Bab I [Bagian Tujuh]

18 2 10
                                    

Aku terbangun pagi harinya. Tidurku nyenyak karena tidak memimpikan apapun. Zeke masih tertidur pulas di sampingku, lengannya yang melingkari punggungku belum berubah sejak semalam. Aku melepaskan diri dengan hati-hati, berupaya sekeras mungkin untuk tidak membangunkannya, lalu kutarik selimut sampai ke dagunya, membuatnya berdeham pelan.

Dapur adalah tempat pertama yang terpikirkan olehku. Semalam aku tertidur sebelum sempat mengisi perutku, itu perkara penting, oke. Dan aku lupa melakukannya setelah serangkaian kejadian dramatis semalam. Rumah masih sunyi, waktu masih menunjukan pukul enam. Setelah menjepit rambut dan menggulung lengan bajuku, kubuka pintu bufet, mengeluarkan kotak sereal, roti dan selai, kemudian kuambil telur, susu dan bacon dari lemari pendingin. Entah sejak kapan, tiap menginap di rumah keluarga Callahan akulah yang bertanggung jawab membuat sarapan pagi kalau Bibi Nerissa sedang tidak ada.

Ketika menyalakan api, aku mendengar langkah kaki mendekat ke dapur. Suara langkahnya pelan dan ritmenya mantap sekali. Seolah-olah dia terbiasa mengendap-endap. Sebelum aku melihat wajah si pemilik langkah kaki di pintu dapur, aku sudah tahu siapa yang akan muncul. Sangat sedikit orang yang berjalan seperti itu, dan anggota keluarga di rumah ini bukan termasuk salah satunya.

Rambut Raphael basah, sehingga warna peraknya jadi kelihatan lebih gelap, dan dia berbau seperti sabun dan shampo. Aku memberikannya anggukan sekilas kemudian melanjutkan pekerjaanku. Dia menarik kursi dan duduk tanpa berbicara. Mata Raphael mengikutiku selama beberapa waktu. Aku berusaha untuk tidak merasa terganggu, tetapi pada akhirnya aku bertanya juga.

"Ada apa di antara kau dan Zeke?"

"Bukan sesuatu yang serius," katanya. Nada suaranya santai seolah-olah itu memang bukan apa-apa. "Kami hanya tidak saling menyukai."

"Bercanda kau. Aku tidak menyukai banyak orang dan bermusuhan dengan seluruh spesies cewek di sekolah. Tapi aku tidak menatap mereka seperti aku berniat membunuhnya." Aku berbalik untuk menatapnya, dan seketika terheran-heran mendapati Raphael menyeringai. Memangnya aku mengatakan sesuatu yang perlu ditertawakan?

"Jangan salah paham. Aku tidak pernah berniat membunuhnya." Raphael terkekeh-kekeh geli.

"Kau pikir bisa mengelabui aku?"

Raphael mengangkat sebelah alisnya. "Kau pikir pacarmu selemah itu?"

Aku mengerutkan alisku bingung. "Zeke bukan pacarku."

"Ah," kata Raphael mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terkekeh geli.

"Ah. Apa?" tanyaku bersungut-sungut. Ada apa sih, dengan selera humor orang ini?

Raphael melirik melewatiku. Seringai mengejeknya belum meninggalkan wajahnya sejak tadi. "Ah," katanya. "Kau pasti sangat ahli menciptakan sarapan sekelas hotel bintang lima di Neraka."

Aku berbalik dengan cepat dan seketika mengumpat pelan. Aku hampir saja menggosongkan tiga telur. Dia tidak mengatakan apa-apa selama aku menyelesaikan pekerjaanku. Ketika aku menyiapkan meja aku meliriknya sekilas, matanya berbinar-binar geli dan seringai mengejeknya masih ada disana. Buru-buru kutata piring dan alat makan, lalu keluar dari dapur untuk membangunkan para penghuni rumah. Ini pertama kalinya ada orang selain Zeke, yang mampu membuatku sejengkel itu. Hotel bintang lima di Neraka katanya? Awas saja!

Aku buru-buru mengetuk pintu kamar Zeke dan Octavian. Setelah memastikan mereka beranjak dari kasur mereka, aku ke kamar Tim yang duduk di kasur sambil terantuk-antuk dan menggendongnya ke dapur.

Saat aku kembali dan siap untuk membalas kekurang ajaran Raphael sialan itu, hanya ada Zeke dan Octavian yang duduk di kursi, menyantap sarapan mereka. []

•••

Thursday, 26 March 2020

Ehwaz.

Oneironaut [The Stone of Mons]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang