Bab I [Bagian Tiga]

31 2 11
                                    

Aku tersentak bangun. Piyamaku basah karena keringat. Napasku terengah-engah, dan air mata mengalir dari mataku tanpa bisa kukendalikan. Kuseka keringat dan air mata dari wajahku dengan lengan piyamaku. Kupejamkan mataku sambil merasakan degup jantungku yang berdebum-debum sementara air mataku terus mengalir.

Ada langkah kaki yang terburu-buru di luar pintu kamarku. Detik berikutnya, pintu kamarku menjeblak terbuka. Di ambang pintu, berdirilah kakakku, Bara, laki-laki dua puluh satu tahun yang hanya beratribut celana katun panjang dan rambut hitam yang mencuat.

"Nyx?" panggilnya dengan raut wajah cemas. Dia menghampiriku. "Kau baik-baik saja?"

Aku berkedip, berusaha mengusir air mata yang masih mengalir. "Ya," jawabku serak. Kerongkonganku terasa seperti baru saja menelan pasir.

Dia menatapku, alisnya mengerut dalam kekhawatiran melihat aku menangis. "Mimpi buruk?"

Aku membuka mulutku, tetapi suaraku tidak keluar. Lalu, ingatan akan mimpi itu membanjiri benakku berupa kilasan-kilasan cepat yang membuatku harus menopang tubuhku agar tidak terjatuh dengan satu tangan di atas kasur. Dan aku mulai terisak-isak, kurasakan tangan kakakku menepuk-nepuk punggungku.

"Nyx, ada apa?" bisiknya sambil mendekat. Dia menggendongku kemudian memelukku dipangkuannya.

Aku menggeleng pelan, air mataku masih belum berhenti mengalir. Aku berusaha berbicara, tetapi yang keluar hanya suara merengek. Lima puluh persen tangisanku merupakan rasa sedih yang kursakan saat mendengar suara ayahku, tiga puluh persen lainnya karena paru-paruku masih terasa seperti terbakar, sakit kepala, dan telinga yang mendengung, sisanya adalah ekspresi shockku karena mengalami fase emosional yang spektakuler di usia tujuh belas tahun di depan Bara. Kemudian dia mengangguk dan tidak bertanya lagi, sebagai gantinya dia menggerakan badannya ke kanan dan ke kiri seperti kursi goyang, sambil terus memelukku, dan mendehamkan lagu yang sering dia senandungkan sewaktu usia kami masih lima dan sembilan tahun.

Dalam pelukkan Bara, aku masih mencucurkan air mata dan ingus, tetapi napasku sudah mulai teratur dan tidak terdengar suara isak tangis. Sementara Bara bersenandung, benakku mulai berkelana dan bertanya-tanya (aku mengelap ingusku sebelum mulai berpikir, jadi singkirkan bayangan berpikir serius sambil ingusan!).

Itu jelas-jelas suara ayahku. Tapi, bagaimana bisa?

Ayahku menghilang di musim dinginku yang kelima. Waktu itu badai salju besar melanda New York selama delapan hari. Aku demam di hari kedua badai, dan terus seperti itu sampai hari kelima, persediaan makanan kaleng kami hanya cukup apabila kami membaginya dengan porsi yang sedikit sekali, dan kami kehabisan obat-obatan, hanya tinggal suppositoria di lemari pendingin dan aku menolak dengan hebat tiap kali ibuku mencoba membujukku supaya dia bisa memasukan obat itu lewat lubang uh, ekskresi. Demam itu membuat aku mengigau dan berteriak-teriak tiap kali aku terlelap. Sampai sekarang aku tidak ingat mimpi seperti apa yang kualami waktu itu, tapi aku tahu itu membuat orang tuaku khawatir dan kekhawatiran itu tampak jelas di wajah mereka. Pada hari ke enam ayahku memutuskan untuk keluar.

Dan tak pernah kembali.

Ketika badai berhenti di hari ke sembilan, suhu tubuhku ikut normal secara mendadak ketika aku bangun di pagi harinya. Saat aku keluar kamar dan turun ke lantai satu, aku mendapati ibuku sedang menangis di sofa ruang tamu, punggungnya berguncang, disampingnya ada kakakku yang berumur sembilan tahun menepuk-nepuk pundaknya. Posisi mereka membelakangi aku, mereka tidak tahu aku ada disana, dan saat itu aku tidak tahu apa yang ditangisi ibuku. Aku hanya berpikir ibuku menangis karena mengkhawatirkan demamku yang tidak sembuh-sembuh. Jadi aku melesat ke dapur, kemudian membuka lemari pendingin. Aku mengidap hipertimesia ringan. Aku ingat kapan terakhir kali kami membeli persediaan suppositoria di apotek, berapa jumlah yang kami miliki, dan aku membenci obat itu karena harus dimasukan ke dalam lubang kau-tau-apa. Kupikir kesembuhanku karena ibuku dan kakakku bersekongkol memasukan obat itu sewaktu aku dalam keadaan tidak sadar. Tetapi, persediaan suppositoria kami masih genap empat dan semuanya dilapisi es akibat suhu dingin dari badai. Kupikir mungkin ayah kembali dan membawakan aku obat jenis lain.

Aku pergi ke ruang tamu, mengumumkan aku sudah sembuh dan menanyakan keberadaan ayah. Kakakku hanya diam, matanya menampakkan kekosongan. Wajah muramnya membuatnya tampak lebih tua daripada usianya, sementara ibuku mulai meraung-raung. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat ibuku menangis, aku mulai menangis. Bara menggendongku dan membawaku ke kamar, memelukku erat-erat sambil berbisik dan bersenandung untuk menenangkanku, dia terus melakukannya sampai aku kelelahan dan akhirnya berhenti menangis, aku menaruh telapak tanganku di telinga, berusaha menghalau suara meraung ibuku yang diselingi isak tangisnya.

Setelah kurang-lebih satu tahun mereka berbohong padaku tiap kali aku bertanya tentang ayah dan menjauhkanku dari televisi, akhirnya kakakku memberitahuku apa yang terjadi. Bahwa ayah kami tidak kembali setelah dia pergi. Tim penyelamat tidak menemukan mayatnya setelah lima bulan pencarian, tapi dia dinyatakan meninggal karena tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku tidak menangis, tapi setelahnya aku tidak bisa bicara selama satu bulan karena mengalami shock berat. Aku absen dari kegiatan sekolah karena tidak dapat mengakatan sepatah katapun. Ibu dan kakakku kerap kali mengingatkanku bahwa itu bukan salah siapa pun—bukan salahku. Aku hanya mengangguk sambil tetap berbaring, kemudian kembali menatap langit-langit kamarku. Aku juga kehilangan berat badanku karena aku selalu memuntahkan makanan yang kumakan. Ada seorang psikiater yang datang ke rumah, dan aku bisa mendengar orang itu berkata dengan suara teredam di depan pintu kamarku yang ditutup, bahwa aku mengalami depresi, atau semacam itulah. Ibuku menangis, mengetahui anaknya yang masih berumur enam tahun mengalami depresi sudah pasti membuatnya terguncang, padahal dia baru saja kehilangan suaminya setahun yang lalu.

Zeke, sahabat kecilkulah yang sangat membantu dalam proses penyembuhan mentalku, dia selalu datang ke rumah dan bercerita tentang kegiatan sekolah kami. Kadang-kadang, tiap sabtu dan minggu dia menginap di rumahku, dia membuat tenda dari seprai di kamarku dan menaruh bantal serta bonekaku di dalamnya. Kemudian menggantungkan lampu kelap-kelip di langit-langit tenda. Lampu kamarku dimatikan, lalu dia menggiringku ke dalam dan kami berbaring di atas tumpukkan bantal seolah-olah kami sedang berkemah. Dia menceritakan padaku dongeng-dongeng tentang pahlawan-pahlawan Yunani yang sering diceritakan ibunya. Minggu berikutnya dia membawa kartu mainan bergambar dewa-dewi Yunani. Kadang dia menceritakan cerita-cerita rakyat dari era Victoria, yang sudah pasti dia dapat dari neneknya. Atau membawa koleksi komik-komiknya dan membuatku membacanya.

Kegiatan membaca itu ternyata mempengaruhi kesehatan mentalku. Aku menyukai cerita fiksi dan mampu mengimajinasikan isinya dengan sangat baik, kemudian aku mulai bertanya tentang bagian-bagian komik yang menurutku menarik. Rasanya seperti keluar dari kehidupan nyatamu yang mengerikan.

Aku mendengar suara dengkuran Bara dan langsung tersadar dari lamunanku. Lidahku mencecap besi, kupandangi kuku ibu jariku yang sudah sangat pendek dan berdarah. Aku mengigiti kuku ibu jariku lagi tanpa sadar.

•••

Oneironaut [The Stone of Mons]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang