun kursi tersisa, sehingga beralih ke film lainnya. Film ini membuat ingatan saya tertarik ke belakang, beberapa tahun lalu. Saat saya masih duduk dibangku kelas lima SD. Duduk di kursi paling belakang, tak masalah, soalnya kalau dibelakang semua terlihat maupun terdengar jelas, ini aneh memang, tapi yaudah. Sering juga sih tidur, habisnya enak, jarang ketahuan oleh guru kalau duduk disini. Kalau lebih enak di jam isirahat tidurnya itu aman banget, tinggal pasang alarm ke teman sebangku. Dan kenikmatan lainnya yang tak dapat disebutkan, harus dirasakan sendiri. Tapi itu sementara, saya berlalu-lalang oleh pertukaran tiap minggunya yang membuat berputar duduknya.

Tak ada eksperesi berlebih di area bioskop ini. Datar sekali. Tapi tetap dinikmati. Tempat duduk yang lumayan renggang, saya datang bersama seseorang, bersebelahan. Kira-kira isi penonton bioskop disini engga bisa dihitung dengan jari tangan, kalau di tambah kaki, bisa. Ini sudah termasuk kami berdua.

. . . . .

Dikelas saya duduk bersama si Anun yang anaknya biasa-biasa saja, kalau ulangan engga pernah remedial, mentoknya seperti jam masuk sekolah, tujuh. Kalau ada kerja kelompok yang lain sibuk mencari siapa-siapa saja anggotanya, kita berdua hanya diam duduk, menunggu ada yang mengajak. Baru-baru ini sekitar sebulan dikelas lima, ada perubahan sedikit di dirinya. Ia suka nanya-nanya ke guru padahal belum ada kata, 'Ada yang mau ditanyakan?' Entah apa yang merasukinya yang jelas saya mendukungnya, walaupun saya engga ngerti ini termasuk ke dalam kemajuan atau kemunduran.

Sekali waktu saya menegur si Anun, karena ia memotong pembicaraan Guru. Ia menerima penjelasan saya setelah berpikir selama sepuluh detik. Sambil melihat atap kelas sambil membuka kacamatanya.

'Wah iya, sebaiknya saya menunggu waktu Ibu Guru sudah tak memberi penjelasan lagi.'

. . . . .

Pelajaran Bahasa Indonesia sekarang semua murid diperintahkan untuk membuat cerita tentang liburan kemarin, sudah gitu ditambah penjelasannya juga lagi.

'Apakah kau bisa?'

'Sebenarnya saya bisa saja membuat cerita yang panjang.'

'Sebenarnya saya bisa saja membuat cerita dengan cepat.'

'Sebenarnya...'

Oh iya lupa kau tadi bilang engga bawa buku tulis ya, sebentar saya ambilkan dulu, kata Anun. Sudah menjadi hal biasa baginya melihat teman sebangkunya tak membawa buku, tak membawa alat tulis, sering telat masuk kelas, tapi ia selalu membawa dirinya. Anun sangat memaklumi.

Bu Guru harus memberi perhatian bahwa ada tiga tingkat dalam sebuah cerita;

1. Pengenalan

2. Permasalahan

3. Penyelesaian

'Ini gimana kok bingung ya... lu bisa ga Nun?'

'Sudah gerakin itu pulpen lu.'

Saya melihat tulisan Anun yang sudah hampir menyelesaikan tiga lembar, bukan karena tulisannya yang banyak, tapi spasinya. Hurufnya besar-besar, jadi memakan lembaran kertas dengan tinta penanya.

Tapi anehnya tulisan si Anun isinya pengenalan siapa-siapa saja yang masuk ke dalam liburannya juga di bagian penyelesaiannya berakhir bahagia. Saya tak percaya, tak ada permasalahan di dalamnya. Kalau begini biar nanti pulang sekolah langsung tanya ke ibunya. Penasaran.

Tugas dikumpulkan, semua murid selesai. Saya habis dua lembar, si Anun enam lembar. Sebelumnya saya bertanya, 'Apakah kau yakin mau mengumpulkan ini Nun?.'

'Ya kenapa tidak...'

Apa jangan-jangan si Anun sudah tahu, kalau dia hanya menyelesaikan dua bagian berarti itu sudah cukup baginya mendapatkan nilai tujuh? Atau memang kenyataanya begitu cerita aslinya. Sungguh ini harus dicari tahu!

. . . . .

Film ini berakhir dengan tepuk tangan yang sedang-sedang saja, apa jangan-jangan ini di sutradarai si Anun teman SD saya ya? Yang sekarang tak diketahui keberadaanya, sehabis sini harus saya cari tahu pokoknya!

Di sepanjang pemutaran film yang banyak yang bilang tak menarik, buktinya tadi engga seramai film yang sebenarnya saya mau nonton yang lagi naik daun. Karena tak ada bagian ke dua yaitu permasalahannya. Tokoh hanya mengenalkan, lalu diam menikmati arusnya cerita yang datar. Sejauh ini, saat hampir memasuki satu jam penayangan.

Sehabis menonton film saya dan seluruh beberapa orang diruangan ini bertepuk tangan, sebelum meninggalkan pintu teater ini. Pas adegan terakhir dijelaskan, film ini beraliran campur aduk dari beberapa kisah di tokoh-tokoh. Dan dibagian itu ternyata terselip masalah, bahkan dalam keadaan bahagia juga terdapat masalah. Mungkin di dalam sedikit yang mengerti pesan-pesan apa saja yang disampaikan, karena memang agak sulit, tapi kalau dipaksa mikir pasti tahu. Penayangan sudah dua hari di bioskop seluru negara, belum banyak yang nonton tapi ada saja. Dan tanpa disangka melonjak tajam oleh hasil mulut ke mulut.

Juga si Anun pengarang cerita dimasa kelas lima SD saya dulu pasti ada yang diselipkan, apalagi saya pada saat itu hanya membaca tiga lembar saja belum sempurna yaitu enam lembar. Mungkin dia ga sadar, pada saat itu mengharapkan kecukupan yaitu nilai tujuh, lalu sang Guru memeriksa tugasnya dengan teratur, bisa jadi nilainya sembilan. Yang jelas tak mungkin seratus. Karena jarang sekali guru memberikan tersebut, dia menanamkan hal kecil dalam setiap anak muridnya bahwa takan ada yang paling sempurna.

'Tapi kenapa dia bilang tujuh waktu itu ya.' Saya dalam hati seraya meninggalkan jejak teater bioskop.

NyanggaWhere stories live. Discover now