13.Siulacul

2 0 0
                                    


Apakah benar dari tujuh hari ada dalam satu hari bernama hari sial? Dimana ada saja kemalangan yang datang bertubi-tubi tanpa henti.

'Bu kenapa sih bapak tiap hari sial-siul mulu sih?'

Anehnya setiap pagi saja, siang dan malam tidak. Entah anjuran apa yang dipercayai menunjukan hanya satu kali melakukan itu, harusnyakan tiga kali bukan, seperti jadwal minum obat. Kebiasaan yang tak bisa diubah...

'Biar ga sial.' Kata bapak yang memotong pembicaraan itu.

'Kalau gitu aku ikutan juga ya.'

'Sudah sana kau berangkat, sudah pagi nanti kesiangan lagi, malah pulang lagi.'

Aku pun berangkat mulai mengambil sepedaku yang siap tuk dikayuh sebagai transportasi mengantarkanku ke sekolah yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer. Sebenarnya sih ada alternatif lain selain naik sepeda yaitu naik angkot. Namun aku lebih memilih naik sepeda, soalnya bisa olahraga, selain itu juga hemat.

. . . . .

'Aduh...'

Kebingungan tiba-tiba sepedaku tak mau jalan ke depan. Lalu berhenti sejenak melihatnya.

Memandanginya dari ujung ban depan hingga belakang, ternyata yang rusak adalah rantai. Yang keluar jalur, sehingga tak bisa lagi dikayuh.

'Tik tik tik...' Gerimis suara hujan mulai turun.

Gimana ini malah belum sampai ke sekolah ini, sudah sepeda rusak, hujan pula.

Saat mau menepikan sepeda ke warung, ada kejadian yang sebenarnya tidak bisa di perkirakan.

'Aduh...' Untuk ke dua kalinya.

Oh tidak seragamku kecipratan mobil, seragam yang tadinya putih bersih dan harum, kini kotor dan baunya tak beraturan lagi. Mau dikejar juga sudah gabisa, mobilnya sudah lari jauh, lagian bukan salahnya juga orang jalanan disini yang berlubang.

Habis sudah, apakah sepatutnya aku menyalakan hari ini?

Apakah semua ini karena aku mengikuti kebiasaan bapak?

Entahlah aku rasa tidak ada hubungannya tentang bersiul itu. Kalau memang ini terjadi, ya biarlah. Yang sekarang harus kulakukan menepi.

. . . . .

Yang tadi semula hanya gerimis kini hujan deras. Di warung kecil, aku meneduh sambil memperbaiki sepedaku. Melihat aku yang kesusahan untuk mengembalikan rantai seperti semula, pemilik warung pun membantuku, namun tak bisa juga.

Tiba-tiba ada bapak dan anaknya kehujanan, tanpa mengenakan jas hujan. Sudah jelas ia kesini mau neduh juga.

'Beli-beli...'Suara si anak bapak yang baru sampai.

'Sebentar ya bapak ngelayanin dulu ada yang beli.' Kata penjual warung.

. . . . .

'Kenapa tuh sepedanya de?'

'Biasa...'

'Sini coba saya bantu.'

. . . .

'Lah kamu kan...'

'Lah.' Aku bertemu seorang teman sekelas.

Aku bingung kenapa ia tak menggunakan atribut sekolah.

'Lah kalian berdua kenal?' Sapa bapak yang membantu sepeda ku dengan kaget.

Mereka kenal, karena sekelas. Tapi kan sekarang lagi libur tanggal merah. Kenapa kau masuk coba?

'Apa...'

'Iya coba kau cek saja.'

Aku pun meminta jawaban ke dalam warung, soalnya disana ada kalender.

'Benar de, sekarang tanggal merah, libur.'

'Pantasan saja di jalan tak melihat siapa-siapa yang biasa menaiki sekolah juga.' Desir hatiku.

Oh tidak terus bagaimana ini, semua sudah berantakan.

. . . . .

Sepeda sudah selesai di perbaiki, karena bapak itu memiliki kunci yang ada dirumahku. Dan untuk urusan baju yang kotor ini sepertinya bisa dicuci kembali. Namun tak enak rasanya pulang tak membawa apa-apa kerumah, kecuali membawa kerjaan untuk ibu yang biasa mencuci bajuku.

'Sudah engga apa-apa sana pulang, sudah benarkan, dan hujan telah reda.' Kata teman sekelasku.

. . . . .

Diperjalanan pulang, aku tertawa memikirkan peristiwa yang dialami ini. Ternyata hanya lupa semata, bisa mengaitkan kemana-mana. Teserahlah si Bapak mau siul atau ngapain juga kalau pagi, asal jangan ikut-ikutan lupa juga...eh tunggu apa dia juga merasakan yang sama pada hari ini, pasalnya tadi ia juga sudah siap untuk bekerja. Coba lihat nanti. Pasti dia juga merasakannya. 

NyanggaWhere stories live. Discover now